FokusOpini

Bagaimana Khilafah akan Menjamin Hak-hak Politik Perempuan

Khilafah akan tegak sebagai model sejati hak-hak politik perempuan. Khilafah akan memungkinkan kaum perempuan untuk memiliki keterlibatan politik penuh dalam masyarakat, yang telah lama dirampas di bawah kediktatoran dan sistem buatan manusia lainnya di dunia Muslim.


Oleh: Dr Nazreen Nawaz

MuslimahNews, FOKUS — Islam mewajibkan perempuan untuk berperan aktif di dalam kehidupan politik masyarakat mereka: yakni mengelola urusan umat mereka, bersuara menentang penindasan dan korupsi, memerintahkan kebaikan (Makruf) dan mencegah kejahatan (Munkar), dan mengawas penguasa mereka agar selalu bertanggung jawab.

Dalil-dalil Islam yang memerintahkan umat Islam untuk aktif secara politik berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan. .﴿وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاء بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ﴾ “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.…” [QS. At-Taubah: 71]

Nabi Saw bersabda, «كَلاَّ وَاللَّهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ وَلَتَأْخُذُنَّ عَلَى يَدَىِ الظَّالِمِ وَلَتَأْطُرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ أَطْرًا وَلَتَقْصُرُنَّهُ عَلَى الْحَقِّ قَصْرًا» “Tidak, demi Allah kalian akan benar-benar menyuruh yang ma’ruf dan mencegah dari yang Munkar, atau Allah akan menyiksa dengan dengan hati sebahagian kalian atas sebahagian yang lain, kemudian Allah akan melaknati kalian sebagaimana melaknati mereka.”[HR. Abu Dawud]

⦁ Perempuan memiliki hak-hak politik yang sama dengan laki-laki di bawah Khilafah.

Negara tidak membeda-bedakan individu rakyat dalam aspek hukum, peradilan, maupun dalam jaminan kebutuhan rakyat dan semisalnya. Seluruh rakyat diperlakukan sama tanpa memperhatikan ras, agama, warna kulit, dan lain-lain.” (Pasal 6 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

⦁ Akuntabilitas dan transparansi adalah pilar-pilar integral dari pemerintahan Islam. Oleh karena itu, Khilafah akan memberikan banyak jalan/cara kepada perempuan untuk mengajukan pengaduan terhadap negara atau menuntut penguasa. Khilafah akan memfasilitasi dan mendorong mereka dalam mengekspresikan pendapat politik mereka.

Baca juga:  [News] Nasib Perempuan di Afganistan Disorot, Problemnya Islam?

Kritik terhadap pemerintah merupakan salah satu hak kaum Muslim dan hukumnya fardlu kifayah.” (Pasal 20 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

• Sistem Islam memberikan hak kepada perempuan untuk memilih wakil mereka dan Khalifah. Memang, Islam adalah sistem pertama di dunia yang memberikan hak kepada rakyat perempuan untuk memilih pemimpin mereka.

Dua Muslimah – Nusaybah binti Ka’ab Ummu ‘Amarah dan Asma binti Amr bin Adiy – termasuk di antara delegasi Muslim Yathrib pada Baiat Aqabah Kedua. Peristiwa ini adalah sumpah dukungan politik dan perlindungan militer yang diberikan kepada Nabi Saw, menerima beliau sebagai pemimpin negara mereka.

Ketika Amru bin Ash (ra) berkonsultasi dengan warga Khilafah tentang siapa yang mereka inginkan untuk menjadi pemimpin mereka setelah kematian Khalifah Umar bin Al-Khattab (ra), ia mengambil pandangan baik dari laki-laki maupun perempuan.

Perempuan boleh diangkat sebagai pegawai negeri, memilih anggota Majelis Ummat, dan menjadi anggota Majelis Ummat, serta berhak memilih Khalifah dan membai’atnya.” (Pasal 115 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

⦁ Di bawah Khilafah, kaum perempuan dapat menjadi anggota partai politik, menyuarakan pandangan mereka di media independen, menjadi jurnalis atau membentuk outlet media tanpa perlu lisensi.

⦁ Kaum perempuan memiliki hak untuk menjadi wakil terpilih dari Majelis Wilayah atau Majelis Ummat yang memberikan masukan dan meminta pertanggungjawaban dari gubernur dan Khalifah dalam semua urusan negara.

Setiap warga negara yang baligh dan berakal berhak menjadi anggota Majelis Ummat atau Majelis Wilayah, baik laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim.” (Pasal 107 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

⦁ Dalam Islam, pandangan politik perempuan dihargai.
Nabi Saw berkonsultasi dan menerima saran dari istri beliau Ummu Salamah (ra) ketika menghadapi krisis politik yang serius dalam Perjanjian Hudaibiyah.

Baca juga:  Penghancuran Keluarga Muslim secara Sistematis

Umar bin Al-Khattab (ra), Khalifah Islam yang kedua senantiasa mengumpulkan kaum Muslim dan Muslimah di masjid dan meminta pendapat mereka tentang berbagai hal. Beliau juga akan berkonsultasi dengan seorang Muslimah bernama Asy-Syifa binti Abdullah dalam berbagai masalah politik karena kecerdasan dan wawasannya, sehingga beliau seringkali memilih untuk mengambil pendapatnya dibandingkan yang lain.

Dalam sebuah pertemuan umum selama masa pemerintahan Umar bin Al-Khattab (ra), beliau memerintahkan orang-orang untuk tidak meminta jumlah mahar yang berlebihan dalam pernikahan, kemudian seorang perempuan tua secara terbuka mendebat pendapat sang Khalifah ini, sambil berteriak, “Umar! Engkau tidak punya hak untuk campur tangan dalam masalah yang telah Allah putuskan dalam Alquran“, membacakan ayat dalam Surah An-Nisaa, ayat 20 untuk membuktikan kebenaran pendapatnya. Khalifah menjawab, “Perempuan itu benar dan Umar salah”, dan beliau menarik perintahnya.

Nafisah binti Hasan adalah seorang ulama abad ke-9 yang termasyhur di Mesir pada masa Khilafah Abbasiyah. Dia sangat terlibat dalam perpolitikan di tengah masyarakatnya sehingga ketika orang-orang memiliki perselisihan dengan gubernur Mesir mereka akan memintanya untuk menyelesaikan masalah tersebut dan mendapatkan hak-hak mereka terpenuhi.

⦁ Khilafah akan mengizinkan kaum perempuan untuk mengajukan pengaduan terhadap penguasa atau pejabat negara ke Mahkamah Madzalim, pengadilan khusus yang menyelidiki kelalaian atau ketidakadilan dalam pemerintahan, yang memungkinkan perempuan untuk secara terbuka menuntut pertanggungjawaban penguasa mereka tanpa rasa takut.

Qadli Madzalim adalah Qadli yang diangkat untuk menyelesaikan setiap tindak kedzaliman yang terjadi dari negara yang menimpa setiap orang…” (Pasal 87 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

Ma’mun Ar-Rasyid, salah satu Khalifah Abbasiyah, secara khusus menyisihkan hari Minggu untuk audiensi publik untuk mendengarkan keluhan rakyatnya. Dari pagi hingga sore, semua orang – laki-laki dan perempuan – bebas untuk menyampaikan keluhan kepada Khalifah yang langsung ditangani. Suatu hari seorang perempuan tua yang malang mengeluh bahwa seseorang yang kejam telah merampas harta miliknya. “Siapa orang itu?” tanya Khalifah. “Dia duduk di sebelahmu,” jawab perempuan tua itu, menunjuk ke putra Khalifah, Abbas. Abbas mencoba mempertahankan sikapnya dengan nada ragu-ragu sementara perempuan tua itu semakin keras dalam argumennya. Khalifah menyatakan bahwa kejujuranlah yang membuatnya berani dan Khalifah pun menetapkan hukuman karenanya.

Baca juga:  Benarkah Memperkuat Partisipasi Ekonomi Perempuan Berarti Memperkuat Ekonomi dan Ketahanan Keluarga?

⦁ Berdasarkan nash-nash Islam, seorang perempuan tidak dapat menjadi penguasa di Khilafah tetapi hal ini sama sekali tidak berdampak pada kemampuannya untuk terlibat sepenuhnya dalam perpolitikan di tengah masyarakatnya. Lebih jauh, Islam tidak memandang menjadi penguasa sebagai hak atau hak istimewa, tetapi lebih merupakan tanggung jawab besar yang meniscayakan pertanggungjawaban yang besar di akhirat. Namun seorang perempuan dapat menjadi pejabat atau perwakilan negara dalam posisi yang non-penguasa, seperti kepala departemen atau juru bicara. لَمَّا هَلَكَ كِسْرَى سَأَلَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ‏«مَنِ اسْتَخْلَفُوا؟»‏ قَالُوا: بِنْتَهُ‏.‏ قَالَ: «لَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أَمْرَهُمُ امْرَأَةً» Ketika mendengar bahwa rakyat Persia menujuk putri Kisra sebagai ratu mereka, Nabi Saw bersabda, “Tidak akan pernah beruntung keadaan suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinannya pada seorang perempuan.” [HR. Bukhari]

Setiap warga negara yang memiliki kemampuan, baik laki-laki maupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat ditunjuk sebagai direktur untuk biro dan unit apapun....” (Pasal 98 – Rancangan Undang-Undang Dasar Khilafah Hizb ut Tahrir)

⦁ Oleh karena itu Khilafah akan tegak sebagai model sejati hak-hak politik perempuan. Khilafah akan memungkinkan kaum perempuan untuk memiliki keterlibatan politik penuh dalam masyarakat, yang telah lama dirampas di bawah kediktatoran dan sistem buatan manusia lainnya di dunia Muslim.[]

#Khilafah_Pelindungku_Perisaiku
#Khilafah_MyGuardian_MyShield
#الخلافة_رعاية_وحماية

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *