RUU Pesantren, Penguatan atau Pengebirian?
Ketika mengkhawatirkan pesantren menjadi radikal dengan menjaganya dalam bentuk UU, maka sama saja mendudukkan bahwa ajaran Islam berpeluang mengajarkan radikalisme dan ekstremisme. Padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh: Retno Sukmaningrum
MuslimahNews, FOKUS — Dalam beberapa hari terakhir ini, desakan pengesahan RUU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan makin deras dilakukan. Bukan hanya dari kalangan NU, parpol pun mendukung RUU yang biasa disebut RUU Pesantren ini disahkan. Ketua Fraksi PKS DPR RI Jazuli Juwaini menegaskan bahwa fraksinya berkomitmen mengawal pembahasan RUU Pondok Pesantren dan memastikan keberpihakan kebijakan serta anggaran untuk semua jenis pondok pesantren sesuai karakteristiknya.
Pembahasan RUU pesentren ternyata bukan hal yang baru. Sebenarnya RUU Pesantren pernah ditawarkan oleh Soeharto di masa Orde Baru. Namun Ketua Fraksi PPP pada saat itu, yakni KH Bisri Syansuri menolak usulan Soeharto tersebut. KH Bisri Syansuri -kakek Muhaimin Iskandar -Ketua fraksi PPP waktu itu menolak karena mengkhawatirkan indepedensi pesantren terganggu, baik dalam praktek kemandirian maupun kesederhanaannya.
Hari ini pun, usulan RUU Pesantren ini juga tidak berjalan mulus. Beberapa pihak melakukan penolakan. Salah satunya adalah dari kalangan kristiani. Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) keberatan dengan dua pasal tentang pendidikan umat Kristen di RUU Pesantren dan Pendidikan Agama. Dalam pernyataan resminya, PGI menyebutkan, “Kami melihat, ketika membahas tentang pendidikan dan pembinaan di kalangan umat Kristen, nampaknya RUU ini tidak memahami konsep pendidikan keagamaan Kristen di mana ada pendidikan formal melalui sekolah-sekolah yang didirikan oleh gereja-gereja dan ada pendidikan nonformal melalui kegiatan pelayanan di gereja.”
Pendidikan Sekolah Minggu dan Katekisasi, yang juga hendak diatur dalam RUU ini pada pasal 69-70, sesungguhnya adalah proses interaksi edukatif yang dilakukan oleh gereja-gereja di Indonesia, yang merupakan pendidikan nonformal dan masuk dalam kategori pelayanan ibadah bagi anak-anak dan remaja poin. PGI juga menyorot soal syarat pendirian pendidikan keagamaan yaitu memasukkan syarat peserta didik paling sedikit 15 orang serta mendapat izin dari Kanwil Kementerian Agama tingkat kabupaten/kota.
Selain pihak PGI, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pun mengkritisi RUU tersebut. Direktur YLBHI Asfinawati menilai beberapa pasal dalam RUU Pesantren ini sangat berbahaya karena negara berpotensi terlalu jauh mengurusi urusan personal, terlebih mengenai ibadah keagamaan. “Padahal namanya pemerintah itu bisa berganti-ganti corak pemerintahannya. Kalau sekarang bisa menghargai keberagaman dan pemerintahan berikutnya bisa sangat intoleran bagaimana? Jika pemerintah membuang HAM sebagai prioritas, tentu ini sangat barbahaya,” katanya.
“Justru RUU ini berpotensi menjadi pintu masuk untuk menghambat keberagaman di Indonesia,” lanjutnya. Kata Asfin, jika pemerintah memiliki argumen agar pengajaran keagamaan tidak sembarangan dan tidak ditunggangi pihak tertentu, hal tersebut tak bisa ditanggulangi lewat UU.
Motif Legislasi RUU Pesantren
RUU Pesantren yang tengah dibahas hari ini, memang berbeda dengan RUU Pesantren yang pernah ditawarkan di jaman Soeharto. Dulu, semata hanya membahas terkait pesantren. Namun, yang sekarang juga memuat pembahasan tentang pendidikan di agama lain (sekolah minggu). Jika dalam riwayatnya, RUU Pesantren pernah ditolak karena ada kekhawatiran kemandirian pesantren akan dipengaruhi oleh kepentingan elite politik, sekarang pun wajar jika muncul kekhawatiran yang sama. Terlebih dorongan keras untuk menggolkan RUU ini berada dalam suasana tahun politik yang panas. Pendetilan pasal per pasal yang masih membutuhkan waktu, “dipaksa” untuk segera jadi demi memenuhi deadline hajat politik.
Kemandirian ini menjadi isu krusial, karena tampak jelas bahwa pesantren menjadi primadona untuk dipikat sebagai tambang perolehan suara di setiap kubu. Wajar jika kemudian timbul pertanyaan: di saat ulama dan ajaran Islam dikriminalisasi, umat diberi harapan palsu, lantas mengapa justru rezim sibuk membuat RUU Pesantren?
Ketergesaan ini memunculkan ‘kesembronoan’ pihak pengusul RUU yang tak mampu membedakan sekolah minggu dengan pondok pesantren. Dengan menyamaratakan keduanya, sama saja mengkerdilkan posisi pesantren. Bisa jadi ‘pemaksaan’ itu terjadi ditengah upaya untuk mempersonifikasi diri –bagi kalangan eksekutif dan legislatif- sebagai penjaga gawang plularisme. Mereka berkepentingan untuk mendudukkan dirinya sebagai pihak yang tak mau di cap intoleran gara-gara hanya menomorsatukan pendidikan bagi kalangan mayoritas saja.
Menilik realitasnya, kemunculan pondok pesantren berawal dari kyai di suatu tempat yang faqih fiddin, kemudian datang santri yang ingin belajar agama kepadanya. Setelah semakin hari semakin banyak santri yang datang, timbullah inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping rumah kyai. Pada zaman dahulu kyai tidak merencanakan bagaimana membangun pondoknya itu, namun yang terpikir hanyalah bagaimana mengajarkan ilmu agama supaya dapat dipahami dan dimengerti oleh santri.
Dalam perjalanannya, pesantren membangun madarasah-madrasah yang mengajarkan pelajaran umum. Dengan harapan, santri jebolan pesantren mampu bersaing dengan sekolah umum menembus kuliah di PTN. Dengan fakta seperti ini, sudah seharusnya pihak pemerintah mengatur pendanaan dan fasilitas yang memadai demi terselenggaranya pendidikan di dalamnya, sebagaimana yang telah berjalan di sekolah umum lainnya.
Terasa aneh memang, baru muncul RUU Pesantren setelah umur pesantren sendiri setara dengan usia bangsa ini. Bahkan tanpa ‘legalisasi resmi’ dari negara, konstribusi pesantren yang amat besar -turut berjuang di awal kemerdekaan, hingga melahirkan SDM yang terbukti sumbangsihnya untuk negara- baru dipikirkan payung hukum untuk menjaga eksistensi pendidikan pesantren dan keagamaan. Ada apa gerangan?
Bisa jadi ada kaitan dengan rencana besar deradikalisasi. Ini sejalan dengan kalimat Menteri Agama tentang target legislasi RUU pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Lukman Hakim Saifuddin menyatakan RUU itu sebagai bentuk pengakuan keberadaan lembaga pesantren yang berkontribusi sangat besar dalam sejarah kemerdekaan bangsa, selain mengakomodasi berbagai kebutuhan pesantren dalam menjalankan fungsi dan perannya membangun bangsa. Tidak ada pesantren yang radikal karena seyogyanya Pesantren memiliki “Ruhul Mahad“, atau Ruhnya Pesantren.
“Tidak boleh lagi ada yang mengklaim misalnya sebuah Padepokan mengatasnamakan Pesantren, tetapi tidak ada Kyainya, tidak ada kitab yang dikajinya. Disebut Pesatren jika ada kyainya, ada kitab-kitab yang dikaji, dan persyaratan lainnya yang harus dipenuh, sehingga Pesantren tidak mengenal faham radikalisme dan ektremisme,” papar Menag. Dari statement terakhirnya, jelas sekali bahwa RUU pesantren dirancang dalam mindset deradikalisasi. Sekali lagi, narasi yang terlihat akomodatif terhadap pendidikan Islam, pada akhirnya terbuka jelas ada skenario penjabaran strategi asing dalam monsterisasi ajaran Islam. Upaya mengatur pesantren, tak lebih dalam rangka membendung radikalisme dengan menempatkan pesantren berpeluang tempat tumbuhnya radikalisme.
Pesantren Pencetak Pejuang, bukan Pencetak Teroris
Pesantren adalah tempat mengkaji Islam. Ketika mengkhawatirkan pesantren menjadi radikal dengan menjaganya dalam bentuk UU, maka sama saja mendudukkan bahwa ajaran Islam berpeluang mengajarkan radikalisme dan ekstremisme. Padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan ajaran Islam. Dengan UU yang dilatarbelakangi mindset demikian, justru bukan menjadi payung hukum bagi eksistensi pendidikan pesantren, tapi justru pengebirian terhadap kekuatan pesantren.
Begitu pula iming-iming kucuran dana sebagai bentuk perhatian pemerintah demi menjaga eksistensi pendidikan pesantren, memang sudah seharusnya dilakukan pemerintah. Pendidikan, baik agama maupun umum merupakan hak dasar masyarakat yang wajib dipenuhi oleh negara. Hak dasar sebagaimana wajib dipenuhinya kebutuhan sandang, pangan, papan dan kesehatan. Pendidikan bukan lahan komersil sebagaimana dalam kehidupan kapitalis.
Begitu besarnya perhatian Islam dalam masalah pendidikan, tampak pada amal Rasulullah. Rasulullah Saw sangat menyadari pentingnya kemampuan membaca dan menulis. Ketika Perang Badar usai, ada 70 orang Quraisy Makkah menjadi tawanan, masing-masing mereka diminta untuk mengajar 10 orang anak-anak dan orang dewasa Madinah dalam membaca dan menulis sebagai salah satu syarat pembebasan mereka. Akhirnya 700 orang terbebas dari buta huruf. Lalu, masing-masing mereka pun diminta menjadi guru bagi orang lain yang belum mampu membaca dan menulis. Perhatian tersebut terus dilanjutkan oleh para Khalifah, pengganti beliau.
Begitu pula Islam mengatur layanan pendidikan dengan berjalan dalam 3 prinsip, yaitu : kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan professional. Tidak ada cerita dalam sistem Khilafah sampai kekurangan guru, proses pendaftaran rayonisasi dan berbagai kerumitan yang dijumpai dalam sistem demokrasi kapitalis hari ini. Hanya dalam naungan Khilafah sajalah hal ini akan wujud. Belajar Islam tanpa cap radikalis dan ekstremis. Juga belajar dalam arahan guru yang berkualitas dengan suasana aman dan nyaman. Insya Allah masa itu akan kembali dalam waktu dekat.[]