FokusOpini

Kepemimpinan Islam Dambaan Umat

Rasul bukan sekadar pemimpin spiritual, namun sekaligus pemimpin politik yang menjalankan aktivitas kenegaraan berdasarkan petunjuk wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini mengisyaratkan bahwa bentuk negara dalam Islam adalah tidak sekuler.


Oleh: Ustazah Reta Fajriah

MuslimahNews, FOKUS — Tahun 2019 adalah tahun politik, tahun kepemimpinan. Semua lapisan masyarakat bersuka cita menyambutnya, ada harapan besar untuk kehidupan yang lebih baik bagi bangsa dan rakyat di negeri ini dengan adanya pergantian pemimpin setelah pemilu nanti.

Kebijakan demi kebijakan, peristiwa demi peristiwa yang dilakukan rezim hari ini, terasa sesak menghimpit rakyat. Rasanya tak cukup jari-jari ini untuk menghitung janji-janji manis yang nyatanya hanya isapan jempol belaka. Demikian pula kemesraan rezim dengan pihak asing dan aseng para rentenir menyisakan utang riba. Menurut menkeu Sri Mulyani bahwa utang Negara yang harus ditanggung rakyat adalah 13 juta rupiah per kepala (detikfinance, 17 April 2017), angka yang sangat fantastis!

Sikap represif rezim terhadap umat Islam juga menimbulkan luka yang mendalam. Persekusi ulama, kriminalisasi simbol dan ajaran Islam serta pembubaran ormas Islam adalah catatan buruk yang tak akan terlupa sepanjang masa.

Ganti! Satu kata harga mati “ganti!” itulah mayoritas keinginan rakyat hari ini. Tapi apa yang diganti?, dan diganti dengan apa?, inilah yang masih menjadi tanda tanya, dengan aspirasi yang berbeda.

Berbicara tentang kepemimpinan tentu terkait 2 aspek, pertama individu pemimpin dan kedua, sistem yang digunakan untuk menjalankan kepemimpinan. Keduanya mempunyai indikator tersendiri, sehingga bisa dikatakan baik, terlebih baik dan benar. Dan dalam aspek inilah ruang lingkup bahasan kita.

Pemimpin dan Kepemimpinan di dalam Islam

Islam sebagai agama yang sempurna tentu memiliki konsep yang lengkap terhadap keduanya. Konsep ini dijamin baik dan benar, karena telah dicontohkan langsung secara nyata oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam kehidupan bernegara. Diantara aspek terpenting dalam kepemimpinan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:

Baca juga:  Membangun Dinasti Kekuasaan di Atas Politik Kebohongan

Pertama: Rasul bukan sekadar pemimpin spiritual, namun sekaligus pemimpin politik yang menjalankan aktivitas kenegaraan berdasarkan petunjuk wahyu dari Allah subhanahu wa ta’ala. Hal ini mengisyaratkan bahwa bentuk negara dalam Islam adalah tidak sekuler. Dalam praktiknya hal ini tertuang dalam Piagam Madinah: Bilamana kalian berselisih dalam suatu perkara, tempat kembali (keputusan) nya adalah kepada Allah azza wa jalla dan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam… Apapun yang terjadi di antara pihak-pihak yang menyepakati piagam ini, berupa suatu kasus atau persengketaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, tempat kembali keputusannya adalah kepada Allah azza wa jalla dan kepada Muhammad Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam. (Ibnu Hisyam, As-Sirah an Nabawiyyah I/503-504).

Kedua: Dalam kepemimpinannya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menerapkan syariah Islam secara menyeluruh, sebab semua ucapan, perbuatan, dan diamnya Rasul adalah sumber hukum, termasuk perbuatan Rasul dalam mengurus urusan rakyat.

Ketiga: Sangat tegas dalam penerapan hukum Allah tanpa kompromi. Hal ini terlihat dari ketegasan beliau ketika ada yang meminta keringanan hukuman terhadap wanita bangsawan yang mencuri. Jawaban Rasul “Apakah kalian hendak meringankan hukuman syar’i di antara hukum-hukum Allah?” Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah “Wahai manusia sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang mereka biarkan, tapi bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR Muslim)

Keempat: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam menyatukan masyarakat dengan ikatan yang kokoh, yaitu akidah Islam dalam bentuk ukhuwah Islamiyah. Di saat yang sama Rasul juga melenyapkan ikatan ashabiyah kesukuan dan kebangsaan yang rapuh.

Ungkapan KH Hasyim Asy’ari mengenai hal ini sangat mendalam “Lalu hilanglah perbedaan kebangsaan, kesukuan, bahasa, mazhab dan nasionalisme yang selama ini menjadi penyebab permusuhan, kebencian, dan kezaliman. Masyarakatpun atas nikmat Allah berubah menjadi bersaudara. Jadilah orang Arab, orang Persia, orang Romawi, orang India, orang Turki, orang Eropa dan orang Indonesia semuanya berperan saling menopang satu sama lain sebagai saudara yang saling mencintai karena Allah. Tujuan mereka semua hanya satu, yaitu menjadikan kalimat Allah menjadi unggul dan kalimat setan menjadi hina. Mereka mengabdi demi Islam dengan ikhlas. Semoga Allah mengganjar mereka dengan sebaik-baik balasan.” (KH Hasyim Asy’ari, Irsyad al Mu’minin ila Sirah Sayyid al-Mursalin, hlm. 44)

Baca juga:  Mewaspadai Kepemimpinan Orang-orang Bodoh

Kelima: Dalam kepemimpinan Rasul bertujuan untuk menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan dalam hadis Rasul riwayat Imam Muslim “Aku diperintahkan oleh Allah untuk memerangi manusia hingga mereka mau mengucapkan laa ilaaha illallah. Siapa saja yang sudah mengucapkannya berarti ia telah menyelamatkan harta dan nyawanya dariku, kecuali dengan jalan yang haq, sedang hisabnya di tangan Allah.”

Misi ini kemudian dilanjutkan oleh para khulafa sepeninggal beliau, hingga Islam meluas dan menjadi peradaban yang tinggi. Ini dari sisi kepemimpinan, adapun dari sisi pemimpinnya sendiri, maka Islam telah mensyaratkan: (Taqiyuddin an Nabhani, Syakhshiyyah Islamiyah jilid 2, hlm 31-35)

Pertama: Muslim, karena Alquran melarang menyerahkan urusan kaum muslimin kepada orang kafir “Allah tidak akan pernah sekali-kali memberi jalan kepada orang kafir untuk (menguasai) orang beriman...” (QS. An Nisa 141). “Hai orang-orang beriman, janganlah kalian menjadikan yahudi maupun nashrani sebagai auwliya…” (QS. Al Maidah 51).

Kedua: Laki-laki, karena dalam HR Imam Bukhari ada celaan untuk memilih pemimpin seorang perempuan dengan kata “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan kepemimpinan mereka kepada seorang perempuan“. Kepemimpinan yang dimaksud adalah dalam wilayah aa’m (kepemimpinan umum).

Ketiga: Baligh, berdasarkan HR Abu Dawud “Diangkat pena (pertanggung jawaban anal/hisab) terhadap 3 golongan : orang tidur sampai terjaga, anak kecil sampai baligh dan orang gila sampai berakal).”

Baca juga:  Pelajaran Penting dari Kasus Korupsi Rommy di Tahun Politik

Keempat: Berakal. Tidak sah pemimpin bagi orang yang hilang ingatan baik sewaktu-waktu atau gila permanen. Dasarnya adalah hadis yang sama dengan dalil wajib pemimpin baligh (HR Abu Dawud).

Kelima: Adil. Pemimpin dalam Islam wajib adil, maksudnya adalah tidak fasik, secara pribadi tidak melakukan maksiat sehingga tidak terkategori sebagai orang yang fasik. Dalilnya adalah QS. Al Maidah: 8 “Hai orang-orang beriman hendaklah kalian menjadi orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, dan menjadi saksi dengan adil…“. Untuk menjadi saksi disyaratkan harus adil, terlebih lagi sebagai pemimpin yang kelak akan menjadi saksi atas perkara yang paling besar, tentu lebih utama disyaratkan adil.

Keenam: Merdeka. Pemimpin tidak boleh dalam keadaan tersandra, baik secara fisik atau secara mental psikologis, sehingga tidak memiliki kehendak sendiri untuk menjalankan kepemimpinannya.

Ketujuh: Mampu. Dalam aspek ini, selayaknya pemimpin memiliki sifat-sifat sehingga dia layak untuk menjalankan kepemimpinannya. Sifat-sifat tersebut diantaranya memiliki pribadi yang kuat secara pemikiran, paham dan cerdas tentang pelaksanaan kenegaraan dalam dan luar negeri. Senantiasa terikat dengan hukum syara’. Takwa dan kasih sayang pada rakyat. Dengan sifat-sifat seperti ini, maka pemimpin akan terhindar dari rayuan dunia yang bisa menjerumuskannya pada jurang kehancuran, juga sikapnya terhadap rakyat yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban di akhirat.

Dengan syarat-syarat kepemimpinan dan pemimpin seperti uraian diatas tentu saja hanya bisa terwujud di dalam sistem kepemimpinan Islam yaitu khilafah dan di pimpin oleh seorang Khalifah. Sebaliknya, akan mustahil kita dapatkan di dalam sistem kehidupan kapitalisme saat ini, yang dibangun diatas asas sekularisme. Jadi perubahan seperti apa yang kita harapkan agar kepemimpinan dan pemimpin ini menjadi baik dan benar? Hanya satu jawaban, yaitu perubahan menuju Islam kaafah dalam institusi Khilafah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *