AnalisisOpini

Ini Cara Sekularisme Merusak Kehidupan Perempuan!

Oleh: Nisreen Budhafri

MuslimahNews, ANALISIS — Apa arti perempuan sebagai ibu, istri, dan ibu rumah tangga menurut doktrin yang menyangkal semua nilai manusia, moral, atau spiritual? Karena doktrin ini memandang bahwa manfaat adalah kriteria bagi segala tindakan dan bahwa manfaat adalah keseimbangan dan menjadi prioritas. Doktrin ini memandang bahwa manusia dihargai menurut produktivitasnya di dalam masyarakat dan berdasarkan tingkat pendapatan material mereka! Oleh karena itu, ibu rumah tangga tidak termasuk individu yang produktif karena aturan yang mengevaluasi individu adalah: “Jika seseorang bekerja, ia akan berhasil”. Tetapi ibu dan ibu rumah tangga berada di luar formula internasional baru karena mereka tidak memiliki pekerjaan yang dibayar dan karena mereka telah menghubungkan diri mereka dengan suami, anak-anak, dan keluarga, seperti yang disebutkan dalam dokumen Beijing.

Jika seorang perempuan bekerja tanpa upah atau imbalan; ia bekerja keras dan kelelahan serta mengorbankan waktu, kesehatan, dan upayanya tanpa keuntungan materi, hal itu dianggap kebodohan dan keterbelakangan, jika itu sesuai kehendaknya, atau dilihat sebagai penindasan dan pelanggaran hak-haknya jika dia dipaksa melakukannya.

Inilah sebabnya mengapa perempuan sebagai ibu, istri, dan ibu rumah tangga diklasifikasikan, pertama, sebagai suatu ketidakadilan bagi diri mereka sendiri atau penindasan; atau kedua, mereka secara sukarela memilih untuk menjalani peran tradisional yang dianggap rendah, menjauhkan diri dari berpartisipasi dalam pembangunan dan pengembangan masyarakat mereka, dan untuk membangun diri mereka sendiri dan membangun kemandirian mereka. Dan dengan bergantung pada laki-laki untuk menafkahi dan mengurus mereka, mereka menjadi beban keluarga dan tidak berguna.

Klasifikasi ini menjebak perempuan dalam pilihan-pilihan mereka, dan menempatkan mereka pada pertanggungjawaban dan mempertanyakan apakah mereka mengeluh atau menuntut hak-hak mereka. Lagi pula, hukum yang ada tak melindungi orang-orang bodoh dan mereka yang mengabaikan diri mereka sendiri! Dan di hadapan hukum, situasi itu mengekspos perempuan untuk dicemooh, bahkan dihina oleh perempuan lain!

Mereka mungkin ditinggalkan oleh suami mereka jika mereka memegang keyakinan bahwa kehidupan pernikahan adalah persahabatan dalam peran dan tanggung jawab, bukanlah masing-masing memiliki peran khusus mereka sendiri; sehingga dia (suami) menolak untuk menjadi satu-satunya pekerja dan pencari nafkah, dan perempuan itu menjadi penerima manfaat (dari suami) dan pelaku eksploitasi (terhadap suaminya)!

Kategori kedua menerima simpati dan dukungan karena perempuan itu tidak memilih untuk menempatkan dirinya di dalam ‘kotak’ ini, tetapi pernikahan, keluarga, dan anak-anak dipersepsi sebagai kejahatan yang tak terelakkan. Pernikahan sebagai nasib gelap yang menunggu para perempuan yang gagal, yang tidak mencapai prestasi akademik! Perempuan mendapatkan opini-opini yang menggambarkan dirinya sebagai korban, dan opini bahwa jika dia memiliki pekerjaan dalam kehidupan, itu lebih berharga daripada terbelenggu pada dinding rumah, membersihkan, memasak, dan membesarkan anak-anaknya, dan bahwa pekerjaannya di dalam rumahnya merendahkan dirinya dan merampas haknya. Pertanyaan – “Apa pekerjaan Anda?” – mendatangkan kekhawatiran dan kejengkelannya, dan seringkali jawabannya adalah dengan rasa malu dan rendah diri: “Sayangnya saya hanya di rumah!

Baca juga:  Bagaimana Status Tentara Wanita yang Menjadi Tawanan Perang?

Perempuan yang merupakan model penghargaan, penghormatan, dan peringkat itu bertualang dan ideal. Mereka adalah perempuan yang bekerja untuk membuktikan diri dan menantang batas naluri mereka, dan tidak menerima untuk menjadi pengangguran atau terpinggirkan dan untuk memiliki peran mereka dibatasi sebagai “mesin pembuat bayi” dan mengurusi rumah, dan mereka bersaing dengan laki-laki dalam pekerjaan sulit yang kadang-kadang membuat stres.

Mereka melampaui peran tradisional yang ‘dipersiapkan’ bagi mereka, dan menghancurkan penghalang ketergantungan pada laki-laki. Perempuan ini dapat menikah dan melahirkan, tetapi tidak mematuhi stereotip sebagai ibu dan istri serta membesarkan anak-anak, melainkan ia menggandakan usaha dan energinya dengan biaya sendiri dan untuk keluarga dan anak-anaknya, sehingga tidak kehilangan Medali Kehormatan yang diberikan oleh Pemerintah, asosiasi, media, dan organisasi feminis sebagai perempuan besi (iron lady) yang mampu menghadapi segala tantangan!!

Tetapi pertanyaan yang tersisa: Siapa yang telah menempatkan tantangan dan kondisi ini yang tidak memberikan kemanusiaan penuh kepadanya hanya jika dia meregangkan dirinya dan mengabaikan peran naluriahnya dengan dalih penegasan diri? Apakah tujuan di balik pencapaian kepentingan perempuan ini atau kepentingan individu kapitalis yang tamak ini?

Semua opini ini bertepatan dengan perkembangan industri di negara-negara Barat, yang memandang perlunya perempuan untuk berpartisipasi dalam pekerjaan di luar rumah dengan laki-laki untuk meningkatkan produksi. Dan karena tenaga kerja harus murah, perempuan adalah pilihan terbaik.

Bahkan saat ini, kesenjangan upah antara laki-laki dan perempuan dapat dilihat dan di antara mereka yang melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, meskipun adanya seruan untuk kesetaraan dan tuduhan atas penghapusan perbedaan dan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan! Inilah sekularisme dalam transaksi-transaksinya yang paling buruk dan paling kotor; dia mengeksploitasi perempuan dengan mengorbankan peran keibuan mereka, keluarga, dan lingkungan alam dengan menjual beberapa klaim palsu untuk menipu perempuan!

Sekularisme melanggar naluri perempuan dan merusak kehidupannya pada hari ketika dia merusak peran ibu dan membatasinya untuk melahirkan saja. Peran ini didelegasikan kepada pengasuh dan pembantu rumah tangga. Peran merawat anak bukan lagi hanya untuk ibu. Bahkan gagasan tentang ibu yang melahirkan menjadi ditinggalkan dan digantikan oleh ibu alternatif yang menyewakan rahimnya (pengganti), memberikan kesempatan kepada ibu asli untuk bekerja dan membuktikan dirinya serta menjaga kebugaran dan bentuk tubuhnya!!

Jadi satu-satunya penghubung antara ibu dan anaknya, yakni tali pusar, memiliki substitusi material yang disediakan oleh rezim kapitalis di Barat dengan cara formal dan legal; dengan demikian, memusnahkan naluri perempuan sepenuhnya, dan melanggar hak paling mendasar: yaitu menjadi ibu yang mengandung bayi di dalam rahimnya!! Hal ini memungkinkan kaum feminis bersikap berani dan menyalahkan susunan biologis perempuan.

Baca juga:  Kapitalisme Bangkrut, Perempuan Didorong ke Jurang Dunia Kerja

Simon De Beauvoir menulis dalam buku berjudul The Slavery of Childbearing, “Melahirkan anak itu membatasi kebebasan perempuan, dia sebenarnya adalah perbudakan yang harus diperangi, dan inti dari penindasan perempuan adalah peran mereka untuk hamil, menyusui, dan membesarkan anak-anak!”

Barat telah berusaha untuk melemahkan kekebalan masyarakat Muslim melalui penyebaran kata “pembebasan perempuan” untuk menunjukkan bahwa seorang perempuan adalah budak yang harus dibebaskan dan bahwa ia tersesat dan perlu diselamatkan. Satu-satunya rintangan untuk pembebasannya adalah mereka yang mendukungnya! Serangan ini begitu ganas terhadap konsep “ibu, istri,dan ibu rumah tangga” sampai-sampai kata istri menjadi deskripsi dari situasi sipil jauh dari makna mendalam dan berakar yang dipegang oleh kaum Muslimah tentang suami, hubungannya dengan suami, konsep ketaatan dan hubungan baik, rasa hormat, cinta, dan kasih sayang.

Konsep-konsep yang melekat ini, yang ditetapkan dalam teks nash-nash syariah, disajikan dengan cara yang norak di saluran-saluran satelit, dan dipenuhi dengan penghinaan dan sarkasme, atau melalui beberapa penceramah dan kajian agama di layar dan saluran, membesar-besarkan deskripsi ini sehingga menunjukkan kepada kita bahwa istri yang baik adalah makhluk mistis dan bukan manusia normal.

Film, serial, cerita, dan novel telah menciptakan citra baru bagi kaum Muslimah tentang pernikahan sebagai ikatan bersyarat berdasarkan persamaan hak dan kewajiban, penghormatan terhadap kebebasan, hak untuk memberontak, pertukaran peran keluarga, kemandirian finansial, dan konsep-konsep rusak lainnya. yang menyimpang dari pemahaman Syariah tentang pernikahan dan suami. Dan semua itu mengubah pernikahan menjadi arena konflik dalam kompetisi buatan di mana seorang perempuan harus membuktikan nilai dirinya dan kedaulatannya; jika tidak, dia akan berakhir sebagai seorang istri yang sedang menunggu suaminya di malam hari untuk membawa bahan makanan untuk dimasak!

Pemerintah di negeri-negeri Islam kita telah memperkuat konsep-konsep yang menyesatkan semacam ini dengan memberlakukan hukum-hukum yang bertentangan dengan pemahaman Syariah. Undang-undang tersebut didikte dari IMF (Dana Moneter Internasional), Bank Dunia, dan badan-badan kuat yang mengadakan berbagai konferensi dan seminar, menghasilkan keputusan bahwa kaum Muslimah ditindas di rumah-rumah mereka di bawah perwalian suami mereka, serta menyerukan penghapusan tradisi dan adat istiadat yang memperkuat mentalitas ini.

Perjanjian CEDAW menganggap bahwa bentuk-bentuk diskriminasi terhadap perempuan dimulai dengan membatasi peran mereka sebagai ibu, pernikahan, dan perawatan anak, dan karena itu, klausa yang ditandatangani oleh sebagian besar negara-negara Arab adalah untuk mengangkat bentuk-bentuk kekerasan dengan mengkriminalisasi pernikahan dini, hak untuk aborsi dan perceraian… dan terbaru di Tunisia, hak bagi seorang Muslimah untuk menikah dengan seorang laki-laki kafir!!

Baca juga:  Rumahku Surgaku

Status ibu rumah tangga sangat terpinggirkan dan dibenci, dan bahkan di kartu identitas resmi di banyak negara, bagian profesi diisi sebagai “tidak bekerja”. Bahkan sampai-sampai disebut “bukan apa-apa” di beberapa negara yang mengklaim sebagai pemimpin hak-hak perempuan!! Sayangnya, peran seorang ibu rumah tangga telah menjadi yang paling tidak adil dan menghina di negeri-negeri Islam kita. Pekerjaan menjadi mengikat dan bukan untuk menanggapi kebutuhan perempuan atau kebutuhan masyarakat akan pekerjaannya. Selain itu, pekerjaan itu tidak cocok untuk sifat perempuan.

Tragedi terburuk adalah bahwa pekerjaan menjadi tekanan ekonomi yang menguras energi perempuan dan mengeksploitasi kondisi material yang memburuk, merampas peran alaminya sebagai seorang ibu yang merawat anak-anaknya, seorang istri yang merawat suaminya, dan seorang ibu rumah tangga yang merawat rumahnya tanpa memikirkan kebutuhan untuk mencari nafkah dan memastikan kehidupan yang layak yang gagal diberikan oleh suami, atau lebih tepatnya yang gagal disediakan oleh negara!

Hasilnya adalah bencana; pengabaian keluarga menjadi meluas dalam banyak keluarga, dan masalah pernikahan telah menjadi merajalela karena beban berat serta tekanan fisik dan psikologis yang mengelilingi pasangan yang sudah menikah. Tingkat kenakalan di antara anak-anak meningkat karena tidak adanya wali mereka dalam tindak lanjut dan pemantauan. Banyak keluarga yang hancur dan tingkat perceraian, angka perawan tua, dan keengganan untuk menikah dan pemutusan kontrak telah meningkat!!

Karena institusi keluarga adalah serangkaian cincin yang saling berhubungan, institusi ini terstruktur dan dilindungi oleh syariah Allah. Barat menyadari pentingnya peran perempuan dalam institusi ini dan menargetkan mereka sebagai ibu, istri, dan ibu rumah tangga dalam upaya untuk mereproduksi gambaran perempuan Barat dalam versi yang sangat bergejolak!

Tetapi tidak bisa disangkal bahwa daftar prioritas dari banyak Muslimah telah berubah drastis. Peran ibu, istri, dan ibu rumah tangga bukan lagi misi pertama mereka. Peran besar dan pahala menjadi ibu dari Allah (SWT) telah hilang kecuali dia (sebagai seorang ibu) melakukan perannya dengan baik, takut kepada Allah, dan peduli serta bertanggung jawab atas rumahnya.

Islam telah menjamin kehidupan yang stabil dan tenang bagi perempuan sebagai manusia, dengan mempertimbangkan naluri mereka dan memberi mereka tugas dengan cara yang sesuai dengan lingkungan dan sifat alami mereka. Masih harus dikatakan bahwa pelaksanaan undang-undang ilahi ini adalah tanggung jawab Syariah laki-laki dan perempuan dan undang-undang ini harus dilaksanakan oleh negara yang menciptakan lingkungan yang sesuai untuk laki-laki, perempuan, dan keluarga.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *