Demokrasi: Ekspor Amerika Paling Mematikan
Oleh: Mujiyanto
MuslimahNews, ANALISIS — Ada buku menarik yang baru diterjemahkan. “Demokrasi: Ekspor Amerika Paling Mematikan” dari buku America’s Deadliest Export Democracy. Buku tersebut ditulis oleh William Blum, seorang pakar anti-mainstream yang meninggalkan tugasnya di Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada 1967 karena berseberangan dengan kebijakan AS di Vietnam.
Ia mengingatkan, Amerika bukanlah seperti yang banyak orang sangka. Untuk memahami kebijakan luar negeri AS, kata Blum, orang harus memahami prinsip bahwa AS berupaya mendominasi dunia, dan untuk tujuan ini, Amerika akan menempuh jalan apa saja yang diperlukan.
Ia kemudian mengungkap angka, bagaimana dominasi Amerika itu berlangsung. Sejak berakhirnya Perang Dunia II, Amerika telah:
·Berupaya keras untuk menggulingkan lebih dari 50 pemerintahan di luar negeri yang dipilih secara demokratis.
·Secara kotor, ikut campur tangan dalam pemilu di lebih dari 30 negara
·Mencoba membunuh lebih dari 50 orang pemimpin negara-negara asing
·Mengebom penduduk di lebih dari 30 negara
·Mencoba untuk menekan gerakan rakyat atau nasionalis di 20 negara
“Tujuh puluh negara (lebih dari sepertiga jumlah negara di dunia), di dalam proses tersebut, AS telah mencabut nyawa beberapa juta orang, membuat jutaan orang lainnya hidup dalam kepedihan dan penderitaan, dan bertanggung jawab terhadap penyiksaan yang dilakukan atas ribuan orang lainnya,” tulis Blum.
Menurut Blum, slogan dan ungkapan Amerika dapat diasosiasikan dengan rezim Nazi Jerman. Kalau Nazi menggunakan slogan “Jerman di atas segalanya” maka Amerika pun menggunakan hal yang sama “Di atas segalanya”. Amerika ingin mendominasi dunia.
Ambisi Washington itu, lanjutnya, bukan didorong oleh tujuan untuk membangun demokrasi yang mendalam ataupun kebebasan, dunia yang lebih adil, menghentikan kemiskinan atau kekerasan, atau planet yang lebih layak dihuni, melainkan lebih karena ekonomi dan ideologi.
“Bagi kekuatan elite Amerika, salah satu tujuan abadi dan paling inti dari kebijakan luar negeri adalah mencegah bangkitnya masyarakat apa pun yang mungkin dapat menjadi contoh yang baik bagi suatu alternatif di luar model kapitalis,” tulis Blum.
Untuk kepentingan itu, kata Blum, tidak ada hal yang lebih mereka sukai selain menciptakan ulang dunia sesuai dengan imaji Amerika, dengan perusahaan bebas, ‘individualisme’, apa yang disebut dengan ‘nilai-nilai yahudi-Kristen’, dan hal-hal lain yang mereka sebut sebagai ‘demokrasi’ sebagai unsur utamanya.
Blum menjelaskan, Amerika tidak peduli dengan apa yang disebut dengan ‘demokrasi’, sesering apapun Presiden Amerika Serikat menggunakan kata tersebut setiap kali membuka mulutnya. “Yang mereka pikirkan adalah memastikan negara sasaran tersebut memiliki mekanisme-mekanisme politik, keuangan, serta hukum yang sesuai dan ramah terhadap globalisasi korporasi,” tandasnya.
Salah satu instrumen yang digunakan Amerika untuk mendominasi negara lain adalah Marshall Plan. Ini, kata Blum, adalah salah satu ‘wajah mulia’ dari urusan-urusan Amerika di era modern.
Padahal, menurutnya, Marshall Plan adalah salah satu anak panah di dalam sarung bagi mereka yang berjuang menciptakan kembali dunia sesuai keinginan Amerika. Keinginan itu antara lain menyebarkan kidung pujian kapitalis, membuka pasar bebas bagi produk AS, dan menghancurkan kaum kiri di seluruh Eropa yang ingin bangkit.
Melalui Marshall Plan ini, AS menetapkan berbagai bentuk pembatasan kepada negara penerima. Semua ditentukan oleh Amerika. Dan bagian terbesar dari dana Marshall Plan kembali ke Amerika. Ia kemudian mengutip pernyataan USAID tahun 1999, “Penerima manfaat utama dari program-program bantuan luar negeri adalah Amerika Serikat.”
Dalam bukunya, Blum mengutip Edward Dowling (1941) seorang editor dan pendeta, mengomentari: “Dua tantangan terbesar bagi demokrasi di Amerika Serikat adalah pertama, khayalan yang meluas di antara kaum miskin bahwa kita memiliki sebuah demokrasi. Kedua, teror yang kronis di antara para orang kaya agar kita memahaminya.”
Pada bab ‘Apa yang dapat kita lakukan?’ Blum menulis, “Dunia kita saat ini berada dalam kehancuran besar, bahkan lebih besar jika kita memasukkan di dalamnya bencana lingkungan. Gelombang fasis Bush (dan sekarang Obama) mesti dihentikan.”
Fakta yang diungkapkan Blum ini bersesuaian dengan tulisan Joseph E Stiglitz, pemenang hadiah Nobel 2011 yang membongkar cacat demokrasi di AS. Dalam tulisannya di Vanity Fair (2011) berjudul “Of the 1%, by the 1%, for the 1%) ia menyatakan, bahwa di AS hanya 1 persen elite yang menguasai tak kurang dari 40 persen kekayaan negeri itu. Di tengah gaya hidup gila-gilaan segelintir orang superkaya, makin banyak orang miskin dan menjadi tuna wisma.
Dalam tulisan lain berjudul “The Globalization of Protest” Stiglitz menyatakan: “…perasaan bahwa ‘sistem’ ini telah gagal, dan keyakinan bahwa bahkan dalam suatu demokrasi, proses electoral tak bisa membetulkan kesalahan….para pengejar rente kaya menggunakan kekayaan mereka untuk memengaruhi legislasi demi melindungi dan meningkatkan kekayaan mereka… (dan) memengaruhi arah politik…. Mereka (yakni, para pemrotes Occupy Wall Street) benar, memang ada yang salah dengan ‘sistem’ kita.” []Media Umat