Pragmatisme Pilkada Serentak 2018

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

MuslimahNews.com — Hiruk piruk Pilkada serentak 27 Juni 2018 masih menyisakan persolan. Penyelenggaraan event dengan biaya fantantis –diperkirakan menyentuh 20 triliun- diharapkan mampu menghadirkan kontestasi yang efektif, efisien dan akuntabel. Namun, alih-alih menghadirkan pilkada berkualitas, pelaksanaan pilkada tersebut lagi-lagi membuktikan bahwa kontestasi dalam alam demokrasi hanya sekedar mempertontonkan pragmatisme politik, minim keberpihakan pada Islam ideologi.

Sejatinya, Islam sebagai ideologi tak bisa terbantahkan. Dua unsur utama ideologi -yakni pemikiran mendasar dan sistem (nidzam) yang memancar dari pemikiran dasar tersebut- terpenuhi oleh Islam. Ideologi ini semestinya dimiliki dan diperjuangkan oleh partai-partai Islam, karena pada hakikatnya mereka telah berikrar “inna shalati wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamiina.”

Kemenangan 10 pasangan calon (paslon) yang diusung PAN dan 6 paslon dukungan PKB di 17 provinsi pada pilkada 2018 ini dianggap sebagai kemenangan parpol berbasis Islam. Namun sayangnya, di antara parpol yang menjadi harapan umat tersebut, tak satupun yang memperjuangkan ideologi Islam. Demikian penilaian peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Ikrama Masloman yang menganggap kemenangan partai berbasis massa Islam di pilkada serentak 2018 tidak disebabkan faktor ideologi.

Faktor ideologi Islam menjadi bahasan penting sejak Pilkada DKI April 2014 berhasil menghempaskan harapan kalangan sekular untuk memaksakan cagub penista Alquran. Polarisasi Islam versus sekuler kian kencang karena rezim ikut bermain dalam isu ini.

Fachry Ali -pengamat Politik LIPI- menyalahkan partai-partai sekuler yang kerap mengonfrontasi Islam sehingga pengaruh Islam makin kuat dalam politik. Aksi blunder mereka itu justru menguntungkan parpol Islam dalam menjaring jumlah pemilih mayoritas. Mesin parpol Islam bekerja dengan memanfaatkan kesadaran keagamaan umat disertai dorongan para ulama dan tokoh masyarakat.

Realitasnya, parpol-parpol Islam tidak cukup konsisten dalam menjaga faktor keislamannya. Di antaranya, koalisi yang dibangun dalam pilkada 2018 amat cair. Di Jawa Timur, PKS yang dianggap paling kental keislamannya, justru mendukung calon PDI Perjuangan.

Muhammad Asfar, pengamat politik dari Universitas Airlangga menyatakan bahwa hampir tidak ada calon yang menjual ideologi untuk merebut pemilih, tetapi lebih mengandalkan program.

Pragmatisme Parpol Islam

Parpol Islam lebih memilih langkah pragmatis daripada ideologis karena dianggap minim risiko. Seperti ungkapan Pramono Ubaid Tanthowi dari KPU yang berpandangan ketiadaan ideologi justru lebih baik untuk menghindari konflik SARA, yaitu antara kelompok agama [Islam] versus nasionalis.

PKS justru menyambut positif semakin berkurangnya pemakaian ideologi di Pilkada 2018. Mardani Ali Sera, juru bicara PKS menegaskan cara PKS memenangkan pilkada bukan dengan menguatkan content ideologi melainkan dengan membaguskan program, menjaga track record dan menjelaskan visi masa depan.

Semua parpol lebih mengedepankan pragmatisme karena kemenangan calon mereka akan memengaruhi Pilpres 2019. PDI-P, Nasdem dan Hanura dinilai kian percaya diri untuk mengusung Jokowi karena kader yang menjadi kepala dan wakil kepala daerah meningkat signifikan dalam 5 tahun ini, dari 214 menjadi 345 orang.

Sekalipun Pengamat politik Universitas Andalas Dr Asrinaldi menegaskan, tidak yakin hasil Pilkada 2018 merepresentasikan hasil Pilpres 2019. Menurutnya, dalam Pilkada pemilih mempertimbangkan figur calon, dan tidak melihat partai sebagai pengusung ideologi tertentu. Kebiasaan politisi yang hanya berpikir jangka pendek menjadikan kepentingan kelompok menjadi fokus utama.

Pragmatisme dalam pilkada 2018 menjadikan parpol Islam tidak berbeda dengan partai sekuler. Peneliti lembaga survei Indikator, Mochamad Adam Kamil mengatakan, fenomena partai Islam pada pilkada tahun ini secara keseluruhan tidak berbeda dengan partai lain. Buktinya, partai Islam tidak ada yang terpolarisasi di suatu wilayah berkoalisi mengusung calon tertentu. Partai yang tidak berkoalisi di tingkat nasional justru berada dalam satu perahu di Pilkada. Pasangan Edy-Musa diusung oleh partai Gerindra, PKS, PAN, Golkar, Nasdem, dan Hanura.

Apalagi ternyata, calon non partai jauh lebih dominan dibandingkan calon dari parpol tertentu dalam pemilihan gubernur-wakil gubernur di 17 provinsi. Ridwal Kamil (profesional) di Jawa Barat dan Khofifah Indar Parawansa (ormas Islam) di Jawa Timur, serta enam wakil gubernur, salah satunya Emil Dardak (profesional), juga di Jawa Timur.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Adi Prayitno menilai, keberadaan calon kepala daerah nonkader parpol yang unggul menandakan kegagalan kaderisasi. Sehingga, partai berpikir pragmatis menggunakan jalan pintas ‘belanja’ figur kenamaan untuk diusung.

Pengamat politik Universitas Padjadjaran, Firman Manan membenarkan jika sistem kaderisasi parpol di Indonesia tidak tertata dengan baik. Banyak parpol yang membuka rekrutmen calon-calon anggota legislatif yang akan berlaga dalam pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Padahal, caleg yang maju seharusnya merupakan kader parpol. Parpol hanya ingin mengamankan posisi kepemimpinan sehingga mengenyampingkan proses kaderisasi yang merupakan bagian penting dalam sebuah parpol. Parpol cukup mengandalkan popularitas jagoannya dan mengabaikan sistem merit yang menghargai kader atas loyalitas, kerja keras dan sumbangsihnya terhadap parpol.

Fakta demikian tidak aneh karena bias perwakilan dalam demokrasi yang memang hanya mengakui suara mayoritas. Akibatnya, apapun dilakukan demi mengejar angka elektabilitas. Karenanya, kekuatan finansial yang dimiliki parpol dan calonnya kerap menjadi penentu kemenangan kontestasi apapun dalam demokrasi. Tidak heran jika korupsi menjadi kejahatan yang paling dominan dilakukan oleh para kepala daerah, termasuk yang terlibat dalam pilkada serentak 2018. Di antara sembilan calon kepala daerah berstatus tersangka koruptor, Bupati Tulungagung Syahri Mulyo dan calon Gubernur Maluku Utara Ahmad Hidayat Mus –melalui hasil hitung cepat- memenangkan pilkada di daerahnya.

Sekalipun memancing kontroversi, Mendagri Tjahjo Kumolo ngotot akan tetap melantik pasangan calon kepala daerah yang memenangkan Pilkada 2018 meski calon tersebut menyandang status tersangka. Opo tumon? Pelaku kriminal –yang konon masuk dalam kriteria extra ordinary crime– masih bisa berdiri tegak di hadapan rakyat yang mereka kelabui.

Sungguh amat naif, walaupun rezim berdalih status hukum mereka tetap akan diproses, rasa keadilan jelas-jelas telah dicederai. Negara yang berbangga hati dengan revolusi mental ini justru berani mengabaikan sanksi moral atas kejahatan elit politik.

Beginilah kehidupan politik demokrasi. Segala aturan dibuat hanya untuk dipermainkan. Pragmatisme telah membutakan esensi luhur politik dalam melayani dan menjamin pemenuhan kemaslahatan rakyat. Tertinggal elit politik yang hanya berpihak pada kepentingan pemodal yang sanggup mengongkosi perjalanan politik mereka.

Karena itu bila praktek pemilihan kepala daerah dibiarkan berada dalam sistem pemerintahan demokrasi, mustahil akan terpilih figur pemimpin yang akan mendahulukan kepentingan rakyat sebagai entitas utama dalam sistem kenegaraan. Pengkhianatan akan amanah rakyat akan terus menerus terjadi. Apalagi pengkhianatan akan ideologi Islam yang mengharuskan perwujudan Islam secara kafah.

Pemilihan Kepala Daerah dalam Khilafah Islamiyyah

Sebagai komparasi, pemilihan wali atau amir (kepala daerah setingkat provinsi) dalam sistem pemerintahan Khilafah dijamin mampu mewujudkan pemilihan yang efektif, efisien dan akuntabel. Rakyat juga bakal mendapatkan calon pemimpin terbaik, amanah-shiddiqfathanah, yang terbebas dari kepentingan pemodal, apalagi pelaku kriminal. Bagaimana tidak, karena Khilafah ditegakkan untuk menjalankan syariat Islam. Ketaatan pada Allah SWT ar Raqiib –Yang Maha Mengawasi- cukup menjadi jaminan pemilihan yang bersih dan berkualitas.

Efisiensi dan efektifitas pemilihan wali tercermin dari metode pengangkatan secara langsung oleh Khalifah. Wali tidak dipilih langsung oleh rakyat atau lembaga perwakilan. Penunjukan langsung ini meniadakan pemborosan anggaran Negara sebagaimana terjadi dalam pilkada saat ini.

Wali /amir tidak membutuhkan dana pencalonan, baik dana mandiri ataupun dana dari cukong. Faktor nir-dana ini mampu membebaskan calon kepala daerah dari tindakan korup. Energi rakyat dan penguasa juga tidak habis terbuang melaksanakan rangkaian pemilihan –yang sebenarnya cukup simple-, namun dialokasikan untuk kegiatan produktif lainnya.

Akuntabilitas penyelenggaraan pemilihan kepala daerah juga terjamin karena praktek ini adalah amalan syariah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW. Tidak ada pesanan pihak tertentu, mengedepankan kelompok kepentingan tertentu atau elit parpol sebagaimana praktek oligarki dalam sistem demokrasi.

Sebagai kepala negara, Muhammad SAW telah mengangkat para wali di berbagai provinsi. Beliau telah mengangkat Mu’adz bin Jabal menjadi wali di wilayah Janad, Ziyad bin Walid di wilayah Hadramaut dan Abu Musa al ‘Asy ari di wilayah Zabid dan ‘And. Mereka semua adalah bagian generasi terbaik yang memiliki kapabilitas dalam urusan pemerintahan, cendekia dan masuk golongan muttaqin. Mereka radliyallahu ‘anhum paham betul bahwa jabatan yang disandangnya adalah wasilah untuk bertakwa dan memberi pelayanan terbaik pada rakyat.

Di sisi lain, untuk mengantisipasi praktek korupsi para pejabat Negara Khilafah, Islam memiliki mekanisme yang cukup relevan untuk dipraktekkan hingga hari ini. Dicontohkan oleh Umar bin Khaththab ra., bahwa belia r.a akan menugaskan aparat kekhialafahan untuk meneliti berapa jumlah kekayaan si pejabat sebelum dan sesudah ia menduduki sebuah jabatan. Jika terbukti harta tersebut diperoleh dari sumber haram, maka harta akan disita dan dimasukkan ke kas negara (baitul maal).

Khatimah

Siapa lagi yang akan menjaga syariat ini jika bukan kita, umat Muhammad SAW? Seyogyanyalah jika Islam yang kita anut juga diejawantahkan dalam sistem politik. Tak usahlah kita melirik apalagi terlibat dalam sistem demokrasi yang ruwet dan cacat. Apalagi hingga mengorbankan Islam sebagai ideologi.

Cukuplah Islam untuk memurnikan ketaatan kita kepada Allah ta’ala yang menjadikan kita untuk saling menasihati.. “Kemudian dia termasuk orang-orang yang beriman, dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang. Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan. Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat.”(TQS Al Balad ayat 17-20)[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *