THR (Tunjangan Harian Rakyat) dalam Islam
Oleh: Retno Sukmaningrum
MuslimahNews.com — Hari-hari ini publik diramaikan dengan kebijakan pemerintah mengeluarkan THR dan gaji ke-13 bagi ASN, ABRI dan pensiunan. Betapa tidak, di tengah ekonomi yang sulit seperti hari ini dan utang negara yang makin melilit tetiba diadakan THR dan gaji ke-13. Tak tanggung-tanggung besaran THR-nya adalah sama dengan gaji pokok plus tunjangannya.
Pengumuman kebijakan THR pun dilakukan oleh Presiden sendiri. “Pada hari ini saya telah menandatangani PP yang menetapkan pemberian THR dan gaji ke-13 untuk pensiunan, PNS, TNI, dan Polri,” ujar Jokowi dalam konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5/2018). “Dan ada yang istimewa tahun ini dibandingkan tahun sebelumnya.THR tahun ini akan diberikan pula kepada pensiunan,” lanjut dia.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga ungkapkan bahwa THR tahun ini ada sedikit perbedaan lantaran komponennya bertambah. “Yang berbeda dari tahun ini bahwa THR dibayarkan tidak hanya dalam bentuk gaji pokok, tapi termasuk di dalamnya tunjangan keluarga, tunjangan tambahan, dan tunjangan kinerja,” jelasnya. Dari kebijakan petinggi negara tersebut maka total yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk pembayaran gaji ke-13 dan THR adalah Rp35,76 triliun atau 69% lebih banyak dari jumlah tahun lalu. Rinciannya, THR Gaji Rp5,24 triliun, THR Tunjangan Kinerja Rp5,79 triliun, THR Pensiun Rp6,85 triliun. Total THR Gaji, Tunjangan Kinerja, dan THR Pensiun Rp17,88 triliun. Jumlah yang sama juga dikeluarkan untuk pembayaran gaji ke-13, sehingga jumlah totalnya Rp35,76 triliun.
Absurditas THR 2018
Masyarakat patut bertanya, dengan jumlah THR yang cukup mencengangkan, sementara beban utang negara yang sangat besar. Bank Indonesia mencatat, Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia 2017 silam mencapai US$352,2 miliar atau sekitar Rp4.849 triliun (kurs Rp13.769). Jumlah itu naik 10,1% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sebagai gambaran, pada 2016, ULN Indonesia ‘hanya’ naik sebesar 3%. Peningkatan ULN ini cukup drastis karena “sejalan dengan kebutuhan pembiayaan untuk pembangunan infrastruktur dan kegiatan produktif pemerintah lain”, ungkap Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, dalam keterangan resminya. Pertanyaannya, amankah hutang tersebut?
Ekonom INDEF, Enny Sri Hartati, menyebut jumlah utang tersebut “pasti tidak aman” karena bunga dan cicilannya dibayar dengan “gali lubang, tutup lubang”. Kondisi gali lubang tutup lubang ini muncul akibat rasio penerimaan pajak, yang merupakan salah satu sumber dana untuk membayar ULN, “juga turun”. Realisasi penerimaan pajak Indonesia pada 2017 mencapai Rp1.151 triliun atau ‘hanya’ 89,7% dari target pada APBN-P 2017. Enny mengungkapkan kondisi tersebut “akan dilihat pasar sebagai risiko fiskal, yang membuat pasar keuangan Indonesia jadi rapuh dan mudah sekali timbul kekhawatiran.
Jika kondisi keuangan negara tidak aman dengan adanya hutang tersebut, lalu mengapa perlu membebani dengan menganggarkan dana yang tak sedikit untuk THR? Untuk hal ini pun pemerintah berkilah, bahwa justru dengan pemberian THR akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana dikatakan Kepala Biro Komunikasi Kementerian Keuangan Nufransa Wira Sakti melalui siaran persnya. “Pembayaran gaji ke-13 dan THR tahun 2018 diharapkan dapat menyumbang sektor riil dan ekonomi Indonesia dari Sabang sampai Merauke.”
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution pun meyakini, pemberian THR dan gaji ke-13 kepada PNS, TNI, Polri, dan pensiunan akan mendongkrak tingkat pertumbuhan konsumsi masyarakat pada kuartal kedua 2018. Selain tunjangan tersebut, kata Darmin, tingkat konsumsi rumah tangga secara normal memang akan meningkat pada periode tersebut. “Di kuartal kedua kan banyak event yang terjadi bukan hanya THR itu. Ada pilkada dan lebaran, jadi sebenarnya pertumbuhan kita di kuartal kedua itu lebih baik dari kuartal pertama,” kata Darmin.
Menurut peneliti INDEF, Bhima Yudhistira, Kebijakan pemerintah memberikan THR bersamaan dengan cuti panjang sebagai strategi mendorong belanja masyarakat. Bhima menilai kebijakan tersebut memiliki kelemahan. Ia menjelaskan, dampak THR pada peningkatan konsumsi bisa mengecil jika tunjangan tersebut disimpan untuk dijadikan tabungan. Apalagi masyarakat cenderung menahan belanja karena ekspektasi harga energi makin mahal. Selain itu, Bhima menilai dampak dari kebijakan tersebut hanya akan bersifat temporer. Tanpa bantuan kenaikan THR daya beli bisa melambat dan estimasi pertumbuhan ekonomi stagnan di 5,1 persen.
Bagaimanapun juga alokasi Rp17,88 triliun itu berasal dari APBN 2018 yang pembiayaannya masih didominasi pajak. Dari total pendapatan negara sebesar Rp 1.894,7 triliun, di antaranya sebesar Rp 1.385,9 triliun atau 73,14 % masih bersumber dari pajak. Jadi sungguh absurd jika dana pajak yang dipungut dari seluruh rakyat, harus dibelanjakan untuk kepentingan jajaran pegawai Negara, sekalipun mereka juga rakyat.
Semestinya pemerintah wajib mengingat bahwa perencanaan dan penggunaan APBN merupakan cara agar negara dapat melaksanakan tugas dalam memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyat. Jika APBN terus menerus disedot untuk kebutuhan pegawai, yang terjadi adalah pemborosan dana APBN. Apalagi Sri Mulyani mengaku jika seperempat APBN 2017 digunakan untuk gaji dan tunjangan pegawai. Bisa jadi nasib APBN 2018 tidak berbeda jauh. Pemerintah harus mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran ini, mengingat masyarakat-lah yang membiayai pembangunan melalui pajak.
Apalagi pemerintah menaruh harapan, jika THR yang dimiliki masyarakat akan habis dibelanjakan. Kunjungan mereka ke tempat-tempat wisata di daerah dianggap akan membantu perputaran ekonomi masyarakat setempat. Sektor UMKM ataupun pasar lokal juga terdongkrak penjualannya akibat konsumsi rakyat yang mudik dan menghabiskan THR. Bukankah persoalan ini makin aneh, ketika pemerintah berharap rakyat yang merantau menjadi penggerak ekonomi Negara? Bukankah tugas meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi ini menjadi tugas utama pemerintah? Dengan memperbaiki kepercayaan dunia usaha terhadap perekonomian, sehingga mampu banyak lapangan kerja bagi masyarakat, misalnya. Bukan menyerahkan hal ini kepada rakyat. Seakan-akan berlaku idiom : dari (pajak) rakyat, (diputar) oleh rakyat, (dinikmati pergerakan ekonomi) untuk rakyat.
Yang lebih parah lagi, keputusan THR pemerintah itu dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Setidaknya, surat Mendagri itu bakal menjerumuskan kepala daerah sebagai pasien Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Demikian yang diungkapkan Ryas Rasyid.
Seperti diketahui, dalam surat yang bernomor 903/3387/SJ dan ditujukan kepada Bupati dan walikota di seluruh Indonesia itu jelas jika surat itu mengenai pemberian THR dan gaji 13 yang bersumber dari APBD. Poin keenam dari surat edaran yang ditandatangani oleh Tjahjo Kumolo itu menyebutkan bagi daerah yang belum menyediakan/tidak cukup tersedia anggaran THR dan gaji 13 dalam ABBD tahun 2018, pemerintah daerah segera menyediakan anggaran THR dan gaji 13 dimaksud dengan cara melakukan penggeseran anggaran yang dananya bersumber dari belanja tidak terduga, penjadwalan ulang kegiatan dan atau menggunakan kas yang tersedia.
Lalu poin ketujuh, penyediaan anggaran THR dan gaji 13 atau penyesuaian nomenklatur anggaran sebagaimana tersebut pada angka 6 dilakukan dengan cara merubah penjabaran APBD tahun 2018 tanpa menunggu perubahan APBD tahun 2018 yang selanjutnya diberitahukan kepada pimpinan DPRD paling lambat 1 bulan setelah dilakukan perubahan penjabaran APBD dimaksud.
Sikap pemerintah yang melimpahkan pembayaran THR dan gaji 13 membuktikan jika pemerintah ingin dipuja dan dipuji tetapi membebani daerah. Padahal, pemerintah pusat tidak boleh intervensi apalagi mendiktekan keinginan mengubah alokasi APBD dan kepala daerah serta tidak boleh mengubah alokasi APBD tanpa persetujuan DPRD. Intinya butir 6 dan 7 surat Mendagri bisa menggiring kepala daerah jadi pasien KPK.
Beginilah dampak kebijakan populis. Ibarat panasea, hanya meredakan sakit sekejap, tidak mampu menyelesaikan problem mendasar ekonomi, apalagi mengentaskan kemiskinan rakyat. Rakyat hanya bergembira sesaat, tapi absurditasnya justru membawa pada persoalan-persoalan berikutnya. Baik masalah fundamental ekonomi, ataupun dampak sosial dan politik. Hanya rakyat yang merasakan akibatnya.
Hanya Sistem Islam yang mampu wujudkan kesejahteraan
THR dalam sistem kapitalis hari ini laksana obat bius yang dipakai sesaat. Ketika bius hilang maka akan kembali pedih, perih yang dirasa. Terlebih lagi THR hanyalah diberikan kepada sebagian rakyat, yakni ASN, kepolisian, TNI dan pensiunannya. Lalu bagaimana dengan petani, buruh, pedagang, pekerja swasta dan lainnya. Padahal anggaran THR dari APBN dan APBD, yang salah satu sumber pendapatannya adalah pajak dari seluruh rakyat Indonesia. Ibarat kata, semua dipalak, namun hasil pemalakan dibagi-bagi di beberapa orang saja. Sungguh tragis.
Hal tersebut jauh sekali dengan mekanisme membangun kesejahteraan dalam sistem Islam. Dalam sistem Islam (negara Khilafah) tak dikenal THR (tunjangan hari raya), namun dipastikan setiap rakyat mendapatkan jaminan setiap kebutuhannya, setiap hari. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Bukan pula sejahtera yang semu dan sesaat.
Jaminan terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar rakyat, termasuk kebutuhan sekundernya, baik bagi individu maupun kelompok, merupakan hak seluruh rakyat negara khilafah, baik Muslim maupun non-Muslim. Termasuk kelompok masyarakat miskin, menengah, maupun kaya. Semuanya mempunyai hak yang sama sebagai warga negara khilafah, yang dijamin kebutuhan dasar dan sekundernya.
Jaminan kebutuhan dasar dan sekunder individu warga negara bisa diwujudkan dengan bekerja, bagi pria dewasa yang mampu. Bagi anak-anak, perempuan, orang tua dan kalangan berkebutuhan khusus, jaminan diberikan oleh pria dewasa yang mampu, dan berkewajiban untuk menanggung nafkah mereka. Jika tidak mampu, atau tidak ada keluarga yang bisa menanggungnya, maka kerabat atau tetangga dekat berkewajiban untuk membantunya.
Jika tidak ada, maka negara berkewajiban untuk menanggungnya.
Jaminan di atas bisa diwujudkan, jika setiap warga negara yang mampu bekerja atau berusaha mempunyai kesempatan yang sama untuk bekerja dan berusaha. Karena itu, negara Khilafah mempunyai kewajiban untuk membuka lapangan pekerjaan, dan kesempatan berusaha bagi seluruh rakyatnya. Jika ada yang mampu bekerja, tetapi tidak mempunyai modal usaha, maka bisa mengadakan kerja sama dengan sesama warga negara, baik Muslim maupun non-Muslim. Bisa juga dengan mekanisme qardh (utang), hibah (pemberian cuma-cuma), maupun yang lain.
Dengan model jaminan seperti inilah yang benar-benar mengentaskan umat dari jurang kemiskinan dan menghilangkan ketergantungan rakyat. Dengan sistem jaminan kebutuhan seperti inilah mengantarkan kesejahteraan di tengah kehidupan kaum Muslimin dalam naungan Khilafah berabad-abad lamanya. Bukan jaminan kapitalisme yang ibarat mengoleskan balsem. Panas di awal, menguap beberapa saat kemudian. Wallahu a’lamu bish shawab.[]