AnalisisOpini

Pengaruh Suksesi Perpolitikan Malaysia Terhadap Indonesia

Oleh: Nindira Aryudhani (Relawan Opini dan Media)

Muslimahnews.com — Tanggal 10 Mei 2018, menjadi hari bersejarah bagi warga Malaysia. Melalui pemilu, politisi gaek Malaysia Mahathir Mohamad menjadi perdana menteri Malaysia ketujuh mengalahkan perdana menteri pertahanan Najib Razak, mantan anak didiknya. Hal ini awalnya di luar prediksi. Kendati Mahathir memang sudah meyakinkan diri, bahkan menyatakan “kecuali Najib curang”. Mengantongi kemenangan, Mahathir pun menjadi perdana menteri tertua di dunia, pada usianya yang hampir 93 tahun.

Barisan Nasional yang dinakhodai Perdana Menteri Najib Razak memang sempat diyakini banyak pihak bakal kembali menang. Namun, hasil resmi menunjukkan bahwa perolehan suara Barisan Nasional tidak cukup untuk menjadi pemenang. Hasil ini mengejutkan semua pengamat.

Faktor kekalahan Barisan Nasional, sebagian besar disebabkan faktor ekonomi. Biaya hidup sehari-hari telah melesat dan pemerintah justru menerapkan pajak barang dan jasa yang baru. Faktor lainnya yang berkontribusi pada kekalahan koalisi berkuasa adalah korupsi. Najib Razak menggagas pembentukan 1MDB, dana umum untuk mendorong ekonomi nasional. Akan tetapi, dana itu kemudian diduga digunakan untuk membiayai gaya hidup sejumlah orang, termasuk pejabat negara. Kondisi ini tak jauh beda dengan Indonesia.

Usai pemilihan, Najib pun menyatakan bahwa dirinya menerima “keputusan rakyat”. Dia juga mengatakan perdana menteri selanjutnya haruslah sosok yang meraih kepercayaan para anggota parlemen. Mahathir memang hampir bisa dipastikan merupakan sosok tersebut. Namun karena usianya, Mahathir berjanji akan menyerahkan kekuasaan dalam dua tahun mendatang. Keputusan Mahathir tersebut sangat mungkin mendatangkan kejutan lain. Karena perdana menteri berikutnya boleh jadi adalah Anwar Ibrahim, pria yang pernah ia pecat dan kini mendekam di penjara. Mahathir berjanji akan membebaskan Anwar Ibrahim sehingga dia bisa kembali masuk dalam dunia politik.

Peristiwa ini sepatutnya kita tinjau dari kacamata Islam. Status Malaysia sebagai negeri Muslim, adalah fakta yang tidak dapat diabaikan. Namun demikian, tokoh-tokoh politik Malaysia telah memiliki corak politiknya masing-masing, yang bersumber dari negara-negara adidaya pengemban ideologi kapitalisme pengasuh mereka. Mahathir sudah lama dikenal bercorak Inggris. Anwar Ibrahim diketahui bercorak AS. Sementara Najib Razak, belakangan diketahui banyak berpihak pada kapitalisme timur Cina. Meski berbeda corak dan telah menjadi musuh bebuyutan beberapa waktu lamanya, tapi dalam pemilu kali ini Mahathir berada dalam satu kubu dengan Anwar Ibrahim. Jika ditengok pada corak politiknya, meski berbeda tapi keduanya sama-sama bercorak kapitalisme Barat. Ini berbeda dengan corak politik Najib Razak.

Mencermati hal ini, akan sangat mungkin eskalasi opini kemenangan Mahathir ini diprediksi berpengaruh nyata pada peta perpolitikan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, di mana tahun politik tengah berlangsung. Apalagi, corak politik Indonesia sendiri sekarang ini tak jauh beda dengan Najib Razak. Artinya, duet politik Mahathir-Anwar Ibrahim, harus mampu diimbangi secara ideologis oleh kapasitas calon kepala negara Indonesia selanjutnya.

Baca juga:  Buzzer Politik yang Memanipulasi Data untuk Kepentingan Pihak Tertentu

Jika dikembalikan pada fakta Indonesia sebagai negara terbesar di Asia Tenggara dan negeri Muslim terbesar di dunia, maka akan semakin banyak PR internasional dan nasional Indonesia dalam kontekstualisasi pendewasaan politik. Corak politik kapitalisme negara adidaya di balik penguasa petahana Indonesia, akan menjadi penentu arah bahtera negeri.

Hegemoni Barat di Asia Tenggara tengah menajam dengan adanya perang dagang AS-Cina. Kemenangan Filipina dalam sengketa kawasan Laut China Selatan, secara tidak langsung telah menguatkan AS. Karena Filipina anak asuh AS. Dan jika ditambah kemenangan Mahathir berikut koalisinya dengan Anwar Ibrahim, maka ini ibarat menyatukan dua kampiun kapitalisme Barat, yaitu Inggris dan AS di Malaysia.

Hingga kapanpun Inggris-AS akan selalu bersatu ketika mereka punya kepentingan yang sama, melawan hegemoni Cina. Hegemoni kapitalisme timur (Cina) telah dinilai mulai mengancam hegemoni kapitalisme Barat. Lebih-lebih ketika Indonesia baru saja menerbitkan Perpres TKA yang menjadikan jalan mulus masuknya tenaga kerja negeri Tirai Bambu secara besar-besaran. Sementara itu, janji Mahathir yang membuatnya meraih tampuk kepercayaan warga Malaysia lagi adalah meminimalisasi pengaruh ekonomi Cina di Malaysia. Mahathir menilai ekonomi Cina di Malaysia selama pemerintahan Najib, tidak memberikan dampak positif bagi rakyat Melayu.

Karena itu selanjutnya, dalam konstelasi politik regional, Indonesia Sang Negeri Tetangga akan dituntut konsisten takluk dalam hegemoni yang sama dengan Malaysia, yakni kapitalisme barat. Atau minimal, Indonesia tidak diperkenankan terlalu didominasi kapitalisme timur milik Cina. Terlebih secara geografis, Indonesia berbatasan dengan Australia, yang tak lain adalah agen pengaman AS dan Inggris di wilayah Samudera Hindia.

Berdasarkan uraian ini, penguatan hegemoni kapitalisme barat sudah jelas terbaca. Sungguh tak ada satu celah pun visi-misi mereka bagi kedaulatan umat Islam di kawasan Asia Tenggara, kendati umat Islam mayoritas di kawasan tersebut. Di Indonesia pasca peristiwa penistaan Surat Al-Maidah 51, nyatanya sudah berulang kali terjadi penistaan agama Islam oleh pemeluknya sendiri. Sungguh, kini tiba masa semua bandul politik berayun menuju pada satu muara, bahwa siapa pun penguasa yang terpilih dalam sistem bukan Islam, maka kedaulatan umat Islam melalui penerapan syariah secara totalitas tidak akan pernah tertunaikan.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *