Penyalahgunaan Data Pribadi, Tanggung Jawab Siapa?
Oleh Rezkiana, Penulis dan Pemerhati Media
Muslimahnews.com — Pada bulan maret, dunia media sosial dihebohkan dengan “bocornya” data pribadi netizen Facebook. Disinyalir data pengguna Facebook bocor menembus angka 87 juta, 1.096.667 (1.3%) adalah akun Indonesia (peringkat ke-3 setelah AS dan Filipina), yang diduga telah diambil dan diolah oleh Cambridge Analytica.
Apa itu Cambridge Analytica?
Cambridge Analytica adalah perusahaan konsultan politik asal Inggris yang mengombinasikan data mining, data brokerage, dan data analysis dengan strategic communication untuk proses pemilihan umum. Perusahaan ini didirikan pada 2013 sebagai anak perusahaan dari SCL Group. SCL Group adalah perusahaan yang berbasis di Inggris dan menyediakan riset perilaku serta strategic communication.
Bagaimana Cambridge Analytical mengumpulkan data?
Pada 2014, seorang profesor dari Universitas Cambridge yang bernama Aleksandr Kogan membuat sebuah aplikasi kuis psikologi yang terintegrasi dengan Facebook. Cambridge Analytica melihat kuis ini sebagai salah satu metode yang murah, mudah, dan cepat untuk mengumpulkan data pengguna Facebook.
Kuis ini bernama “thisismydigitallife” sebuah kuis tes kepribadian. Aplikasi ini dikemas dengan kesan ilmiah, akademis, tetapi pada ujungnya, ia meminta akses data pribadi pengguna. Mirip-mirip seperti aplikasi kuis lain macam ‘What Type of Girlfriend are You?’ atau ‘Which Pokemon Are You?’ yang mungkin tujuan utamanya adalah hanya ingin mengumpulkan data pengguna. Kuis “thisismydigitallife” buatan Kogan mengajukan pertanyaan seperti bagaimana sifat dari seseorang, apa yang bisa membuatnya marah, apakah menyukai seni, dan sejenisnya. Lewat tes kepribadian ini, setiap orang yang melakukan tes, tanpa mereka sadari setuju untuk memberi akses kepada Kogan untuk mengakses profil Facebook mereka.
Sebanyak 270 ribu orang mengikuti kuis tersebut. Tanpa sepengetahuan mereka, kuis tersebut ternyata dapat mengakses data-data dalam profil Facebook, bahkan data orang-orang di dalam daftar pertemanan pengguna itu.
Aplikasi tersebut menarik data berupa status, like, post, daftar teman, bahkan dalam beberapa kasus, private message antar pengguna. Dari sana, Cambridge Analytica berhasil mengumpulkan data sekitar 50 juta pengguna Facebook dari berbagai penjuru Amerika Serikat.
Dalam sebuah wawancara dengan The Guardian, Wylie menyebutkan bahwa mereka mendapatkan data sebanyak itu dalam waktu dua hingga tiga bulan. Mereka menghabiskan biaya sebesar 1 juta US Dolar untuk “panen” jutaan profll Facebook.
(https://kumparan.com/@kumparantech/hubungan-aplikasi-kuis-facebook-cambridge-analytica-dan-donald-trump)
***
Penyalahgunaan data untuk kepentingan politik?
Dalam kasus Cambridge Analytica, pengguna aplikasi memberikan profil mereka dengan sukarela (consent) saat mengikuti kuis. Masalah terjadi adalah data yang telah diisi secara sukarela oleh pengikut kuis ini, telah disalahgunakan tanpa seizin para pengguna tersebut untuk “memanipulasi” opini mereka dan mempengaruhi kondisi psikologi mereka dalam mengambil keputusan.
(https://kumparan.com/megy-logen/ada-apa-dengan-facebook-cambridge-analytica-dan-donald-trump)
Kesalahan yang disangkakan kepada Cambridge Analytica adalah mereka memanen data dari pengguna Facebook tanpa pengguna Facebook itu tahu untuk apa data-data itu digunakan, yang ternyata untuk kepentingan politik. Kerja Cambridge Analytica dalam memenangkan seorang calon pemimpin yakni dengan menjalankan strategi microtargeting dan psikografi. Mahadata (big data) dianalisis sehingga bisa terlihat karakteristik-karakteristik objek kampanye yang disasar.
Data yang telah dikumpulkan lalu digunakan untuk mengidentifikasi pemilih yang dapat dibujuk (persuadable voters). Data itu juga digunakan untuk mengindentifikasi isu-isu yang menjadi perhatian para pemilih. Data-data tersebut lalu masuk ke tim pengolah data, kemudian mengirimkan ‘pesan-pesan’ yang berdampak pada sikap para pemilih.
Segmentasi psikografi berarti objek dipetakan berdasarkan karakter, motivasi, gaya hidup, hingga karakter kepribadian. Maka, mikrotargeting bisa dijalankan, yakni menyasar objek kampanye dengan cara yang lebih terpersonalisasi menurut kondisi psikologis mereka, bukan hanya kampanye secara umum.
Cambridge Analytica berkolaborasi dengan puluhan teknologi periklanan untuk memengaruhi pemilih. Sebagai contohnya, jika ada orang yang peduli dengan kesehatan maka mereka akan dialihkan ke situs yang memaparkan program Trump soal kesehatan. Pemasaran digital Cambridge Analytica melibatkan sejumlah platform, termasuk media sosial, situs pencarian, dan situs berbagi video YouTube. Cambridge Analytica menyebut teknik yang mereka terapkan membuahkan hasil berupa kemenangan Trump.
Pengambilan data publik secara ilegal, seperti yang disebutkan sebelumnya, bukanlah satu-satunya skandal Cambridge Analytica. Politico melaporkan Cambridge Analytica juga menggunakan cara-cara kotor dalam membantu kliennya. Di antara cara-cara kotor tersebut menyebar isu yang merusak reputasi lawan hingga memanfaatkan wanita penghibur untuk menjebak lawan-lawannya. Strategi yang diterapkan didasarkan pada data yang diperoleh di dunia maya.
https://news.detik.com/berita/3957252/cambridge-analytica-panen-facebookers-ri-dipakai-untuk-politik
Penyalahgunaan data terjadi karena ada “Simbiosis Mutualisme”
Akses Cambridge Analytica di Facebook adalah legal melalui aplikasi kuis dan pemasangan iklan yang jelas berbayar, otomatis membawa keuntungan tersendiri bagi Facebook besutan Mark Zuckerberg ini. Facebook adalah media yang mempertemukan Cambridge Analytica dengan “Big Data” dari kalangan netizen yang tertarik dengan “aplikasi kuiz”.
Netizen tidak berhati-hati memberikan data pribadi dan antusias mengikuti kuis-kuis, semisal: menyamakan wajahnya dengan artis atau ramalan-ramalan semacam bakal menikah dengan siapa di masa depan, atau kuis lucu-lucuan yang penuh dengan keisengan termasuk kuis yang dibuat oleh Aleksandr Kogan, yaitu sebuah aplikasi kuis psikologi yang terintegrasi.
Sistem Kapitalisme telah menyuburkan prinsip hidup “ materi adalah standar kebahagiaan”, apapun yang dapat mendatangkan materi maka akan diburu sekalipun dengan menghalalkan segala cara. Maka, kasus “kebocoran data” untuk kepentingan politik dalam hal ini via Facebook oleh Cambridge Analytica dengan menggunakan “cara kuis” menjadi perkara yang bisa saja terjadi. Karena semua pihak, hanya mementingkan kepuasan pribadi, kelompok atau lembaganya tanpa memiliki standar yang benar dalam menilai suatu perbuatan. Netizen Indonesia sekitar 1.096.667 (1.3%) yang ikut terciduk datanya oleh Cambridge Analytica pastilah kalangan yang “belum bijak” dalam berselancar di dunia maya salah satunya Facebook.
Perlindungan Data Pribadi Tugas Siapa?
Indonesia pada 2018 dan 2019 menjalani tahun politik “yang panas”, sehingga muncul kekhawatiran akan mengalami hal yang sama seperti AS dan Inggris dalam memanipulasi netizen dengan berbagai “opini pesanan” untuk membangun “persepsi” tentang “pilihan”.
Wakil Ketua Komisi 1 DPR, Hanafi Rais Wiryosudarmo mengungkapkan, “saat ini data pribadi menjadi komoditas yang paling dicari, tidak hanya oleh pemerintah maupun penegak hukum, tetapi juga oleh sektor swasta. Dengan data pribadi, sektor swasta mampu memahami perilaku masyarakat, setelah itu mengelola preferensinya untuk kemudian diarahkan sesuai apa yang diinginkan oleh kepentingan bisnis.
http://www.inews.id/news/read/fpan-penggunaan-data-pribadi-tanpa-izin-adalah-pelanggaran-ham?sub_slug=nasional
Ditambah lagi sebelum hebohnya acebook, di Indonesia telah terjadi peristiwa yang serupa berupa kebocoran Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK). Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengonfirmasi adanya kabar penyalahgunaan NIK dan NKK masyarakat yang melakukan registrasi kartu prabayar.
Isu yang berkembang, satu NIK dapat digunakan oleh 2,2 Juta nomor seluler. Berdasarkan catatan yang dihimpun oleh Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri, menyebutkan ada satu NIK dengan dipakai registrasi untuk jumlah banyak di nomor seluler di lima operator seluler, yaitu Indosat Ooredoo, Telkomsel, XL Axiata, Hutchison 3 Indonesia (Tri), dan Smartfren.
https://inet.detik.com/telecommunication/d-3963012/menguak-misteri-1-nik-dikeroyok-22-juta-nomor-selular
Dorongan untuk melindungi data pribadi sudah sampai pada tuntutan untuk mengeluarkan Perppu, karena dipandang sudah mendesak dan mengkhawatirkan. Begitu gentingkah sampai memerlukan Perppu dan UU tersendiri untuk perlindungan data pribadi? Bukankah sudah ada UUD 1945 Pasal 28 G yang berbunyi: (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Menkominfo Rudiantara menyebut jika memang benar ada penyalahgunaan NIK dan KK, maka pelaku bisa dikenai hukuman dari Undang Undang Kependudukan yaitu UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan serta UU Informasi dan Transaksi Elektronik. Rudiantara menjelaskan bahwa yang menyalahgunakan hal itu bisa dikenai hukuman 2 tahun dan denda.
Bagi yang ke hukum UU ITE ancaman hukumannya bisa sampai 12 tahun penjara plus denda Rp 2 miliar. “Yang menyalahgunakan itu subjek kepada Undang-Undang Sisminduk bisa kena hukuman sampai 2 tahun dengan denda Rp25 juta. Dan atau kena hukuman Undang-Undang ITE yang ancamannya bisa sampai 12 tahun penjara dan Rp2 miliar denda,” Kata Rudiantara beberapa waktu lalu. http://oketekno.com/74747/penyalahguna-data-nik-dan-kk-bisa-kena-denda-rp2-miliar.html
Apakah ke UU (UU HAM, UU Sisminduk dan UU ITE) masih belum mampu mengkover “Perlindungan Data Pribadi”, sehingga muncul usulan baru untuk membuat UU yang lebih spesifik terkait dengan Perlindungan Data Pribadi (PDP?.
Dorongan tuntutan ini semakin kuat bila dikaitkan dengan peristiwa terbaru tentang Facebook. Ditambah lagi opini yang terus digulirkan bahwa negara-negara Barat termasuk negara-negara ASEAN (Malaysia, Singapura, dan Filipina) juga telah memiliki UU serupa. Padahal, untuk membuat UU di negeri ini butuh proses yang tidak sebentar dan pasti dengan biaya yang tidak kecil. Sehingga muncul pertanyaan, urgensi membuat UU semata-mata karena ikut-ikutan negara lain, tuntutan jangka pendek untuk kepentingan tertentu, ataukah memang ada kebutuhan yang mendesak untuk “mengurus urusan rakyat secara tuntas”?
Tuntutan untuk membuat UU PDP atau setidaknya Perppu menjadi pertanyaan besar, segenting apakah kondisi negara saat ini? Persepsi ‘genting’ atau ‘tidak genting’ pun semakin mudah untuk ditebak, apakah berdasarkan kepentingan rakyat atau kelompok yang mengatasnamakan rakyat?
Negara ini telah lama menyatakan “DARURAT NARKOBA, DARURAT PORNOGRAFI/PEDOFIL, DARURAT KEMISKINAN dan UTANG 7000 triliun, apakah belum mendesak untuk segera diselesaikan secara tuntas?
Kebingungan menyelesaikan masalah yang tak kunjung selesai ibarat “bom” yang akan mudah meledak, sehingga memunculkan kekhawatiran bahwa negeri ini “menuju bubar” di tahun 2030. Karena banyak urusan rakyat yang tidak terselesaikan, berupa kemiskinan, kebodohan, kezaliman, pencurian SDA dan SDM, dan penderitaan lainnya. Memunculkan pertanyaan besar, siapakah yang bertanggung jawab saat ini?
Negara Penanggung Jawab Urusan Rakyatnya
Islam sebagai ideologi yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah diterapkan secara nyata dan kaffah di muka bumi dan dilanjutkan oleh kaum muslimin selama lebih kurang 13 abad lamanya dalam bentuk negata yang bertanggung jawab yang melahirkan “rahmatan lil ‘alamin”.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa seorang kepala negara adalah sebagai “pengatur/ra’in” dan Perisai/pelindung/junnah” bagi seluruh rakyatnya baik muslim maupun nonmuslim tanpa membedakan jenis kelamin dan strata sosialnya.
Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الْإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ
”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai, dimana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, dll).
Imam (Khalifah/Penguasa) dengan segala kekuatan akan mencegah musuh dari perbuatan yang mencelakai kaum muslimin, dan mencegah sesama manusia (melakukan kezaliman-pen.), memelihara kemurnian ajaran Islam, rakyat berlindung di belakangnya, dan mereka tunduk di bawah kekuasaannya. Termasuk melindungi rakyatnya dari data pribadi yang tidak boleh disalahgunakan, memberi sanksi kepada pihak-pihak yang telah membocorkan data bahkan memperjualbelikan data pribadi rakyatnya apalagi kepada musuh-musuh Islam.
Negara Khilafah tidak hanya menjaga jiwa, harta, dan kehormatan rakyatnya, tetapi juga melindungi rakyatnya dari kerusakan pemikiran dan mental disebabkan berbagai informasi yang bertentangan dengan Islam. Mudah bagi negara untuk menutup segala akses informasi yag merusak bagi rakyatnya tanpa mempertimbangkan kerugian ”materi” yang bisa dibayar tinggi oleh pihak-pihak kapital. Karena keberadaan kepala negara adalah sebagai pengatur dan pelindung rakyatnya dengan menerapkan aturan-aturan yang telah Allah SWT turunkan didalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. []
Wallahu A’lam bi Showab.