BeritaNasional

Hari Perempuan Internasional 2018: Inses, Kekerasan Dunia Maya, dan Pembunuhan Perempuan

Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan menyoroti ada bentuk-bentuk kekerasan ‘baru’ karena dinilai sebagai peningkatan dari berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi selama ini.

Pada laporan tahunannya, Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama 2017. Sebagai perbandingan, pada 2016, tercatat ada 259.150 kasus kekerasan.

Namun, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, data ini tidak bisa semata dilihat sebagai adanya peningkatan jumlah kekerasan, melainkan sebagai peningkatan dalam hal pelaporan dan semakin banyaknya korban yang berani melapor atas berbagai kekerasan yang terjadi.

Salah satu yang menonjol atau menjadi sorotan khusus adalah munculnya inses (incest: seks dengan orang tua atau keluarga kandung) sebagai bentuk kekerasan tersendiri yang dilaporkan, dan pelakunya adalah ayah atau paman.

Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang lebih tinggi dibanding 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus (sedangkan tahun 2016, yaitu 1.799 kasus), dan dari kasus kekerasan itu, ada 1.200 kasus incest yang dilaporkan.

Sementara itu, sepanjang 2017, ada lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan ke lembaga pemerintah seperti polisi atau ke lembaga penyedia layanan seperti rumah sakit. Selain itu, ada lebih dari 2.000 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan.

Baca juga:  Ibu: “Sekolah Utama”

Dalam kasus-kasus inses, gambaran pelaku berdasarkan urutan terbanyak termasuk ayah kandung (425 orang), paman (322), ayah tiri (205), kakak kandung (89), dan kakek kandung (58), sementara jumlah terbanyak pelaku seksual di ranah privat, paling banyak dilakukan oleh pacar (1.528 orang) dan suami (192).

“Sebetulnya, incest itu kan keluar (muncul dalam laporan) karena data. Data itu datangnya dari masyarakat yang melaporkan, nah itu yang membuat kami bisa tahu bahwa sekarang masyarakat itu bisa melaporkan hal yang selama ini dianggap tabu. Artinya, ini masalah yang serius, karena masyarakat sudah berani melapor, bagaimana dengan negara,” ujar Mariana.

Di sisi lain, keberanian masyarakat untuk melapor ini juga menunjukkan bahwa masyarakat “merasa aman, percaya, pada lembaga-lembaga penerima pengaduan itu”.

“Jadi sebenarnya negara sudah bisa berfungsi untuk menerima pengaduan, sekarang persoalannya adalah, bagaimana negara menangani dan mengatasi masalah itu,” tambahnya.

Femisida

Komnas Perempuan juga mengingatkan lagi akan kasus Dokter Letty yang tewas akibat penembakan yang dilakukan oleh suaminya sendiri sebagai suatu bentuk femisida atau pembunuhan terhadap perempuan.

Selain itu, kasus disfigurasi atau mutilasi menjadi salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi sepanjang 2017, dan menurut Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny, menjadi “modifikasi jenis kekerasan dalam rumah tangga”.

Baca juga:  Perempuan Jangan Mau Jadi Tumbal Kebangkrutan Kapitalisme

Sepanjang 2017, Komnas Perempuan juga mencatat adanya 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Pelakunya mulai dari pacar, mantan pacar, dan suami, selain juga kolega, sopir transportasi online dan pelaku anonim, bahkan sampai warga negara asing, sehingga mereka menyebutnya “kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus pemerintah”.

Secara khusus Komnas Perempuan juga mencatat bahwa “kejahatan cyber dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi”.

“Salah satu bentuk kejahatan cyber yang palisering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial dan atau website pornografi. Kasus ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah beban psikis bagi korban,” kata Mariana Amiruddin.

Bentuk kejahatan cyber lain yang juga sering dilaporkan adalah munculnya ancaman pada korban bahwa foto atau video pribadinya akan disebar, dan ini biasanya dilakukan agar korban tidak melapor atau meninggalkan pelaku dalam hubungan berpacaran.

Selain itu, kejahatan ini juga meliputi pengiriman teks yang berisi kata-kata sampai foto alat kelamin pelaku yang bertujuan untuk menyakiti, menakuti, mengancam, dan mengganggu korban.

Sumber: bbc.com.indonesia, 08/03/2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *