FokusOpini

Jelang Ajal Demokrasi, Songsong Fajar Khilafah

Oleh: Pratma Julia Sunjandari (Pemerhati Kebijakan Politik)

Saat Indonesia memasuki tahun politik, publik makin dihadapkan pada realitas-realitas buruk demokrasi.  Sekalipun baru bulan Januari, polarisasi antar pihak dan pendukung yang akan bertarung pada 2018-2019 kian tajam.  Tak hanya itu, tuduhan politisasi SARA, politik dinasti dan keterlibatan polisi/militer dalam suksesi kepemimpinan, manuver jaringan penguasa yang pernah berkuasa sebelumnya,  inkonsistensi penguasa atas aturan yang telah dibuatnya hingga hiruk pihuk mahar politik, kian memanaskan pertarungan menuju kekuasaan.  Wajar bila Ketua Umum PPP Romahurmuziy menyatakan bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia sudah overdosis. [1]

Memang begitulah tabiat demokrasi.  Cacat dan aibnya kian mudah diindra siapapun.  Kerusakan demokrasi nyata-nyata tidak mampu menjadikannya berumur panjang dalam mengimplementasikan  sistem politik yang dianut Kapitalisme.  Padahal Amerika Serikat –sebagai penjaga demokrasi- telah mengerahkan segala strategi untuk mengaruskan, menjejalkan dan mengawal proses demokratisasi di berbagai belahan dunia, terutama dunia Islam.  Tak bisa dipungkiri bila demokratisasi dunia Islam bertujuan untuk melibas gerakan umat yang ingin menerapkan syariat Islam dalam politik kenegaraan.

Namun, sungguh sia-sia segenap makar yang dikerahkan AS, aliansi dan mitra-mitranya.  Karena, laporan lembaga–lembaga yang tiap tahun mengukur tingkat liberalisasi sebuah negara dari pelaksanaan poin-poin demokratisasi  menunjukkan defisit demokrasi.  Seperti laporan Economist Intelligence Unit  yang menunjukkan 72 negara mengalami kemunduran dalam demokrasi.  Demikian pula Freedom House yang mencatat 11 tahun berturut-turut –hingga tahun 2016- terjadi penurunan penerapan demokrasi global.[2]

Bisa jadi alasan yang dikemukakan adalah, resesi demokrasi hanya dialami negara yang belum matang demokrasinya seperti Rumania, Venezuela dan India.[3]   Atau dialami Indonesia yang dianggap masih dalam tahap melaksanakan demokrasi prosedural, bukan subtansial. Nyatanya, AS pun keok sebagai kampiun demokrasi.   Temuan Freedom House menunjukkan melemahnya AS sebagai icon demokrasi utama, dihancurkan oleh manipulasi hasil pilpres 2016 -yang memenangkan Donald Trump.  Freedom House mengkritisi masalah etis yang dihadapi pemerintahan Trump, termasuk hubungan bisnis keluarganya, konflik kepentingan, dan keras kepalanya presiden untuk tidak mengungkapkan laporan pajaknya.[4] Demikianlah, praktek demokrasi di AS seakan-akan telah mengkhianati definisi demokrasi itu sendiri.  Para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat tidak lagi dipilih melalui suatu pemilihan umum yang adil, jujur dan persaingan bebas di antara para calon.[5]   Demokrasi Amerika juga tak lagi mencerminkan kekuasaan pemerintah dibatasi hukum dan perlindungan atas hak-hak perorangan warga negara.[6]

Problem defisit demokrasi tidak hanya terjadi di masa Trump saja.  Fenomena government shutdown –penghentian operasi- pemerintah AS menjadi salah satu penanda cacat demokrasi. Shutdown pemerintahan di AS acap terjadi sebagai konsekuensi ketidaksepakatan antara Presiden dan Kongres dalam penyusunan anggaran negara khususnya terkait pembiayaan. Dari 1980 sampai 2018, sedikitnya sudah 12 kali terjadi masalah ini. Penutupan pemerintahan terjadi ketika Kongres –yang terdiri dari dewan perwakilan (kamar majelis rendah atau House of Representatives-) dan Senat -kamar majelis tinggi–  tidak menyetujui anggaran belanja negara dalam satu tahun fiskal. Pola dwipartai – yang dianggap sebagai cara berpolitik ideal- tetap saja menjadi sumber konflik.

Baca juga:  Pengambilan Pendapat dalam Islam dan Demokrasi, Samakah?

Pada masa pemerintahan Ronald Reagen, Bill Clinton, Barrack Obama dan Trump, penutupan pemerintahan berpangkal dari partai Republik yang bersitegang dengan Partai Demokrat.[7]   Sesuai pemisahan kekuasaan menurut Konstitusi Amerika Serikat, baik Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat harus menyetujui anggaran yang disepakati, kemudian ditandatangani Presiden AS. Jika Presiden memveto rancangan anggaran tersebut, rancangannya dikembalikan ke Kongres. Di Kongres, veto tadi dapat dibatalkan dengan dua per tiga suara menolak. Penutupan pemerintahan cenderung terjadi setelah Presiden dan satu atau kedua majelis Kongres tidak mampu menyelesaikan perselisihan alokasi anggaran sebelum siklus anggaran yang ada berakhir.[8]

Demikianlah praktek dalam sistem demokrasi.  Pandangan relatif terhadap kebenaran sebuah keputusan, acap kali berasal dari sentimen  pihak penguasa terhadap oposannya, atau sebaliknya.  Jadi, jangan berharap mereka yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif benar-benar tulus ikhlas memperjuangkan kepentingan para konstituennya. Janji-janji yang terucap ketika masa kampanye hampir mustahil mampu diwujudkan karena terganjal sistem yang menyerahkan keputusan di tangan suara terkuat (baca : pemodal kuat).  Tak ada lagi realisasi vox populi vox dei. Beginilah ketika pengaturan urusan kekuasaan berada mutlak di tangan manusia.  Masalah penting kenegaraan termasuk jaminan pelayanan urusan rakyat menjadi terbengkalai gara-gara masing-masing pihak meng-klaim pihaknyalah yang paling benar dalam menentukan aturan.

Relativitas dalam memandang benar-salah memang tak mungkin dipisahkan dalam tabiat demokrasi.  Hal itu berpangkal dari konsep manusialah sebagai legislator, bukan Sang Pencipta.  Konsep dasar inilah yang menyebabkan demokrasi mengidap cacat bawaan sejak kelahirannya.  Karena cacat, klaim demokrasi tentang kesetaraan, keadilan, dan akuntabilitas penguasa, hanyalah teori, tanpa memiliki kompatibilitas terhadap realitas. Kondisi ini cukup tergambar dari realitas Amerika sebagaimana dipotret oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

CSIS –salah satu lembaga think tank yang berbasis di  Washington, D.C.- pada 12 Januari 2018  memuat salah satu artikel berjudul Time to Renew the Democracy Playbook yang ditulis Lauren Mooney[9] dan Shannon N. Green.[10] Mooney memotret kepercayaan warga negara AS terhadap institusi pemerintah telah mencatat titik terendah sepanjang sejarah.   Penguasa yang berkuasa melalui ’pemilihan demokratis’ disebut Mooney sebagai otokrat (penguasa tunggal) kontemporer  yang justru mengancam keberlangsungan demokrasi. [11]  Antiklimaks demokrasi tidak hanya tercermin pada laku penguasa, namun warga negara-negara demokratis juga mulai berpikir lebih serius tentang alternatif (pemerintahan) nondemokratis.  Terutama di kalangan generasi muda, semakin banyak individu yang ingin bereksperimen dengan berbagai bentuk pemerintahan.[12]

Seperti rata-rata 49 persen warga di 38 negara di Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Timur Tengah, dan Afrika sub-Sahara yang mengatakan bahwa peraturan oleh para ahli[13] akan menjadi cara yang baik untuk memerintah negara mereka. Apalagi keterlibatan warga juga rendah secara global, dengan jumlah pemilih berkurang secara signifikan sejak tahun 1990an. Indikator-indikator ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak berfungsi secara autopilot.  Karenanya, CSIS memberikan rekomendasi agar AS memerlukan pembaharuan atas playbook (buku pedoman) demokrasi agar demokrasi tetap mampu menjadi saluran efektif untuk mengokohkan nilai-nilai Amerika.[14]

Baca juga:  Indonesia dalam Kubangan Investasi Asing

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya” (TQS An Nisaa ayat 82).  “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya”. (TQS Al A’raaf ayat 3).   Demikianlah ketika Allah SWT memperingatkan manusia.  Praktek demokrasi nyatanya memang menimbulkan pertentangan antara teori dan realita.  Ironi, paradoks dan anomali menjadi bukti  bahwa sistem ini memang tidak layak bagi manusia manapun dan pantas untuk ditutup playbooknya.  Jadi, apakah ketika sudah terbentang fakta dan realitas tentang kebobrokan demokrasi, kita masih mengikutinya?  Janganlah kita masuk golongan yang didakwa Allah sebagai orang yang tak mau berpikir.

RAND Corporation menambahkan realita keburukan tersebut melalui laporan Truth Decay: An Initial Exploration of the Diminishing Role of Facts and Analysis in American Public Life, yang menunjukkan menurunnya kepercayaan (truth decay) terhadap sumber informasi faktual secara signifikan dalam dua dekade terakhir.  Kondisi ini menyebabkan kelumpuhan politik dan runtuhnya wacana yang dibangun dalam masyarakat sipil –yang menjadi sandaran utama sistem demokrasi- sehingga berakibat pada polarisasi politik, ekonomi dan sosial yang membelah warga negara.[15]

Konsekuensinya, truth decay  ini menyebabkan ketidakpastian dalam pembuatan kebijakan nasional, yang tentu saja menimbulkan biaya riil.  Dengan mengambil contoh government shutdown tahun 2013 yang berlangsung selama 16 hari, mengakibatkan kerugian USD 20 miliar terhadap ekonomi AS.  Dan fenomena serupa truth decay ini telah terjadi berulang kali dalam sejarah AS.  Yakni tahun 1880-1890an (perkembangan pesat industrialisasi justru menimbulkan ketimpangan ekonomi), 1920-an 1930an (saat terjadi ketidakpercayaan terhadap bank dan lembaga keuangan) dan 1960an-1970an (ketika pergolakan sosial , Perang Vietnam). [16]

Michael D. Rich –President and Chief Executive Officer, RAND Corporation– menyatakan  “Meskipun kita melihat beberapa bukti bahwa era sebelumnya juga mengalami penurunan kepercayaan pada institusi, tren ini nampaknya lebih terasa saat ini daripada di masa lalu.  Hari ini kita melihat bahwa kurangnya kepercayaan di banyak pilar masyarakat – di lembaga pemerintah, media dan keuangan – dan tingkat kepercayaan yang jauh lebih rendah daripada sebelumnya.”[17]

Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka?”  (TQS Al A’raaf ayat 185).  Maha Benar Allah dengan segala firmannya.  Qod iqtaroba ajaluhum..  Ajal demokrasi telah menjelang.  Sekalipun AS sebagai adikuasa, masih terus menggarap dan memperjuangkannya.  Namun ketahanan sang adidaya kian rapuh dan runtuh.  Institusi kuat tak lagi kuasa memikul beban politik, ekonomi dan sosial budaya yang terjadi di dalam negerinya, apalagi di luar itu.  Masyarakat dan penguasa semakin menjauh dari kebenaran hakiki dan justru bergantung pada nafsunya.  “Semakin banyak perdebatan kebijakan penting cenderung bergantung pada opini atau anekdot, seakan-akan  mereka memiliki fakta objektif atau analisis yang tepat,” kata Jennifer Kavanagh[18].

Baca juga:  Mustahil Berharap pada Pemimpin Hasil "Buzzer" Saat Ini

Jadi, bila masih ada yang berkilah, Indonesia akan sejahtera dalam bingkai demokrasi, argumentasi ini patah dengan kondisi AS.  Mau prosedural ataupun substantif, ujung demokrasi tetap sama.  Liberalisasi –yang mewujud pada kebebasan tanpa batas – telah berujung pada truth decay  yang terjadi secara periodik, terus berulang siapapun rezim yang memerintah.  Kian lama, perusakan yang terjadi makin sulit diatasi.  Karena, mereka terlalu ponggah menjadi manusia yang tak pernah becus dalam membuat aturan.

Alhasil, semua harus kembali pada ketundukan kita kepada Allah Sang Maha Tinggi.  Allahu al Muqtadir Yang Memegang kekuasaan mutlak. Allahu Al Waaliy Yang Maha Memerintah semesta mengikuti kehendakNya. Sudah saatnnya kita kembali menegakkan semua aturannya, dan tidak memberi ruang sedikitpun bagi supremasi hukum manusia.  Terlebih lagi, sebagai insan berakal, hendaknya setiap mukmin menjadikan pembenaran tentang realitas buruk peradaban kufur -yang diakui mereka sendiri-, menjadi perenungan yang tiada tara. “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)? (TQS Hud ayat 24).

Dan ketika demokrasi buah busuk Kapitalisme telah menemui ajalnya, sesuai sunnatullah, pergiliran kekuasan akan kembali kepada kedigdayaan syariat Islam.  Yang mewujud dalam institusi Khilafah Islamiyyah sebagai tatanan politik terbaik sepanjang masa.  “…Selanjutnya datang periode mulkan jabbriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak) dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah ta’ala. Setelah itu akan terulang kembali periode khilafah ‘ala minhaj nubuwwah. Kemudian Nabi Muhammad saw diam.” (HR Ahmad).  Wallahu a’lam bish showab..

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180105225811-32-267110/demokrasi-indonesia-dinilai-ketum-ppp-sudah-overdosis

[2] https://www.csis.org/analysis/time-renew-democracy-playbook

[3] Ibidem 2

[4] https://www.voaindonesia.com/a/skor-demokrasi-banyak-negara-menurun-dalam-12-tahun/4211396.html

[5] Merujuk definisi demokrasi menurut Samuel Huntington, https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[6] Merujuk definisi demokrasi menurut Charless Costello, https://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi

[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Penutupan_pemerintahan_di_Amerika_Serikat

[8] Ibidem 7

[9] Program Manager and Research Associate, Human Rights Initiative CSIS

[10] Senior fellow and director of the CSIS Human Rights Initiative CSIS

[11] Ibidem 2

[12] Ibidem 2

[13] Sebagai bandingan, dalam Khilafah Islamiyyah proses pemerintahan biasanya melibatkan para ahli.  Salah satu lembaga perwakilan yang pernah ada dalam perspektif politik dan hukum Islam adalah ahlu al-halli wa al ‘aqdi. Istilah ini digunakan sebagai lembaga representatif umat yang mempunyai kedudukan di luar area kekuasaan eksekutif. Ahlu al-halli wa al-‘aqdi mempunyai beberapa fungsi. Adapun fungsi paling mencolok yang sering diungkap oleh Mawardi adalah dalam hal suksesi kepemimpinan.  Lembaga ahlu al-halli wa al-‘aqdi pertama kali dibentuk pada masa akhir pemerintahan Umar bin Khattab. Umar menunjuk enam orang sahabat, agar satu orang diantara mereka diangkat sebagai pemimpin negara dengan lima orang sisanya. https://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/09/10/77819/fiqh-siyasah-dan-penerapan-ahlu-al-halli-wal-aqdi.html

[14] Ibidem 2

[15] Declining Trust in Facts, Institutions Imposes Real-World Costs on U.S. Society, January 16, 2018 https://www.rand.org/news/press/2018/01/16.html

[16] Ibidem 15

[17] Ibidem 15

[18] Associate Director, Strategy, Doctrine, and Resources Program, RAND Arroyo Center

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *