Keluarga

Keluarga Muslim, Mari Wujudkan Keluarga yang Cinta Peradaban Islam

Penulis: Najmah Saiidah

MuslimahNews.com, KELUARGA — Sesungguhnya, peradaban Islam telah memberikan tinta emas dalam perjalanan kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Kemajuan ilmu pengetahuan hingga kesejahteraan masyarakat menjadi catatan gemilang ketika peradaban Islam tegak di muka bumi ini.

Peradaban gemilang tersebut ada pada saat Islam dijadikan pedoman dalam segala lini kehidupan rakyat di dalam institusi Khilafah Islam. Kegemilangan ini merupakan salah satu hikmah dan rahmat yang Allah Swt. jaminkan ketika syariat-Nya diterapkan secara kafah.

Jejak peradaban Islam hingga sekarang, masih ada bahkan bisa ditemukan dalam banyak catatan sejarah yang ditulis oleh orang nonmuslim. Seorang sejarawan Barat, Will Durant, dalam bukunya, Story of Civilization, menyatakan,

“Para khalifah telah memberikan keamanan kepada manusia hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan kerja keras mereka. Para khalifah itu juga telah menyediakan berbagai peluang untuk siapa pun yang memerlukan dan memberikan kesejahteraan selama beradab-abad dalam wilayah yang sangat luas. Fenomena seperti itu belum pernah tercatat (dalam sejarah) setelah zaman mereka.”

Hanya saja, kegemilangan peradaban Islam yang pernah berjaya ini tidak semua diketahui dan dipahami oleh keluarga muslim. Tidak sedikit keluarga muslim yang “pasrah” dengan situasi saat sekarang—situasi yang penuh penderitaan dan jauh dari keberkahan—akibat tidak diterapkan syariat Islam.

Di sinilah pentingnya bagi kita memahamkan diri kita dan keluarga, serta keluarga muslim lainnya, tentang gambaran peradaban Islam dan menumbuhkan kecintaan dan kerinduan anggota keluarga untuk kembali hidup dalam peradaban yang mulia ini.

Keluarga Muslim, Keluarga yang Cinta Peradaban Islam

Peradaban (al-hadharah) secara umum dimengerti sebagai “metode kehidupan tertentu” (thariqah mu’ayyanah fi al ‘aisy) yaitu suatu cara atau gaya hidup yang khas dalam kehidupan bermasyarakat (Al-Qashash, 1995).

Jika ditinjau lebih mendalam, cara hidup yang khas ini sebenarnya lahir dari pandangan hidup (mafahim ‘an al-hayah) yang khas, sebab cara hidup manusia tergantung sepenuhnya kepada pandangan hidup yang dianutnya. Karena itu, secara lebih spesifik, peradaban dapat didefinisikan pula sebagai “sekumpulan pandangan tentang kehidupan” (majmu’ al mafahim ‘an al-hayah) (An-Nabhani, 1953).

Pandangan hidup inilah yang kemudian diwujudkan oleh manusia dalam kehidupannya, yakni dalam berbagai interaksi yang dilakukannya dalam berbagai aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, budaya, sosial, dan sebagainya.

Dari sini dapat dipahami bahwa pandangan hidup yang khas dengan sendirinya akan melahirkan peradaban yang khas pula, yang berbeda dengan peradaban lainnya. Peradaban Barat misalnya, akan berbeda dengan peradaban Islam dan akan berbeda pula dengan peradaban sosialisme.

Baca juga:  Sutayta al-Mahamali, Muslimah Pengembang Aljabar dari Baghdad

Lalu, seperti apa peradaban Islam yang khas ini? Syekh Taqiyyuddin an-Nabhani (1953) dalam Nizham al-Islam meringkas pokok-pokoknya dengan menguraikan tiga unsur utamanya, yaitu (1) akidah (pemikiran dasar); (2) tolok ukur perbuatan (miqyas al a’mal), yaitu perintah dan larangan Allah Swt., dengan kata lain gambaran kehidupan dalam peradaban Islam adalah halal dan haram; dan (3) makna kebahagiaan (ma’na as sa’adah) adalah mendapatkan rida Allah Swt..

Dengan kata lain, kebahagiaan adalah ketenangan yang sifatnya abadi, yang tidak bisa diraih kecuali dengan rida-Nya. Nah, tiga perkara itulah yang merupakan metode kehidupan dalam Islam, yang menjadikan kaum muslimin merasakan kebahagiaan di dalamnya. Mereka selalu berusaha untuk meraihnya dan berjalan di atas minhajnya.

Tentu saja, setiap keluarga muslim sangat menginginkan kehidupan seperti itu, kehidupan yang diridai oleh Allah Swt., karena keluarga muslim ini selalu berupaya hidup dengan metode yang telah digariskan oleh Islam. Keluarga-keluarga ini adalah keluarga yang mencintai peradaban Islam, yang bisa kita kenali dari ciri-ciri berikut ini:

Pertama, menjadikan akidah Islam sebagai asas dalam berkeluarga.

Ketika mereka membangun sebuah keluarga, bukan karena dorongan nafsu, prestise, atau dorongan-dorongan murahan lainnya. Mereka menikah dan membentuk keluarga semata-mata karena dorongan akidah dan mengikuti sunah Rasulullah (saw.).

Akidah Islam pun dijadikan sebagai benteng yang melindungi pemikiran keluarga mereka dari pemikiran-pemikiran kufur, seperti demokrasi, sekularisme, liberalisme, dan isme-isme yang bertentangan dengan Islam. Sehingga, keluarga akan terlindungi dari berbagai budaya dan gaya hidup kufur yang rusak dan merusak, seperti budaya Valentine’s day, seks bebas, pornografi- pornoaksi, narkoba, dan sebagainya.

Kedua, taat kepada syariat, selalu berusaha melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Hal ini tampak dalam keseharian—sebagai hamba Allah—ibadah dijalankan dengan baik, apakah yang wajib ataupun tathawwu’, menutup aurat, berpakaian islami, menjauhi riba, seks bebas, dan sebagainya.

Sebagai anggota keluarga, seluruhnya menjalankan “tupoksinya” sesuai tuntunan syariat islam. Anak wajib taat terhadap kedua orang tuanya selama tidak memerintahkan maksiat, berbuat baik kepada mereka. Sebagai ibu, maka ia mengasuh, mengurus, dan mendidik anak-anaknya.

Istri wajib taat terhadap suami dalam perkara-perkara di luar maksiat, melayani suami dengan makruf. Sedangkan suami, ia wajib melindungi anggota keluarganya, memberi nafkah dari jalan dan juga zatnya halal, mempergauli istri dengan cara yang makruf, dan sebagainya. Sebagai kakak atau adik, saling menyayangi dan menghormati, juga saling membantu.

Demikian halnya sebagai anggota masyarakat, wajib berbuat baik kepada tetangga, berdakwah, beramar makruf nahi mungkar, dan sebagainya.

Baca juga:  Agar Idulfitri di Tengah Pandemi Tetap Istimewa bagi Anak
Ketiga, menjadikan rida Allah sebagai tujuan yang akan mengantarkan pada kebahagiaan yang abadi.

Keluarga seperti ini akan senantiasa menjauhkan keluarganya dari perkara-perkara yang bisa mendatangkan kemurkaan Allah SWT.

Keempat, peduli terhadap permasalahan umat.

Tidak bisa dimungkiri bahwa permasalahan kompleks yang dihadapi keluarga-keluarga muslim di negeri ini, bahkan di seluruh dunia, adalah buah dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Semua itu akan berakhir jika syariat Islam diterapkan secara kafah, yang hanya dapat terwujud dalam naungan Khilafah Islamiah.

Oleh karena itu, keluarga yang peduli terhadap permasalahan umat tidak puas sebatas memberikan bantuan secara materi ketika melihat kemiskinan tetangga, atau melihat saudara muslim di belahan dunia lainnya yang tertindas oleh bangsa lain. Mereka akan terus berjuang hingga Khilafah—yang telah terbukti selama belasan abad mampu mewujudkan peradaban mulia di muka bumi ini—segera tegak. Sehingga, Islam sebagai din yang membawa rahmat dan keberkahan bagi seluruh alam akan benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh manusia. Lalu, bagaimana kita mewujudkannya?

Bagaimana Mewujudkan Keluarga yang Cinta Peradaban Islam?

Memang bukan hal mudah bagi kita untuk mewujudkan keluarga yang mencintai peradaban Islam, bahkan merindukan untuk kembalinya peradaban Islam. Kita pun hidup di negeri sekuler kapitalistik yang sesungguhnya sangat bertolak belakang dengan peradaban Islam yang mulia. Terlebih, banyak pihak cenderung menghalangi kembalinya peradaban Islam yang mulia.

Namun, ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan, di antaranya:

1. Meyakini dan memahami bahwa Allah adalah al-Khaliq al-Mudabbir. Artinya, mengenal Allah Swt. bukan sekadar bahwa Allah itu ada, tetapi sekaligus meyakini bahwa Allah Swt. sebagai pencipta manusia (al-Khaliq) beserta dengan nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya.

Selain itu, memahami bahwa hanya Allahlah yang berhak berhak membuat aturan untuk manusia, sedangkan manusia berkewajiban untuk taat dan melaksanakan semua aturan-Nya. Karenanya, setiap anggota keluarga tidak boleh mengambil hukum-hukum yang bukan berasal dari-Nya.

2. Setiap anggota keluarga memahami tujuan hidupnya, yang tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah Swt., sehingga Allah rida kepada mereka (QS Adz-Adzariyat: 56; QS Al-Bayyinah: 8) dan di akhirat mereka mendapat kebahagiaan sejati, yaitu masuk surga bersama-sama (lihat QS Az-Zuhruf: 70—71)

3. Setiap anggota keluarga mengenal hukum-hukum Allah, memahaminya, dan mengamalkannya, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an ataupun Sunah. Di sinilah pentingnya setiap anggota keluarga membina diri dengan tsaqafah Islam, sehingga mereka bisa menjadikan halal dan haram sebagai standar kehidupan mereka.

Sebagai pemimpin keluarga, seorang suami atau ayah memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, sehingga seluruh anggota keluarga terjaga dari api neraka (QS At-Tahrim: 6). Demikian juga seorang istri dan ibu, berperan sebagai pendamping suami dan juga menjadi pengasuh dan pendidik utama bagi anak-anaknya.

Baca juga:  Musa bin Nushair, sang Perintis Penaklukan Andalusia

4. Setiap anggota keluarga juga penting untuk memahami wajibnya penerapan syariat Islam dalam seluruh aspek kehidupan sebagai solusi bagi seluruh permasalahan manusia (QS An-Nahl: 89).

Harus dipahami juga bahwa penerapan syariat Islam secara kafah mustahil diwujudkan kecuali dalam wadah Khilafah. Oleh karena itu, memperjuangkan tegaknya Khilafah menjadi bagian dari bentuk kepedulian kita terhadap permasalahan yang menimpa umat Islam.

5. Saling mendukung sebagai sebuah tim dakwah terkecil dan saling memberi nasihat yang satu dengan yang lain. Memadukan antara tugas dalam keluarga dengan dakwah akan terasa berat jika tidak saling mendukung bahkan membantu. Karenanya, setiap anggota keluarga harus terus saling menguatkan yang satu dengan yang lainnya agar aktivitas dakwah berjalan dengan baik.

Di samping itu, saling meringankan pekerjaan di antara anggota keluarga, sehingga ketika harus keluar rumah untuk berdakwah, pengelolaan rumah tangga/keluarga tidak ada yang terlalaikan.

Allah Swt. berfirman, “Saling bantulah kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan dan jangan saling tolong dalam berbuat dosa dan permusuhan” (QS Al-Maidah [5]: 2)

6. Senantiasa menambah wawasan dan pemahaman tentang bagaimana sosok negara Islam dan masyarakat Islam pada masa Rasulullah saw. dan masa Kekhalifahan Islam, dengan mengikuti kajian-kajian atau membaca buku-buku dan kitab-kitab tepercaya, sehingga pemahaman kita dan anggota keluarga tentang peradaban Islam yang mulia makin utuh dan sempurna, tentang penerapan Islam yang dilakukan oleh Daulah Islam, kehidupan bermasyarakatnya, sosok pemimpinnya, termasuk aktivitas jihad yang dilakukan oleh kaum muslimin pada masa Islam berjaya.

Ini semua tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga akan menambah keimanan dan kesungguhan untuk menerapkan Islam secara kafah. Selanjutnya makin cinta akan peradaban Islam dan muncul kerinduan akan kembali tegaknya peradaban Islam di muka bumi ini. Hingga akhirnya semangat dan perjuangan untuk kembali berada dalam peradaban Islam yang mulia menjadi hal yang niscaya. Insyaallah.

Demikianlah beberapa upaya dan langkah yang bisa dilakukan para keluarga muslim dalam mewujudkan keluarga yang cinta peradaban Islam. Semoga dengan upaya yang maksimal dari keluarga muslim yang selalu berada dalam barisan pejuang dakwah Islam, bisa menyegerakan kembali datangnya peradaban Islam yang mulia di muka bumi ini. Amin. Wallahu a’lam bishshawab. [MNews/Gz]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *