Tsaqafah

Memosisikan Kembali Kaidah “Akhaffu Dhararayn” (Bagian 1/2)

Oleh: K.H. Hafidz Abdurrahman, M.A.

MuslimahNews.com, TSAQAFAH – Bisa dikatakan, kaidah dharar (kemudaratan) merupakan kaidah ushul yang paling banyak digunakan, baik sebagai justifikasi hukum maupun untuk mencari rukhshah (dispensasi), terutama dalam konteks-konteks tertentu, misalnya ketika ada dua kemudaratan yang dipandang berbenturan; mana yang harus dipilih.

Dari sinilah kemudian lahir kaidah yang dikenal dengan kaidah akhaffu ad-dhararayn (dua di antara kemadaratan yang lebih ringan), atau ahwan as-syarrayn (dua di antara keburukan yang lebih rendah).

Dengan redaksi yang berbeda, kaidah semacam ini antara lain ditemukan dalam karya Al-Ghazali, al-Mustashfâ fî’ ‘Ilm al-Ushûl, hlm. 178 dan As-Suyuthi, al-Asybâh wa an-Nadhâ’ir, hlm. 87.

Sebagaimana diketahui, para ulama ushul telah merumuskan kaidah berikut:

إذَا تَعَارَضَ شَرَّانِ أَوْ ضَرَرَانِ دَفَعَ أَشَدَّ الضَّرَرَيْنِ وَأَعْظَمَ الشَّرَّيْن

“Jika ada dua keburukan atau kemadaratan bertabrakan maka yang lebih berat mudaratnya dan lebih besar keburukannya harus dihilangkan.”

إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوْعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَّرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا

“Jika ada dua kemufsadatan bertabrakan maka yang harus diperhatikan adalah yang lebih besar madaratnya, dengan melaksanakan yang lebih ringan madaratnya.”

Kaidah inilah yang kemudian dikenal dengan kaidah: akhaffu ad-dhararayn (dua di antara kemudaratan yang lebih ringan), atau ahwan as-syarrayn (dua di antara keburukan yang lebih rendah). Mengenai dalil yang dijadikan sandaran, antara lain, sabda Nabi saw.:

«إِذَا الْتَقَى ضَرَرَانِ لِلأَصْغَرِ»

“Jika dua bahaya bertemu maka hendaknya dipilih yang paling kecil (bahayanya).”

Baca juga:  Memosisikan Kembali Kaidah Akhaffu Dhararayn (Bagian 2/2)

Hanya saja, dalam implementasinya, penggunaan kaidah dharar sering gegabah, dan bahkan telah keluar dari konteksnya. Padahal, sebagai hukum syariat, kaidah ini bukanlah dalil, meskipun bisa diturunkan dalam kasus-kasus lain.

Diturunkannya kaidah ini sebagai hukum syariat pada kasus lain, statusnya seperti tahqîq al-manâth, atau pembuktian fakta.

Artinya, jika fakta yang dimaksud dalam hukum tersebut sama dengan kasus-kasus lain, fakta-fakta lain tersebut adalah fakta yang sama dengan fakta hukum asalnya sehingga hukumnya sama. Karena itu, untuk mengimplementasikan kaidah ini, yang pertama kali harus dipahami adalah batasan hukum dharar (kemudaratan) itu sendiri.

Batasan Dharar

 Secara etimologis, menurut al-Jurjani, dharar merupakan kata dasar dari dharûrah, yang bisa berkonotasi sesuatu yang terjadi, yang notabene tidak dapat dihindari (an-nâzil mimmâ lâ madfa‘ lahu). Adapun menurut terminologi ulama ushul, dharûrah adalah:

  1. Sampainya pada batas ketika sesuatu yang dilarang itu tidak diperoleh, maka akan celaka atau binasa, atau nyaris (binasa atau celaka).
  2. Keterpaksaan yang sangat mendesak, yang dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan atau kematian.

Menurut Muhammad Husayn Abdullah, dharar (mudarat) adalah lawan naf‘ (manfaat). Menurutnya, yang termasuk dalam pengertian ini adalah ketika seseorang menimpakan kemudaratan, baik kepada dirinya maupun orang lain.

Kedua konteks ini, yaitu menimpakan kemudaratan kepada diri sendiri dan orang lain termasuk dalam keumuman hadis: Lâ dharar wa lâ dhirâr (Tidak ada bahaya dan membalas keburukan dengan keburukan). Sebab, kata dharar dalam hadis tersebut berbentuk nâkirah, yang berada dalam kalimat negatif sehingga berkonotasi umum.

Baca juga:  Konsep Darurat dalam Fikih Islam

Cakupan hukum dharar ini, menurut Syekh Taqiyuddin an-Nabhani meliputi dua hal:

(1) Sesuatu itu sendiri memang berbahaya dan membahayakan sekalipun tidak ada seruan Pembuat syariat yang menunjukkan adanya tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilihnya. Status yang berbahaya atau membahayakan itu sendiri telah menjadi dalil bagi keharamannya, karena Pembuat syariat telah mengharamkan dharar (perkara yang berbahaya dan membahayakan) tersebut, sebagaimana sabda Nabi saw.:

«لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ»

Tidak ada bahaya dan membalas keburukan dengan keburukan (HR Malik dalam al-Muwaththa’).

(2) Sesuatu yang secara umum telah dibolehkan oleh Pembuat syariat, namun di antara satu persatu yang dibolehkan tersebut ada yang membahayakan sehingga satu persatu yang membahayakan atau menyebabkan terjadinya bahaya tersebut bisa menjadi dalil bagi keharamannya.

Sebab, Pembuat syariat telah mengharamkan satu persatu perkara yang membahayakan atau menyebabkan terjadinya bahaya, sekalipun secara umum perkara tersebut hukumnya tetap mubah. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw. kepada para sahabat dalam Perang Tabuk, ketika beliau telah melewati sebongkah batu, lalu singgah di sana, dan orang-orang pun menimba air dari sumurnya. Tatkala mereka beristirahat, Nabi saw. bersabda:

«لاَ تَشْرَبُوْا مِنْ مَائِهَا وَلاَ تَتَوَضَّؤُوْا مِنْهُ لِلصَّلاَةِ»

Baca juga:  Konsep Darurat dalam Fikih Islam

“Jangan meminum airnya dan jangan menggunakannya berwudu untuk (mengerjakan) shalat” (HR Ibn Wahab).

Padahal, hukum air secara mutlak tetap mubah, tetapi untuk kasus air sumur tersebut hukumnya haram, karena berbahaya.

Kedua konteks di atas bisa berlaku untuk benda dan perbuatan. Racun, misalnya, adalah benda yang berbahaya jika diminum, dan bisa membahayakan nyawa peminumnya. Sedangkan aksi seorang matador yang memancing serangan banteng di arena pertunjukan, misalnya, adalah perbuatan yang berbahaya, dan bisa membahayakan keselamatan sang matador.

Karena itu, baik racun maupun aksi matador tersebut sama-sama diharamkan. Dalil keharamannya terletak pada aspek bahaya yang terdapat di dalamnya.

Adapun dolar Amerika, sebagai salah satu mata uang asing, misalnya, haram diperjualbelikan ketika membahayakan stabilitas keuangan negara, sekalipun hukum mata uang asing lainnya tetap mubah diperjualbelikan.

Demikian juga memberikan informasi kepada rezim yang memusuhi Islam, yang menyebabkan diberangusnya dakwah dan para pengembannya, adalah haram, sekalipun hukum memberikan informasi tentang dakwah secara mutlak tetap mubah. Mengenai dalil keharamannya bisa dikembalikan pada hadis sebongkah batu di atas.

Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa dharar (kemudaratan) itu bisa menimpa diri sendiri dan bisa juga menimpa orang lain. Dharar yang menimpa orang lain, yaitu ketika seseorang melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain, secara mutlak hukumnya haram. [MNews/Juan]

Bersambung ke Bagian 2/2

One thought on “Memosisikan Kembali Kaidah “Akhaffu Dhararayn” (Bagian 1/2)

  • Sitti aisyah

    Hanya islam solusi terbaik

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *