Tafsir AlquranTsaqafah

Beberapa Sifat Penghuni Surga

**(Tafsir QS al-Insan[76]:7-12)

Ibnu Katsir berkata, Mereka adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah SWT dengan mengerjakan ketaatan dan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas mereka berdasarkan syariah, juga apa yang mereka wajibkan atas diri mereka sendiri dalam nazar.”


Oleh: Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.

يُوفُونَ بِٱلنَّذۡرِ وَيَخَافُونَ يَوۡمٗا كَانَ شَرُّهُۥ مُسۡتَطِيرٗا ٧ وَيُطۡعِمُونَ ٱلطَّعَامَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ مِسۡكِينٗا وَيَتِيمٗا وَأَسِيرًا ٨ إِنَّمَا نُطۡعِمُكُمۡ لِوَجۡهِ ٱللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنكُمۡ جَزَآءٗ وَلَا شُكُورًا ٩ إِنَّا نَخَافُ مِن رَّبِّنَا يَوۡمًا عَبُوسٗا قَمۡطَرِيرٗا ١٠ فَوَقَىٰهُمُ ٱللَّهُ شَرَّ ذَٰلِكَ ٱلۡيَوۡمِ وَلَقَّىٰهُمۡ نَضۡرَةٗ وَسُرُورٗا ١١ وَجَزَىٰهُم بِمَا صَبَرُواْ جَنَّةٗ وَحَرِيرٗا ١٢
Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana. Mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan. (Mereka berkata), “Sungguh kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dan ucapan terima kasih dari kalian. Sungguh kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.” Lalu Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu, juga memberikan kepada mereka kejernihan (wajah) dan kegembiraan hati. Dia memberikan balasan kepada mereka karena kesabaran mereka (dengan) surga dan (pakaian) sutra (QS al-Insan [76]: 7-12).

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Yûfûna bi al-nadzr (Mereka menunaikan nazar). Ayat ini menerangkan sifat yang dimiliki dan perbuatan yang dikerjakan oleh al-abrâr (orang-orang yang melakukan kebajikan) semasa mereka hidup di dunia. Dengan sifat-sifat itu mereka berhak mendapatkan pahala.[1]

Sifat pertama yang disebutkan adalah semasa mereka hidup di dunia. Diberitakan dalam ayat ini bahwa mereka menunaikan nazar. Secara bahasa, an-nadzar berarti al-îjâb (mewajibkan).[2] Secara syar’i bermakna apa yang diwajibkan oleh mukallaf atas dirinya sendiri untuk Allah SWT seperti shalat, puasa, menyembelih kurban, dan lain-lain yang sebelumnya tidak wajib secara syar’i.[3]

Pengertian ini pula yang digunakan oleh sebagian mufassir dalam menafsirkan ayat ini, yakni mereka berbuat kebajikan dengan menepati nazar mereka kepada Allah SWT dalam ketaatan kepada-Nya.[4] Ikrimah berkata, “Mereka memenuhi apa yang mereka wajibkan atas diri mereka.”[5]

Sebagian mufassir memaknai ayat ini lebih luas, yakni mencakup semua kewajiban yang dibebankan oleh syariah kepada mukallaf. Di antara yang berpendapat tersebut adalah asy-Syaukani. Ia berkata, “Artinya, mereka memenuhi berbagai ketaatan yang diwajibkan Allah SWT atas diri mereka.”[6]

Qatadah dan Mujahid juga berkata, “Mereka memenuhi ketaatan kepada Allah berupa shalat, haji dan semacamnya.”[7]

Ibnu Katsir berkata, “Mereka adalah orang-orang yang beribadah kepada Allah SWT dengan mengerjakan ketaatan dan kewajiban yang telah diwajibkan oleh Allah atas mereka berdasarkan syariah, juga apa yang mereka wajibkan atas diri mereka sendiri dalam nazar.”[8]

Menurut al-Baidhawi, penyebutan “yûfûna bi al-nadzr (mereka menunaikan nazar)” lebih terang dan mengena untuk menyebut sifat mereka dalam menunaikan kewajiban. Alasannya, siapa saja yang menunaikan apa yang diwajibkan atas dirinya sendiri untuk Allah SWT itu, maka dia akan lebih menunaikan apa yang diwajibkan Allah SWT atas dirinya.[9]

Baca juga:  Menggapai Lailatul Qadar

Kemudian disebutkan sifat mereka lainnya dengan firman-Nya: wayakhâfûna yawm[an] syarruhu mustathîr[an] (mereka takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana). Mereka takut akan kedatangan suatu hari yang keburukannya merata di mana-mana. Hari yang dimaksudkan dalam ayat ini tak lain adalah hari Kiamat.[10] Adapun syarruhu bermakna azab-Nya.[11]

Lalu kata mustathîr[an], menurut Ibnu Abbas, bermakna fâsyi[an] (merata, menyebar).[12] Muqatil berkata, “Keburukannya menyebar ke langit sehingga langit terbelah, bintang-bintang berhamburan, dan para malaikat terkejut. Adapun di bumi, gunung-gunung hancur dan air meluap.”[13]

Mereka merasa takut terhadap siksa Allah yang akan menimpa mereka pada hari itu lantaran mereka tidak memenuhi nazar yang telah mereka janjikan dan berbagai kewajiban lainnya.

Rasa takut itu mendorong mereka taat kepada Allah SWT dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Mereka takut akan ditimpa keburukannya sehingga meninggalkan segala sesuatu yang menyebabkan mereka mendapatkan keburukannya.”[14]

Kemudian Allah SWT berfirman: wa yuth’imûna al-tha’âm ‘alâ hubbihi miskîn[an] wa yatîm[an] wa asîr[an] (dan mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan). Ayat ini menambahkan sifat mereka yang lain. Mereka memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang-orang miskin, anak-anak yatim dan para tawanan.

Menurut sebagian mufassir, dhamîr dalam ayat ini merujuk pada makanan yang mereka berikan. Artinya, mereka memberikan makan kepada orang-orang miskin berupa makanan yang mereka sukai. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir, al-Alusi, Mujahid, dan Muqatil.15 Menurut Ibnu Katsir, pengertian tersebut semakna dengan QS al-Baqarah [2]: 177 dan Ali Imran [3]: 92).16

Selain makanan yang diberikan adalah makanan yang mereka sukai, mereka juga selektif terhadap orang yang diberi, yakni orang-orang paling memerlukan. Dalam ayat itu disebutkan ada tiga golongan, yakni orang-orang miskin, anak-anak yatim dan orang-orang yang menjadi tawanan.

Kemudian diberitakan motif yang melatari perbuatan mereka: Innamâ nuth’imukum li wajhiL-lâh (Sungguh kami memberikan makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah). Maknanya, mereka memberikan makanan tersebut didorong oleh keinginan mendapatkan ridha Allah SWT.

Lalu ditegaskan lagi: Lâ nurîdu minkum jazâ‘[an] (Kami tidak menghendaki balasan dan ucapan terima kasih dari kalian).Ini merupakan penegasan erhadap kalimat sebelumnya. Sebab orang yang memberikan makan karena mengharap ridha Allah SWT tidak mengharapkan balasan dan meminta orang yang diberi makan ucapan terima kasih kepada dirinya.[17]

Dengan demikian mereka tidak mengharapkan balasan dari orang yang diberi, baik berupa jazâ‘[an] maupun syukûr[an]. Menurut Abdurrahman as-Sa’di, kata jazâ‘[an] berarti imbalan materi, sedangkan syukûr[an] merupakan pujian lisan.[18]

Kemudian disebutkan: Innâ nakhâfu min Rabbinâ yawm[an] ‘abûs[an] qamtharîr[an] (Sungguh kami takut akan [azab] Tuhan kami pada suatu hari yang [di hari itu] orang-orang bermuka masam penuh kesulitan).

Maknanya, mereka sangat takut terhadap azab dari Allah SWT pada Hari Kiamat. Dalam ayat ini, azab yang terjadi pada hari itu disifati dengan dua sifat. Pertama, ‘abûs[an]. Maknanya: wajah-wajah pada saat itu bermuka masam yang disebabkan oleh kedahsyatan dan kengeriannya.[19] Kedua, qamtharîr[an]. Menurut Ibnu Jarir, al-qamtharîr bermakna asy-syadîd (keras).[20] Al-Akhfasy berkata, “al-qamtharîr adalah hari yang paling keras dan panjang bencananya.”[21]

Dengan demikian hari itu benar-benar sangat dahsyat lagi mengerikan dan menakutkan. Itu tercermin dari wajah-wajah manusia yang mendapati hari tersebut. Peristiwa itulah yang mendorong mereka menginfakkan sebagian hartanya dengan memberikan makanan kepada orang yang membutuhkan.

Al-Khazin berkata tentang makna ayat ini, “Sungguh kebaikan kami kepada kalian disebabkan karena rasa takut kami terhadap dahsyatnya hari itu. Bukan karena ingin untuk mendapatkan imbalan dari kalian.[22]

Baca juga:  Disertasi Sampah Produk Liberal dan Cacat Logika Akut

Dengan demikian ada dua keinginan yang mendorong mereka melakukan amal kebajikan tersebut. Pertama, mengharapkan ridha Allah SWT beserta pahala-Nya. Kedua, berlindung dari azab yang sangat berat dan pedih yang terjadi pada Hari Kiamat.

Kedua keinginan mereka itu pun dikabulkan Allah SWT. Terkabulnya keinginan mereka yang kedua, yakni mereka terlidungi mereka dari azab yang sangat dahsyat pada Hari Kiamat disebutkan terlebih dulu dengan firman-Nya: FawaqâhumuL-lâh syarra dzâlika al-yawm (Lalu Tuhan memelihara mereka dari kesusahan hari itu).

Pada saat terjadi kegentingan yang dahsyat, azab yang sangat pedih dan berbagai kejadian yang mengerikan, mereka pun mendapatkan perlindungan. Allah SWT menjaga mereka pada saat iti. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Kondisi yang mengerikan tidak membuat mereka takut. Mereka justru disambut para malaikat dengan mengatakan, ‘Ini adalah hari yang dijanjikan kepada kalian.’”[23]

Adapun keinginan mereka kedua, yakni mendapatkan ridha Allah SWT, disebutkan dalam firman-Nya sesudahnya: walqqâhum nadhrah wa syurûr[an] (dan memberikan kepada mereka kejernihan [wajah] dan kegembiraan hati). Saat sebagian orang wajahnya suram dan dipenuhi dengan ketakutan, Allah SWT menganugerahkan kepada mereka kejernihan di wajah mereka dan rasa gembira dalam hati mereka. Dengan demikian Allah SWT memberikan dua kenikmatan pada diri mereka sekaligus, yakni kenikmatan lahir dan kenikmatan batin.[24]

Kemudian disebutkan: Wa jazâhumuL-lâh bimâ shabarû jannah wa harîr[an] (Dia memberi balasan kepada mereka karena kesabaran mereka [dengan] surga dan [pakaian] sutra). Selain itu Allah SWT juga membalas kesabaran mereka. Menurut asy-Syaukani, kesabaran itu atas segala sesuatu sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT.[25]

Ibnu Umar ra. pernah ditanya tentang sabar. Beliau menjawab bahwa sabar itu ada empat: sabar pada saat benturan pertama; sabar menunaikan kewajiban; sabar menjauhi larangan; dan sabar menghadapi musibah.[26]

Atas kesabaran mereka, Allah SWT pun memberikan balasan kepada mereka berupa jannah (surga) dan harîr (pakaian sutra). Surga adalah tempat tinggal di akhirat yang dipenuhi berbagai kenikmatan yang luar bisa. Adapun harîr (sutra) merupakan salah satu kenikmatan yang diberikan kepada penduduk surga. Itulah pakaian para penghuni surga sebagaimana diberitakan dalam QS al-Hajj [22]: 23 dan Fathir [35]: 33.

Penyebutan harîr atau pakaian yang terbuat dari sutra merupakan ‘athf al-khâsh ‘alâ al-âmm (menambahkan yang khusus setelah yang umum) menunjukkan adanya keistimewaan padanya. Menurut as-Sa’di, penyebutan sutra secara khusus disebabkan karena itu adalah pakaian mereka yang tampak, sekaligus menunjukkan kondisi pemakainya.[27]

Beberapa Pelajaran Penting

Pertama: Penyebutan sifat hamba–hamba Allah SWT yang menjadi penghuni surga ketika di dunia. Sifat pertama adalah menunaikan nazar mereka dengan sempurna. Ini disebutkan dalam firman-Nya: yûfûna bi al-nadzr (mereka memenuhi nazar).

Baca juga:  Azab atas Orang Kafir pada Hari Kiamat

Sebagaimana diterangkan para mufassir, maksud dari ayat ini adalah mereka menunaikan semua kewajiban, baik kewajiban ditetapkan oleh Allah SWT atas semua mukallaf maupun kewajiban yang ditetapkan mukallaf sendiri atas diri mereka. Kewajiban jenis kedua inilah yang secara syar’i disebut sebagai nadzar.

Oleh para ulama, ayat ini sekaligus dijadikan dalil atas kewajiban menunaikan nazar yang sudah ditetapkan oleh mukallaf. Fakhruddin ar-Razi berkata, “Ayat ini menunjukkan dalil atas kewajiban memenuhi nadzar. Sebab, Allah SWT mengiringi ayat ini dengan firman-Nya: wayakhafûna (dan mereka takut akan suatu hari). Ini mengharuskan mereka untuk memenuhi nadzar tersebut karena mereka takut terhadap azab pada hari itu. Hal ini dikuatkan dengan firman-Nya dalam QS an-Nahl [16]: 91 dan al-Hajj [22]: 29.

Sifat kedua mereka adalah merasa takut terhadap Hari Kiamat beserta semua azab dan siksanya. Hal ini disebutkan dalam firman-Nya: yawm[an] syarruhu mustathîr[an] (dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana). Sebagaimana dijelaskan para mufassir, hari yang dimaksudkan adalah Hari Kiamat. Mereka merasa takut terhadap azab yang terjadi pada hari itu akan menimpa mereka. Rasa takut itu pun membuat mereka menjalankan perintah, menjauhi larangan dan segala perbuatan yang mendatangkan siksa-Nya.

Sifat takut terhadap Hari Kiamat beserta semua azabnya merupakan sifat orang-orang yang dimasukkan ke dalam surga. Ini juga disebutkan dalam beberapa ayat lainnya, seperti dalam QS al-Ma’arij [70]: 27.

Sifat ketiga mereka adalah biasa menginfakkan sebagian harta mereka. Dalam ayat ini digambarkan bahwa mereka memberikan sedekah berupa makanan kepada kalangan membutuhkan, yakni orang-orang miskin, anak-anak yatim, dan para tawanan. Mereka melakukan itu dengan ikhlas karena Allah SWT dan semata mencari ridha-Nya. Mereka tidak meminta imbalan materi dan ucapan terima kasih dari mereka.

Kedua: Dahsyatnya azab Hari Kiamat. Ini disebutkan dalam firman-Nya: yawm[an] syarruhu mustathîr[an] (suatu hari yang azabnya merata di mana-mana). Sebagaimana diterangkan para ulama, kata syarruhu dalam ayat ini bisa berarti kedahsyatan dan kengeriannya. Bisa juga berarti azabnya. Tentang hal tersebut telah diberitakan dalam banyak ayat dan hadis: bahwa pada Hari Kiamat terjadi berbagai peristiwa yang amat dahyat dan mengerikan seperti berguncangnya bumi dengan guncangan yang amat keras, gunung-gunung dihamburkan, laut meluap, matahari digulung, bintang-bintang berjatuhan, langit terbelahm dan sebagainya. Demikian pula, siksanya. Amat dahsyat dan mengerikan. Bagi orang yang beriman, peristiwa itu membuat mereka takut untuk mengerjakan kesalahan dan perbuatan yang mengundang murka dan siksa-Nya.

Ketiga: Balasan bagi orang-orang yang mengerjakan kebajikan dan kesabaran. Diberitakan bahwa mereka dilindungi dari segala siksa dan bencana yang terjadi di akhirat. Saat para penjahat bermuka masam dan mengalami kesedihan yang luar biasa, Allah SWT menganugerahi wajah mereka menjadi putih dan bercahaya. Hati mereka dijadikan senang dan bergembira.

Mereka juga dimasukkan ke dalam surga yang penuh dengan aneka kenikmatan. Termasuk di dalamnya pakaian mereka yang terbuat dari sutra. Semua kenikmatan itu merupakan balasan atas kesabaran mereka.

Semoga kita dimasukkan ke dalam golongan mereka.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *