Fokus

RKUHP Menabrak HAM?

Produk hukum buatan manusia yang lemah ini akan sibuk menghadapi hujatan kaum liberal yang mengusung HAM. Alih-alih mampu selesaikan masalah, justru malah sibuk menjawab hujatan dan merevisi RUU tiada henti.


Oleh: Retno Sukmaningrum

MuslimahNews.com, FOKUS — Redaktur Eksekutif Harian Rakyat Merdeka, Supratman, divonis enam bulan penjara dengan masa percobaan 12 bulan karena dianggap mencemarkan nama baik Megawati Soekanoputri. Tampaknya akan banyak insan pers yang akan mengalami nasib serupa Supratman dengan akan disahkannya Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Layak jika Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mengkhawatirkannya. Kedua LSM itu menilai 10 pasal RUU KUHP mengancam kebebasan pers dan berpotensi mengkriminalisasi jurnalis. Kesepuluh pasal itu adalah pasal 219, 241, 247, 262, 263, 281, 305,354, 440, dan 444.

Pasal-pasal tersebut antara lain membahas soal penghinaan terhadap presiden, pemerintah, dan penguasa; pasal penyiaran berita bohong; dan pasal penghinaan terhadap agama. “Ada kriminalisasi yang sifatnya estimasi, ada juga yang sudah terjadi kasusnya. Itu saya kira menjadi alasan sangat kuat mengapa kita khawatir dengan pasal itu,” jelas Abdul Manan-ketua AJI (2/9/19).

Sementara itu, Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, menyoroti pasal penghinaan terhadap pengadilan di pasal 281 yang dapat menjerat jurnalis dan perusahaan media yang kerap menulis soal putusan sidang dan jalannya peradilan. Menurutnya, pasal tersebut berpotensi digunakan penegak hukum yang buruk dalam membungkam media yang menulis berita bernada kritik atas putusan.[1]

Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin, usai menggelar konferensi pers di kantor AJI, Jakarta, Senin, 2 September 2019. (Foto: VOA/Sasmito)

Sasmito dari AJI Indonesia, mengklaim, sejak 2016 organisasinya telah melayangkan protes ke DPR untuk mencabut pasal-pasal yang dianggap bisa mengancam kebebasan pers. Tapi, hingga menjelang pengesahannya, sejumlah pasal yang diprotes tetap dipertahankan DPR. “Kita tidak melihat upaya dari pemerintah dan DPR untuk merawat kebebasan pers. Ini langkah yang kontradiktif terhadap kebebasan pers di Indonesia,” katanya.

Dalam lima tahun terakhir, menurut catatan AJI Indonesia, setidaknya ada 16 kasus kriminalisasi terhadap jurnalis. Umumnya terkait tuduhan penyebaran fitnah dan pencemaran nama baik dengan jeratan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Reporters Without Borders for Freedom of Information (RSF) menempatkan indeks kebebasan pers di Indonesia pada peringkat 124 dari 180 negara selama tiga tahun berturut-turut. Artinya, indeks kebebasan pers di Indonesia jalan di tempat. “Peringkat tingkat kebebasan pers di tingkat internasional bisa menurun, dan bisa lebih buruk lagi,” lanjut Sasmito.

Baca juga:  Menakar Penerapan Hukum Syariat di Aceh

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai RKUHP ini sebagai produk kebijakan ‘tindak pidana pers’. Padahal, jurnalis atau hal terkait aktivitas jurnalistik tak bisa langsung dipidana. “Mestinya harus hati-hati merumuskan atau mengkriminalisasi perbuatan yang mestinya bukan perbuatan kriminal… Karena memberitakan sendiri, itu bagian dari unsur demokrasi,” kata Fickar (3/9/19).[2]

Penyusunan RUU KUHP sendiri bertujuan menghapus hukum kolonial dari zaman Belanda dan dibangun atas semangat mengatur pasal pidana dari semua UU. Jika disahkan, UU ini akan menggantikan KUHP warisan pemerintahan Hindia Belanda 100 tahun lalu. Namun nyatanya, rancangan tersebut membuat gaduh banyak pihak. Selain akan mengantarkan pada kriminalisasi insan pers, ditengarai RKUHP juga menimbulkan persoalan pada penanganan korupsi dan masalah aborsi pada korban perkosaan.

Untuk kasus korupsi, justru hukuman bagi koruptor di RKUHP lebih ringan jika dibandingkan dengan yang tertera pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) dari Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, menilai langkah ini akan membuat korupsi di Indonesia bisa semakin marak dan efek jera bagi koruptor akan berkurang. Demikian pula Abdul Fickar Hadjar, yang menilai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) akan menjadi kejahatan biasa (ordinary crimes) ketika pasal-pasalnya masuk ke dalam RKUHP.

Untuk persoalan aborsi, RKUHP yang dijadwalkan untuk disahkan 24 September tahun ini, dianggap berpotensi menjerat korban perkosaan yang melakukan aborsi serta melanggengkan praktik perkawinan anak. The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut beberapa pasal yang berpotensi membuka ruang diskriminasi bagi para perempuan, seperti menjerat korban perkosaan yang melakukan aborsi. Rancangan RKUHP tertanggal 28 Agustus 2019 Pasal 470, mencantumkan bahwa setiap perempuan yang menggugurkan kandungannya atau meminta orang lain menggugurkan kandungannya dapat dipidana maksimal empat tahun.

Pihak ICJR menilai bahwa kriminalisasi korban perkosaan adalah pada penetapan usia kehamilan, yang menjadi prasyarat aborsi. Maidina Rahmawati-peneliti ICJR mengatakan RKUHP seharusnya membawa kebaruan dalam hukum pidana di Indonesia. “Harapannya, perumus RKUHP juga meneliti kembali apakah batasan 6 minggu atau 40 hari itu sudah cukup memberikan perlindungan bagi temen-teman korban perkosaan,” ujarnya.

Baca juga:  Hipokrisi HAM atas Kebebasan Beragama

Maidina mengatakan banyak korban perkosaan yang tidak tahu dirinya hamil selepas 40 hari atau terlambat bertindak karena takut melapor. Maka, ujarnya, batasan waktu untuk melakukan aborsi seharusnya dilakukan berdasarkan penelitian yang valid. Beban para korban pun akan bertambah karena kata Maidina, negara tidak menyediakan bantuan hukum atau psikologis bagi korban perkosaan, apalagi menawarkan bantuan untuk merawat bayi itu.

Ketua Aliansi Satu Visi, sebuah organisasi yang fokus pada kesehatan reproduksi, I Komang Sutrisna, mengatakan peraturan seperti itu malah akan membuat remaja terpaksa melakukan aborsi yang tidak aman. Atau, kata Komang, mereka akan terpaksa untuk melakukan perkawinan dini karena sudah hamil, meski kondisi psikologis mereka tertekan.[3]

Perseteruan DPR sebagai pihak yang melegislasi RKUHP dengan pihak lain, baik insan pers, pegiat perempuan, dan lainnya, tampaknya akan terus berlangsung. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntut pemerintah agar menarik draf Revisi UU ini dan membahasnya kembali dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin dengan melibatkan berbagai pihak. Hal tersebut disampaikan Direktur Pelaksana ICJR, Erasmus Napitupulu mewakili 37 ormas dan LSM yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP[4].

DPR sendiri memastikan RKUHP yang menuai kritik dari sisi HAM ini tetap akan disahkan akhir bulan ini. Anggota Komisi Hukum DPR, Taufikqulhadi menyatakan bahwa DPR sendiri dengan KUHP yang akan disahkan nanti, akan membuat demokrasi menjadi normal.

Dari sini tampak jelas, bahwa produk hukum yang dihasilkan dalam sistem demokrasi akan selalu menimbulkan kegaduhan. Masing-masing saling melempar tudingan bahwa pihak lain tidak demokratis atau mencederai demokrasi di negeri ini. Padahal bentuk demokratis seperti apa, kembali pada penafsiran dan pendapat masing-masing. Dan inilah yang tidak akan bertemu. Mengapa? Tak lain karena demokrasi sendiri tak lepas dari standar amal berdasarkan kemanfaatan. Kemanfaatan orang per orang atau kelompok per kelompok akan berbeda.

Jika dianggap menabrak HAM, parameternya juga amat ambigu. HAM, yang hari ini seolah menjadi “tuhan baru” nyatanya banyak menimbulkan ketimpangan di ranah privasi, publik, maupun sistem. Dalam kasus RKUHP, undang-undang yang mengatur pers bertentangan dengan kebebasan pers. Aturan yang mengatur aborsi bertentangan dengan hak reproduksi perempuan dan beberapa produk hukum lainnya. Dengan adanya HAM, produk-produk hukum pada akhirnya mengalami disfungsionalisasi. Menjadi pasal karet yang bisa ditarik ke sana ke sini, atau bahkan tinggal menjadi tulisan di atas lembaran.

Baca juga:  UU Bermasalah Lahir dari Rahim Demokrasi

Jika dikaji lebih jauh, sesungguhnya HAM tidak ada dalam Islam. Manusia sesungguhnya makhluk Allah SWT. Dia adalah hamba Allah. Allah memberikan seperangkat aturan bagi manusia. Jika manusia menjalani aturan (syariat) tersebut akan terjaga kehormatannya, darah, harta, nashab, dan agamanya. Kelima hal itu adalah hak dasar manusia. Sepanjang manusia menjalankan hukum Allah, akan terpenuhi hak dasar manusia. Dan itu berjalan selaras. Artinya, jika hukum Allah tidak diterapkan maka hak dasar manusia akan terancam. Dan itulah yang terjadi hari ini.

Keselarasan tersebut tidak akan mungkin terjadi pada RKUHP dan HAM. RKUHP yang sekadar bertujuan mengganti hukum buatan Belanda, pada hakikatnya tidak mengubah apapun. Hukum Belanda adalah buatan manusia, yang diganti dengan hukum buatan DPR yang juga jenis manusia pula. Artinya, kadar mereka dalam memahami persoalan manusia dan menetapkan solusi atasnya, pastinya tidak sahih dan tidak paripurna. Pasti akan selalu menimbulkan persoalan baru dan justru memunculkan kezaliman.

Produk hukum buatan manusia yang lemah ini akan sibuk menghadapi hujatan kaum liberal yang mengusung HAM. Alih-alih mampu selesaikan masalah, justru malah sibuk menjawab hujatan dan merevisi RUU tiada henti.

Walhasil, produk buatan manusia ini tak akan mampu menyelesaikan persoalan pidana dan perdata yang makin marak hari ini. Padahal, dalam persoalan hukum, sesungguhnya manusia tinggal menerapkan pada apa yang terkandung dalam Alquran dan Sunah. Dan untuk persoalan yang baru muncul di akhir zaman ini, cukuplah menggali dari kedua sumber hukum itu pula.

Ukuran kebenaran juga menjadi jelas yakni halal dan haram berdasarkan nash syar’i (dalil syariat, ed.). Bukan pertimbangan hawa nafsu manusia yang seringkali sarat dengan keserakahan, dipengaruhi oleh berbagai kepentingan, perbedaan waktu dan tempat.

Saatnya meng-upload kembali hukum-hukum Islam dan universalitas Islam, demi terselesaikan secara tuntas persoalan hidup dan terjaganya hak-hak dasar manusia. Afahukmal jahiliyyati yabghun wa man ahsanu minallahi hukman li qoumi yukinun (Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, siapakah yang lebih baik dari pada (hukum Allah) bagi orang-orang yang yakin? [MN]


[1]  https://www.voaindonesia.com/a/sepuluh-pasal-ruu-kuhp-ancam-kebebasan-pers-/5067593.html

[2]  https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49551665

[3]  https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49548049

[4] https://tirto.id/cED6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *