FokusOpini

Pajak Nasi Bungkus, Mpek-mpek, Kresek dan Kenaikan Harga Materai: Ironi Negara “Kaya” dalam Menambal Pendapatan yang tak Meningkat

Mengapa pemerintah masih harus mengambil resiko memberatkan rakyat dengan segitunya mengais-ngais “recehan” dengan memajak rakyat yang hidupnya sudah serba susah? Mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada alternatif solutif untuk mengatasinya? Solusi yang tak menyengsarakan rakyat tapi menyejahterakan rakyat.


Oleh: Indira S.Rahmawaty (Dosen Ilmu Politik dan Aktivis Dakwah Islam Ideologis, Berdomisili di Bandung)

Pengantar: Lucunya Negeriku!

MuslimahNews, FOKUS — Lucu tapi miris, tersenyum dalam perih, itulah pikiran yang langsung terlintas dalam benak ketika beredar berita tentang rencana kenaikan harga materai hingga nasi bungkus, mpek-mpek dan kresek yang kena pajak. Hal ini juga pasti membuat masyarakat awam tak habis pikir dengan langkah pemerintah ini. Kenapa tidak berpikir untuk meningkatkan pendapatan dari garam? Atau dari ikan? atau yang lebih besar? Seperti pendapatan pengelolaan dari hutan, timah, emas atau migas yang kita miliki? Kenapa harus menyasar hal-hal yang memberatkan rakyat menengah bawah? Apa pemerintah sengaja ingin menguji kesabaran rakyatnya? Di saat situasi politik pemilu dan pasca pemilu masih meninggalkan sejumlah duka dan kecewa. Apa pemerintah ingin menjadi musuh dan menantang berseteru dengan rakyatnya sendiri?

Sungguh, social cost yang harus ditanggung pemerintah pastinya tidaklah ringan dari kebijakan yang makin menyusahkan rakyat ini. Apalagi jika dikaitkan dengan peringatan dari Rasulullaah shallallahu’alaihi wa sallam tentang pemimpin yang menyusahkan atau memberatkan rakyatnya, maka resiko yang harus ditanggung tidaklah main-main karena menyangkut nasibnya kelak di akhirat yang abadi. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda: “Ya Allah, siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia; siapa saja yang menangani urusan umatku lalu ia berlaku lembut kepada mereka, maka berlaku lembutlah kepada dia.” (HR Muslim dan Ahmad)

Pemimpin/penguasa haruslah memberi kabar gembira, bukan membawa kesedihan, tidak membuat ketakutan serta memberi kemudahan kepada rakyat. Dan pemimpin yang seharusnya memenuhi semua kebutuhan rakyat, sebagaimana sabda Rasul shallallahu’alaihi wa sallam:Siapa saja yang mengurusi urusan masyarakat, lalu ia menutup diri dari orang yang lemah dan membutuhkan, niscaya Allah menutup diri dari dirinya pada hari kiamat.” (HR Muslim) Lalu mengapa pemerintah masih harus mengambil resiko memberatkan rakyat dengan segitunya mengais-ngais “recehan” dengan memajak rakyat yang hidupnya sudah serba susah? Mengapa ini terjadi? Apakah tidak ada alternatif solutif untuk mengatasinya? Solusi yang tak menyengsarakan rakyat tapi menyejahterakan rakyat.

Atas Nama Meningkatkan Pendapatan: Ujung-ujungnya Memalak Rakyat

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, perubahan nominal materai dari Rp3000 dan Rp6000 menjadi satu nominal saja yaitu Rp10.000 dilakukan atas perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dapat meningkatkan penerimaan pemerintah dari bea materai. Ia mengakui bahwa potensi penerimaan negara dari materai tempel saja selama ini mencapai Rp 3,8 triliun. Selain itu, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa batas maksimal pengenaan bea materai Rp 6000 dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini. Penerimaan negara dari bea materai akan naik menjadi Rp 8,83 triliun dan sekarang Rp 5,06 triliun.

Sementara itu tentang pajak 10%, untuk nasi bungkus dan mpek-mpek maka itu untuk meningkatkan penerimaan pendapatan daerah, dalam hal ini Palembang. Badan Pengelola Pajak Daerah (BPPD) Kota Palembang menyatakan bahwa pajak dari sektor pempek sangat besar. Hanya saja selama ini belum digarap secara maksimal. BPPD Palembang bahkan memasang alat pemantau pajak online (e-tax) di sejumlah rumah makanan dan kedai pempek dengan disertai ancaman jika nantinya kasir diketahui tidak menggunakan alat ini saat bertransaksi, maka akan dikenakan sanksi dari instansi terkait. Hal inipun memiliki legitimasi hukum dari Peraturan Daerah Kota Palembang tahun 2002 tentang pajak restoran. Sementara itu di sisi lain, Pemerintah menaikkan batas harga minimal kelompok hunian mewah, seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house dan sejenisnya yang bebas Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM).

Baca juga:  [News] Rencana Pengenaan PPN Sembako dan Jasa Pendidikan, Cara Pulih dari Dampak Pandemi?

Sedangkan untuk kantong plastik atau kresek selain untuk menambah penerimaan pendapatan negara juga dengan dalih dan asumsi mengurangi 30 persen sampah dan menangani sampah sebesar 70 persen termasuk sampah plastik, demi menyelamatkan lingkungan katanya. Namun sejumlah pembacaanpun menyeruak: Betulkah akan mengurangi sampah plastik? Jika konsumen harus membayar kresek, apakah produsen juga membeli mahal kresek tersebut? Karena faktanya hari ini Indonesia masih menjadi “destinasi” sampah plastik negara maju seperti AS, Inggris dan Australia. Hal ini sebagaimana dinyatakan Direktur Eksekutif Ecoton, lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah bahwa pengolahan sampah di AS, mendatangkan masalah lingkungan. Sebab, pengolahan daur ulang sampah memerlukan proses panjang, dari pembersihan, pemotongan, hingga pemanasan sampah plastik menjadi biji-biji kecil (palet). Maka negara maju kalau recycle plastik di sana mahal dan menimbulkan pencemaran dan tidak mau dengan biaya pengolahan mahal juga terjadi pencemaran, jadi dikirim ke [salah satunya] Indonesia. Sebenarnya jenis pajak “baru” yang terus diminta pemerintah kepada rakyatnya bukanlah hal baru. Sebelumnya sudah ada pajak warteg, pajak THR dll. Inilah ironi negara yang kaya potensi sumber daya alam dan manusianya namun harus mengais koin-koin demi peningkatan penerimaan negara dari memajak rakyatnya dan menelan pahitnya sisa kotoran dari kemakmuran yang dinikmati negara maju.

Selain Kematian, Pajak adalah Suatu Hal yang Pasti dalam Sistem Ekonomi Kapitalis-Liberal

In this world nothing can be said to be certain, except death and taxes” (Di dunia ini tidak ada yang bisa dikatakan pasti, kecuali kematian dan pajak.)” (Benjamin Franklin, Politisi AS )

Tampaknya yang dinyatakan tokoh besar Amerika Serikat era 1700an itu benar adanya. Benjamin Franklin mengenali betul karakteristik sistem ekonomi kapitalis yang pasti akan memajak rakyatnya. Dalam konteks Indonesia juga negara-negara secara umum, pajak adalah pos pendapatan yang pasti ada dan menduduki posisi teratas. Artinya pajak adalah sumber pendapatan utama negara. Dan tentu saja pajak ini dibebankan kepada rakyat. Target penerimaan dari pajak pun dari tahun ke tahun terus ditingkatkan. Sejak tahun 2002, Pemerintah meningkatkan sumber penerimaan pajak di atas 70%, bahkan tahun 2019 hampir 80%, sedangkan sisanya dari sumberdaya alam.

Penerimaan perpajakan terdiri dari berbagai jenis pajak mulai pajak pengahsilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi dan bangunan serta pajak-pajak lainnya termasuk dari bea materai. Ini disebut pajak pusat yang akan masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain pajak pusat, rakyat Indonesia juga harus kena pajak daerah!. Yang tergolong jenis pajak daerah antara lain pajak restoran, pajak hotel, pajak hiburan, pajak reklame, pajak kendaraan bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan pajak penerangan jalan. Penerimaannya akan masuk ke APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah). Jadi, selama sistem ekonomi negara ini adalah sistem ekonomi kapitalis neo-liberal maka rakyat akan terus diperas dengan pajak layaknya korban drakula yang dihisap darahnya hingga habis.

Baca juga:  Bebas Pajak di Sistem Kapitalisme, Mitos atau Fakta?

Akar Masalah Pendapatan Negara yang Minim

Seperti yang diungkap di atas akar pendapatan negara yang minim adalah penerapan sistem ekonomi dan keuangan kapitalis. Sistem ekonomi yang dijalankan satu paket oleh sistem politik demokrasi-korporatokrasi. Penerapan ekonomi kapitalis ini telah mengakibatkan kekayaan milik rakyat—seperti hutan, minyak bumi, aneka tambang, dll—hanya dikuasai sekaligus dinikmati oleh segelintir orang aja. Mereka adalah para konglomerat dan pihak asing yang berkolaborasi dengan penguasa atas nama swastanisasi dan privatisasi. Sumber penerimaan pendapatan negara terbesar pun malah “diberikan” kepada swasta asing dan aseng atas nama berbagai kesepakatan. Dengan payung hukum yang memberikan liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik, perusahaan multinasional asing seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengekploitasi kekayaan alam Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Akibatnya, pemasukan APBN dari sektor SDA Migas dan non-Migas makin lama makin kecil. Pada saat yang sama, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan perkwartal TDL, telepon, dan BBM.

Pernyataan Sri Mulyani pun menunjukkan bagaimana cara berpikir neoliberal ini begitu mengokoh. Sri Mulyani pun menilai opini yang berkembang di tengah masyarakat terlalu menyederhanakan masalah utang dan pajak ini. Dengan argumen bahwa pemerintah punya penerimaan lain yaitu dari investasi dan KPBU (Kerjasama pemerintah Badan Usaha). Namun justru pernyataan ini makin menegaskan bahwa negara yang makin lepas tangan dan membuka jalan untuk swasta menguasai sumber-sumber ekonomi strategis negara ini. Dan hal ini juga menunjukkan Indonesia yang begitu bergantung pada negara lain dan perusahaan-perusahaan multinasional. Indonesia makin masuk dalam jeratan konstelasi internasional negara-negara maju yang makin mengondisikan Indonesia untuk berbangga menjadi objek ekspolitasi/penjajahan ekonominya.

Mencari Solusi Pendapatan Negara di Luar Pajak, Utang dan Investasi? Pakai Sistem Ekonomi dan Keuangan Islam

Langkah berani dan mendasar harus dilakukan bangsa ini jika ingin keluar dari sistem ekonomi kapitalis yang mencekik rakyat. Pemerintah harus menghentikan privatisasi barang-barang milik umum itu dan mencabut semua undang-undang yang melegalkan penjarahan SDA oleh pihak asing. Dan tentu saja tidak lagi menggunakan sistem ekonomi kapitalis neoliberal tersebut. Selanjutnya Sistem Islam seharusnya menjadi pilihan sebagai sistem yang dijamin kebenarannya oleh Allah subhanahu wa ta’ala Sang pencipta dan secara historis terbukti keberhasilannya dalam mensejahterakan rakyat. Hal yang penting dalam pembiayaan pembangunan ekonomi negara adalah melepaskan mindset bahwa perekonomian bangsa bergantung pada utang dan investasi asing-aseng yang merugikan.

Dari sisi sistem keuangan. Sistem keuangan Islam dalam Negara Khilafah mempunyai banyak pos penerimaan negara yang terangkum dalam 3 pos besar (fai-kharaj, milkiyyah amm, zakat), tanpa pernah terjerat utang luar negeri yang ribawi.

Pertama, bagian fai dan kharaj. Fai adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah dimana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara Islam. Dengan objek tanah yang produktif maka pungutan ini tidak membebani rakyat, baik Muslim ataupun non-muslim.

Baca juga:  Negeri Surganya Oligarki, Tax Amnesty Titipan Cukong Berdasi?

Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum adalah izin dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada jamaah (masyarakat) untuk secara bersama-sama memanfaatkan sesuatu. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang depositnya tidak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlahnya sangat banyak.

Ketiga, bagian sadaqah. Bagian sadaqah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.

Ada 1 pos tambahan lagi yang bersifat extraordinary jika kas negara mengalami kekurangan yakni pos dharibah (pajak). Artinya pajak ternyata bukan sumber pemasukan utama negara. Hanya tambahan saja, itupun dalam keadaan yang sangat khusus dan objeknya hanya orang kaya. Setelah kondisi normal, maka pungutan pajak dihentikan kembali.

Imam Taqiyuddin an-Nabhani menggariskan bahwa pajak hanya dapat ditarik oleh Khalifah ketika ada kewajiban finansial yang harus ditanggung bersama antara negara dan umat, misalnya menyantuni fakir miskin. Jika kewajiban finansial ini hanya menjadi kewajiban negara saja, misalnya membangun jalan atau rumah sakit tambahan yang tak mendesak, pajak tak boleh ditarik.

Pajak yang boleh ditarik dalam Khilafah harus memenuhi 4 (empat) syarat:

(1) diambil dalam rangka membiayai kewajiban bersama antara negara dan umat;

(2) hanya diambil dari kaum Muslim saja;

(3) hanya diambil dari Muslim yang mampu (kaya), yaitu yang mempunyai kelebihan setelah tercukupinya kebutuhan dasar yang tiga (sandang, pangan, dan papan) secara sempurna;

(4) hanya diambil pada saat tidak ada dana di Baitul Mal. (Muqaddimah Ad-Dustur, 2/108-110; Al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 242).

Terdapat 4 (empat) pengeluaran yang dapat dipenuhi dengan pajak (dharibah) jika tak ada dana mencukupi di Baitul Mal, yaitu:

(1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil dan jihad fi sabilillah;

(2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll;

(3) untuk membiayai kepentingan pokok yang mendesak (yakni yang menimbulkan bahaya jika tidak ada) seperti jalan utama, rumah sakit utama, jembatan satu-satunya, dll;

(4) untuk membiayai dampak peristiwa-peristiwa luar biasa, seperti menolong korban gempa bumi, banjir, angin topan, kelaparan, dll. (Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, 2/122).

Inilah ketentuan Islam yang datang dari Allah subhanahu wa ta’ala pemilik manusia dan alam semesta dan disampaikan serta dipraktikkan oleh Rasulullah Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Praktik ekonomi yang dilanjutkan oleh para Khalifahnya hingga 13 abad lamanya. Manusia tidak harus lagi bersusah payah membuat aturan dari akalnya yang terbatas. Cukup memahami tuntutan dari Allah subhanahu wa ta’ala, RasulNya serta para shahabatnya yang mulia. Tidakkah itu cukup bagi kita? Wallahu A’lam Bishshawwab.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *