Moderasi Menikam Islam Politik
Moderasi Islam mereka gunakan untuk menikam Islam politik. Karena kaum kuffar sadar dengan Islam politiklah mercusuar Islam akan tampak dan riil menjadi solusi umat hari ini. Mereka ketakutan jika Islam politik hadir di tengan umat, akan membuat umat makin cerdas menguliti kebusukan mereka. Oleh karenanya, kebekuan berpikir umat Islam mereka langgengkan dengan jalan moderasi Islam. Saatnya umat sadar.
Oleh: Retno Sukmaningrum
MuslimahNews, FOKUS — Negeri abal-abal, mungkin tengah pas disematkan di negeri ini. Mengapa? Dalam laporan Pew Research, sebuah lembaga riset global, mencatat pada 2010 Indonesia menempati urutan teratas sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di Dunia. Pada tahun itu tercatat 209,1 juta jiwa lebih penduduk Indonesia merupakan Muslim. Di tahun 2015 Indonesia juga masih menempati posisi teratas dunia, bahkan jumlah pemeluk Islam bertambah menjadi 219,9 juta jiwa (Pewresearch.org). Dan di setiap acara bahkan dalam pidato kenegaraan, jumlah ini selalu diungkap dan menjadi kebanggaan. Namun anehnya, setiap kali aturan Islam berupaya diterapkan, justru yang muncul adalah kesinisan dan kemarahan. Padahal yang mau diterapkan hanya pada satu bagian aspek kecil saja.
Fenomena tersebut tampak pada reaksi yang muncul ketika RSUD Kota Tangerang berinovasi dengan memberlakukan sebuah kebijakan bagi pasien. Kebijakan yang tertulis: Rumah Sakit Sesuai Prinsip Syariah. DALAM RANGKA MENGHINDARI KHALWAT DAN IKHTILATH. PENUNGGU PASIEN WANITA SEYOGYANYA ADALAH WANITA. PENUNGGU PASIEN PRIA SEYOGYANYA PRIA. KECUALI PENUNGGU PASIEN ADALAH KELUARGA (MAHRAMNYA). *)Khalwat: Berduaan selain dengan mahramnya. *)Ikhtilath: Pencampuran pria dan wanita. (metro.tempo.co)
Prinsip pelayanan berbasis Syariah ini pun sontak viral di medsos. Berbagai komentarpun dilayangkan ke pihak manajemen RS.
Direktur RSUD Kota Tangerang, Feriansyah telah menjelaskan, bahwa pelayanan di rumah sakit tipe C milik pemerintah daerah itu tidak akan membatasi layanannya karena prinsip syariah yang diadopsi. “Dan itu tidak ada maksud membedakan etnis dan agama, karena di sini bukan mensyariahkan orang tapi, layanannya yang berbasis syariah.“
Meski sudah ada penjelasan demikian, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi beranggapan label syariah atau agama tertentu akan berpotensi mempersulit layanan kepada pasien di rumah sakit yang seharusnya melayani seluruh warga Kota Tangerang tersebut. Penerapan aturan agama dalam wilayah public akan menyulitkan, tampak sekali ditonjolkan oleh YLKI. Aturan agama akan membuat diskriminasi, akan menyulut intoleransi dan sebagainya menjadi alasan untuk sebuah asumsi yang tak berdasar.
Fenomena pelarangan agama masuk dalam wilayah publik juga tampak di belahan bumi lainnya. Bahkan untuk sebuah alasan pribadi. Adalah di New York, yang menjadi negara bagian terbaru di mana orang tua tidak bisa lagi menolak mengimunisasi anak-anaknya dengan alasan agama. Majelis Negara Bagian menyetujui langkah itu pada Kamis dan Gubernur New York Andrew Cuomo akan segera menandatangani keputusan tersebut.
Sebagian orang tua mengecam dan mencemooh ketika anggota DPR negara bagian menyetujui rancangan peraturan itu. Mereka menyebutnya pelanggaran kebebasan beragama. Tetapi para pendukung peraturan itu mengatakan ia tidak menemukan ada perintah dalam Taurat, Alkitab, atau Alquran yang menyatakan anak-anak tidak divaksinasi.
Beberapa fenomena di atas, makin mengokohkan adanya upaya meminggirka Islam dari ranah public. Phobia terhadap Islam dimunculkan dengan narasi, bahwa jika aturan berbasis agama diterapkan akan mempersempit pelayanan dan memicu ketegangan. Agama seolah hanya sah di wilayah privat. Namun nyatanya di perkara privat pun tidak boleh gunakan alasan agama. Berarti benar-benar agama hendak dilepaskan dari kehidupan manusia hari ini.
Islam adalah kehidupan mulia. Tanpa Islam, kehidupan akan hina. Tak akan beda dengan kehidupan binatang. Namun justru kemuliaan itu mulai dilepaskan dari hari ke hari. Mereka bungkus kehinaan itu dengan narasi moderasi Islam. Yang pada hakekatnya menyembunyikan wajah mereka yang jijik dan benci pada Islam. Jijik dan benci kepada Islam adalah sebenarnya sebuah fakta yang tak bisa ditutupi oleh Barat.
Barat sangat sadar sekali, bahwa peradaban kapitalis sekuler mereka tak akan mungkin bersanding dengan peradaban Islam. Ibarat air yang tak mungkin bersatu dengan minyak.
Barat telah berupaya melemahkan Islam dengan berbagai cara dan ternyata cara yang cukup jitu bukan dengan bedil atau mesiu, namun justru dengan mengintegrasikan nilai-nilai Barat dengan Islam.
Untuk Muslim yang tinggal di Barat, wacana integrasi ‘didrive’ dengan kebijakan aktif negara untuk mengubah perilaku dan identitas warga Muslim mereka. Misalnya, subjek-subjek Muslim yang diproduksi oleh negara dengan identitas moral yang benar, tercermin dalam berbagai kebijakan: tes nilai dan sumpah kesetiaan untuk para calon migran dan warga negara; rekrutmen “Muslim moderat” sebagai tokoh panutan dan tokoh masyarakat yang disponsori negara; pembatasan formal dan informal dari praktik-praktik Islam yang dilihat sebagai ekstremis atau tidak liberal. Semua kebijakan ini dapat disimpulkan sebagai upaya untuk membudayakan “musuh.” Sedangkan di negeri-negeri muslim, proses integrasi dalam bentuk moderasi Islam, diaruskan oleh rezim antek barat dan tokoh-tokoh liberal hasil didikan mereka. Untuk Indonesia, tuntunan berjalan dalam moderasi Islam ini bahkan sudah dibuat buku panduannya oleh Kemenag.
“Buku ini untuk menjawab hal-hal yang fundamental terkait dengan moderasi beragama. Misalnya, apa yang dimaksud dengan moderasi beragama, apa saja pokok-pokok agama, termasuk apa batasan tentang penodaan agama,” ujar Dirjen Pendidikan Islam Kemenag, Kamaruddin Amin.
Tuan Guru Bajang, sebagai salah motor penggerak moderasi di Indonesia menyampaikan pentingnya moderasi Islam saat membuka Konferensi alumni al Azhar untuk Indonesia. Menurutnya, beragama perlu untuk mempertimbangkan kehiduan berbangsa, bukan hanya pertimbangan pribadi. Mengapa demikian? Karena menurutnya jika hanya berorientasi pada pribadi akan memaknai agama dengan sempit. Dari sinilah TGB mendasari mengapa perlunya agama yang wasathiyyah (moderat). Lebih ekstrem lagi, TGB nyatakan bahwa jika berpegang pada agama saja, tanpa mempertimbangkan budaya akan mengantarkan pada kehancuran. Dia contohkan kehancuran yang terjadi Irak, Syuriah dan Syam.
Tampak sekali sesat pikir dari yang diungkapkan tersebut. Bukankah agama datang untuk merubah budaya yang rusak?! Bukan berasimilasi atau berintegrasi dengan budaya yang rusak. Semakin jelas dari ungkapan tersebut, menegaskan bahwa jika pegang Islam sesuai dengan tuntutan Islam justru akan hancur. Sebaliknya jika luwes dengan kondisi dan budaya setempat, akan langgeng. Lalu atas dasar apa mereka menetapkan mana yang harus kaku dan mana yang harus luwes, kalau bukan hawa nafsu mereka semata.
Dengan bentuk moderasi Islam yang hakikatnya menjauhkan Islam dari kehidupan, wajar jika didukung oleh non Muslim pula. Baru-baru ini tiga puluh enam uskup di wilayah Gereja Katholik se-Indonesia hari Selasa lalu (11/6) bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan. Dalam pertemuan itu Paus meminta para uskup ikut membantu menerapkan deklarasi persaudaraan yang ditandatanganinya di Abu Dhabi, Februari lalu. Apa isi deklarasi Abu Dhabi tersebut? Deklarasi persaudaraan itu menegaskan komitmen Al Azhar dan Vatikan untuk bekerjasama memerangi ekstremisme.
Bagian penting dokumen itu mendorong semua pihak untuk “menahan diri” menggunakan nama Tuhan untuk membenarkan tindakan pembunuhan, pengasingan, terorisme dan penindasan. “Kami meminta ini berdasarkan kepercayaan kami bersama pada Tuhan, yang tidak menciptakan manusia untuk dibunuh atau berperang satu sama lain, tidak untuk disiksa atau dihina dalam kehidupan dan keadaan mereka. Tuhan, Yang Maha Besar, tidak perlu dibela oleh siapa pun dan tidak ingin namaNya digunakan untuk meneror orang.”
Dengan pengukuhan deklarasi yang demikian, juga makin menegaskan tidak pahamnya tokoh agama akan persoalan hakiki hari ini. Justru mereka terjebak dengaan statemen yang tengah diarahkan oleh para pemimpin kafir.
Jika mereka mau melihat, mengikuti peristiwa demi peristiwa secara mendalam, pastilah akan mengantarkan tanya siapa dan apa yang menjadi penyebab kerusakan di permukaan bumi hari ini. Apakah karena agama (Islam) atau justru system kehidupan kapitalis hari ini? Jelas bukan agama (Islam).
Sejak lama Islam tak pernah hadir dalam kehidupan, lalu mengapa tiba-tiba dimunculkan sebagai biang keladi. Ini tak lain untuk mengalihkan perhatian dari kerusakan yang dibuat oleh sistem demokrasi kapitalis hari ini. Sayangnya kaum Muslimin, terutama tokohnya, mengikuti narasi dan arahan mereka.
Moderasi Islam mereka gunakan untuk menikam Islam politik. Karena kaum kuffar sadar dengan Islam politiklah mercusuar Islam akan tampak dan riil menjadi solusi umat hari ini. Mereka ketakutan jika Islam politik hadir di tengan umat, akan membuat umat makin cerdas menguliti kebusukan mereka. Oleh karenanya, kebekuan berpikir umat Islam mereka langgengkan dengan jalan moderasi Islam. Saatnya umat sadar.[]
Sumber gambar: The Guardian