Kisah InspiratifSirah Nabawiyah

Meniti Jalan ke Madinah setelah Tiga Malam di Gua

Ketika itu, ‘Abu Bakar berkata kepada Nabi Saw, “Demi ayahku, yang menjadi tebusanmu, ya Rasulullah, ambil salah satu tungganganku ini. Maka, dia pun mendekatkan yang terbaik dari keduanya kepada baginda Saw.” Nabi Saw. menimpalinya, “Dengan harga (Tidak gratis).”


Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

MuslimahNews.com — Baginda Nabi Saw. bersama Abu Bakar telah bersembunyi selama tiga malam di dalam Gua Tsur. Mulai malam Jum’at, malam Sabtu dan malam Ahad [Lihat, Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, Juz VII/336]. Ketika itu, ‘Abdullah bin Abu Bakar bermalam menemani mereka. ‘Abdullah, kata ‘Aisyah ra. meninggalkan mereka di waktu Sahur, menjelang Subuh, sehingga waktu Subuh sudah berada di antara kaum Quraisy, layaknya orang yang tinggal bermalam bersama mereka.

‘Abdullah melakukan tugas merekam semua hal yang berkaitan dengan Baginda Saw. dan Abu Bakar, sehingga saat malam bersama mereka, dia bia menyampaikan informasi tersebut. Baginda Saw. memutuskan bermalam tiga malam di dalam gua, tentu dengan perhitungan. Secara psikologis, setelah tiga malam, semangat pencarian telah padam, karena tidak ketemu, akhirnya putus asa. Maka, persis tiga malam di dalam gua, dan setelah semangat pencarian itu telah padam, begitu juga aktivitas pencarian telah dihentikan, maka emosi kaum Quraisy setelah melacak tiga malam tanpa jeda itu pun redup. Pada saat itulah, Nabi Saw. mulai mempersiapkan diri bersama sahabatnya untuk keluar meninggalkan Gua Tsur menuju ke Madinah.

Ketika itu, Nabi Saw. dan Abu Bakar menyewa jasa ‘Abdullah bin Ariqath al-Laitsi, orang yang sangat menguasai jalan. ‘Abdullah sendiri ketika itu masih Kafir. Nabi Saw. dan Abu Bakar mempercayakan misi tersebut kepadanya, dan menyerahkan kedua tunggangannya kepada ‘Abdullah. Nabi Saw. dan Abu Bakar membuat janji dengannya di Jabal Tsur, setelah tiga hari, untuk membawakan kedua tunggangannya ke sana.

Tepat, Ahad malam Senin, bertepatan dengan bulan Rabiul Awwal 1 H, atau 16 September 622 M, ‘Abdullah pun menemui mereka dengan membawa kedua tunggangannya. Ketika itu, ‘Abu Bakar berkata kepada Nabi Saw, “Demi ayahku, yang menjadi tebusanmu, ya Rasulullah, ambil salah satu tungganganku ini. Maka, dia pun mendekatkan yang terbaik dari keduanya kepada baginda Saw.” Nabi Saw. menimpalinya, “Dengan harga (Tidak gratis).

Baca juga:  Muhammad bin Wasi’, Teladan dalam Kezuhudan dan Jihad

Rasulullah Saw. dan Abu Bakar ra. kemudian pergi, didampingi ‘Amir bin Fahirah. Mereka dipandu oleh seorang pemandu jalan, ‘Abdullah bin Ariqath, menyusuri jalan pesisir pantai. Pertama kali, yang dia lalui bersama mereka, setelah meninggalkan Gua Tsur, adalah fokus menuju ke arah selatan, ke arah Yaman. Kemudian menuju ke arah barat, ke arah pantai. Setelah sampai di jalan yang tidak lagi bisa diendus orang, barulah ‘Abdullah menuju ke arah utara, dekat dengan pesisir Laut Merah. Dia pun melalui jalan, yang jarang dilewati oleh siapapun.

Ibn Ishaq menuturkan beberap tempat yang telah dilalui oleh Rasulullah di jalan ini, “Ketika mereka [Nabi Saw. dan Abu Bakar ra] dibawa keluar oleh penunjuk jalan, maka penunjuk jalan tersebut membawa mereka menyusuri jalan Makah bagian bawah, kemudian melintasi pesisir pantai, sehingga bertemu dengan jalan Asfan bagian bawah. Setelah itu, dia membawa keduanya menyusuri bagian bawah jalan Amaj… Setelah itu, dia pun berhasil membawa keduanya sampai di Quba’.” [Ibn Hisyam, Sirah Nabawiyyah, Juz I/491-492]

Abu Bakar ra. menuturkan, “Kami telah melakukan perjalanan di malam hingga pagi, hingga siang terik, dan jalanan pun sepi, tak seorang pun melintasi jalan itu. Ketika itu, ada bebatuan tinggi menjulang dan memanjang dengan bayangan, yang di bawahnya tidak terkena sinar matahari. Kami pun singgah di sana, berteduh. Aku meratakan dan membersihkan tempat itu dengan tanganku, untuk bisa digunakan tidur. Aku bentangkan kain di atasnya. Aku sampaikan kepada Nabi, “Tidurlah wahai Rasulullah. Aku akan berjaga di sekitarmu.” Nabi Saw. pun tidur. Aku keluar untuk memeriksa di sekeliling baginda saw. Tiba-tiba aku bertemu dengan seorang penggembala, datang membawa kambingnya ke pegunungan itu. Dia menginginkan apa yang juga kami inginkan. Aku bertanya kepadanya, “Kamu milik siapa wahai anak muda?” Dia menjawab, “Milik orang Madinah atau Makkah.” Abu bertanya, “Apakah kambingmu ada susunya?” Dia menjawab, “Ada.” Aku bertanya lagi, “Apakah kamu bisa memerah susunya?” Dia menjawab, “Bisa.” Dia pun mengambil satu ekor kambingnya. Abu Bakar berkata, “Aku membawa beberapa wadah, yang aku bawa kepada Nabi Saw. yang akan digunakan untuk minum, menghilangkan dahaga, dan berwudhu’. Aku pun mendatangi Nabi Saw’. Tapi, aku tidak ingin menggangunya, dengan membangunkannya. Aku berdiri, menunggunya, hingga baginda saw. bangun. Aku tuangkan air, di bawah susu tersebut, sehingga bagian bawahnya agak dingin.”

Baca juga:  Belajar dari Keseriusan Tsumamah bin Utsal Al Hanafi رضي الله عنه

Aku berkata kepada Nabi Saw, “Minumlah ya Rasulullah. Maka, baginda Saw. pun meminumnya, hingga aku pun ridha.” Baginda pun bertanya, “Tidakkah telah tiba waktunya untuk berangkat?” Kata Abu Bakar, “Benar, ya Rasulullah.” Baginda Saw. bertitah, “Kalau begitu, ayo kita berangkat.” [Lihat, Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I/510]. Di antara bentuk kesungguhan Abu Bakar yang luar biasa, Abu Bakar ra berada di belakang Nabi Saw. Abu Bakar adalah orang yang sudah berumur, dan terkenal. Sedangkan Nabi Saw. saat itu adalah pemuda, yang belum dikenal. Ketika ada seseorang bertemu dengan Abu Bakar, dan bertanya, “Siapa lelaki yang ada di depanmu itu?” Abu Bakar menjawab, “Dia adalah orang yang menunjukkan jalanku.” Orang yang bertanya tadi mengira, bahwa jalan yang dimaksud adalah jalan sesungguhnya, bukan jalan Islam. Padahal, yang dimaksud oleh Abu Bakar adalah jalan Islam [Lihat, Bukhari, Shahih Bukhari, Juz I/556].

Begitu luar biasa strategi Rasulullah Saw. dan Abu Bakar ra. untuk sampai di Madinah. Asma’, putri Abu Bakar ra, menuturkan, “Kami pun tidak tahu, ke mana Rasulullah Saw. menuju, saat Jin muncul di bawah Makkah, kemudian mambacakan bait syair, orang-orang [penduduk Makkah] mengikutinya, dan bisa mendengarkan suaranya, tetapi tidak bisa melihat wujudnya, hingga dia keluar dari atas Makkah.” Asma’ menuturkan, “Ketika kami mendengarkan ucapannya [Jin] itu, kami baru tahu ke mana Rasulullah hendak menuju, ternyata arah yang baginda saw. tuju adalah Madinah.” [Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Zad al-Ma’ad, Juz II/53-54]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *