AnalisisOpini

Hidup Berdampingan dengan Non Muslim dalam Pandangan Islam

Inilah keputusan Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Illiya. Kami memberi keamanan atas keselamatan mereka, gereja mereka, dan salib-salib mereka. Mereka tidak dipaksa seorangpun dalam menentukan agamanya masing-masing.


Oleh: Arini

MuslimahNews, ANALISIS — Slamet terkejut. Ia yang datang untuk melaporkan diri ke RT sebagai pengontrak baru di Dusun Karet, Pleret, Bantul, Yogyakarta, ditolak untuk tinggal. Alasannya Slamet berbeda agama dengan penduduk setempat. Ya, Slamet adalah seorang Katolik. Sementara di Pleret terdapat surat kesepakatan warga Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 yang merumuskan syarat-syarat bagi pendatang baru di Pedukuhan Pleret antara lain harus beragama Islam. Islam yang dimaksud adalah sama dengan paham yang dianut oleh penduduk padukuhan Karet yang sudah ada. (Kompas.com, 03/04/2019)

Penolakan ini membuat Slamet berang dan melapor ke Sekda Kabupaten Bantul dan Sekda DIY. Akhirnya Slamet memang diizinkan untuk tinggal, namun kasus ini terlanjur telah menyebar dan mengusik iklim toleransi yang telah terbangun di masyarakat.

Jaminan Islam atas Non Muslim

Islam, sebagai agama yang sempurna, telah mengatur seluruh hubungan yang terjadi antara manusia dengan Rabbnya, dengan dirinya sendiri maupun dengan orang lain, dengan masyarakat, negara, bahkan hubungan antar negara. Dalam kaitannya dengan orang non Muslim, Islam juga memiliki aturan-aturan yang jelas menyangkut interaksi yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan.

Islam memerintahkan untuk memperlakukan non Muslim dengan adil. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS. Al-Mumtahah: 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’diy rahimahullah menafsirkan, “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan , berbuat adil kepada orang-orang musyrik, baik dari keluarga kalian dan orang lain. Selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” (Taisir Karimir Rahman hal. 819, Dar Ibnu Hazm, Beirut, cet. Ke-1, 1424 H)

Fakta yang kita dapatkan dari kehidupan Rasulullah Saw di Madinah bisa menjadi contoh nyata bagaimana Islam mengatur kehidupan berdampingan dengan non Muslim. Di Madinah, tidak hanya terdapat pemeluk agama Islam, namun juga ada orang-orang Yahudi. Ketika beliau datang, beliau tidak lantas mengusir orang-orang Yahudi dari kampungnya. Rasulullah Saw membuat perjanjian untuk saling menghormati dan melindungi. Perjanjian tersebut merupakan salah isi dari Piagam Madinah yang merupakan salah satu konstitusi negara Islam.

Salah satu pasal Piagam Madinah menyebutkan, “Orang-orang Yahudi Bani `Auf merupakan satu bangsa dengan umat Islam. Orang Yahudi berhak memeluk agama mereka, dan kaum Muslim pun berhak memegang agama mereka.”

Pasal 16 dari perjanjian tersebut berbunyi, “Orang Yahudi yang mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan kami dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Dia tidak boleh dizalimi dan tidak boleh diserang.” (Syeikh Muhammad Khudhari Bek, 2013, Negara Khilafah Jil. 1 hal 158, PTI).

Baca juga:  Radikalisme dan Moderasi, Dua Program Penghalang Kebangkitan Islam

Begitupun Rasulullah Saw membuat perjanjian dengan Bani Najran yang beragama Nasrani. Salah satu pasal dalam perjanjian itu berbunyi, “Kehidupan masyarakat Najran dan sekitarnya, agama mereka, tanah mereka, harta, ternak, dan orang-orang mereka yang hadir atau tidak, suku-suku mereka dan tempat-tempat ibadah mereka berada di bawah perlindungan Allah dan perwalian Nabi-Nya (Muhammad).“(Republika.co.id, 01/05/2011)

Dari apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, para Khalifah setelah beliau membuat kebijakan-kebijakan yang serupa. Khalifah Umar bin Khathab ketika menundukkan Baitul Maqdis menulis surat sebagai berikut :

Inilah keputusan Umar, Amirul Mukminin kepada penduduk Illiya. Kami memberi keamanan atas keselamatan mereka, gereja mereka, dan salib-salib mereka. Mereka tidak dipaksa seorangpun dalam menentukan agamanya masing-masing. (Dr. Ali Abdul Wahid Wafi’, 1991, Prinsip Hak Asasi dalam Islam)

Maria Rosa Menocal, seorang peneliti sejarah dan kebudayaan Universitas Pennsylvania, dalam bukunya Surga di Andalusia: Ketika Muslim, Yahudi dan Nasrani Hidup dalam Harmoni (Noura Religi, 2015), melukiskan bagaimana di bawah pemerintahan Dinasti Umayyah yang berkuasa di Andalusia (756-1492 M), tiga agama: Islam, Yahudi dan Nasrani bisa hidup berdampingan dengan damai di bawah penerapan hukum Islam.

Maka hanya Muslim yang tidak paham saja yang menolak untuk hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Begitu pula hanya orang yang tidak paham saja yang takut bahwa penerapan hukum Islam akan mengancam keberadaan umat beragama lain.

Teladan Hidup Bersama Non Muslim

Baca juga:  Menegakkan Syariat Kaffah Wujud Cinta Kepada Nabi Saw. yang Hakiki

Ada banyak peristiwa tercatat dalam sejarah Islam tentang sikap Nabi Saw, sahabat dan para ulama dalam berhubungan baik dengan tetangga mereka yang non Muslim. Telah masyhur kisah Nabi Saw yang menjenguk seorang anak Yahudi yang membantunya.

Imam Bukhari (1356) telah meriwayatkan dari Anas bin Malik ra bahwa ada seorang anak Yahudi yang telah membantu Nabi Saw lalu dia jatuh sakit, maka Nabi Saw datang menjenguknya seraya duduk di dekat kepalanya dan bersabda:

Masuklah ke agama Islam”. Maka dia pun melihat kepada bapaknya yang juga berada di dekat kepalanya. Sang ayah berkata: “Taatlah kamu kepada Abu Qasim.”

Maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Saw keluar dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari api neraka.

Dari Amr bin Syu’aib dari ayahnya, ia berkata:
ذُبِحتْ شاة لابن عمرو في أهله ، فقال : أهديتم لجارنا اليهوديّ ؟، قالوا : لا ، قال : ابعثوا إليه منها ، فإني سمعتُ رسولَ الله – صلى الله عليه وسلم – يقول : ( ما زال جبريل يوصيني بالجار ، حتى ظننت أنه سيورِّثه )
Aku menyembelih kambing untuk Ibnu Umar dan keluarganya. Ibnu Umar berkata: “apakah engkau sudah hadiahkan kambing ini juga kepada tetangga kita yang Yahudi itu?”. Mereka berkata: “Belum”. Ibnu Umar berkata: “berikan sebagian untuk mereka, karena aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Jibril senantiasa mewasiatkan aku untuk berbuat baik pada tetangga, hingga hampir aku menyangka tetangga akan mendapatkan harta waris.” (HR. Tirmidzi 1943, dishahihkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i dalam Shahih Al Musnad 797)

Baca juga:  Ada Apa di Balik Narasi Toleransi dan Intoleransi?

Dikisahkan bahwa Ulama Salaf Hasan Al-Bashri selama 11 tahun bersabar atas kebocoran saluran pembuangan limbah tetangganya yang orang Yahudi. Ketika beliau sakit dan orang Yahudi tersebut menengoknya, baru orang Yahudi tersebut tahu. Ia begitu terkesan dengan ajaran Islam yang ditampakkan Hasan Bashri sehingga ia mengikrarkan kalimat syahadat. (Republika.co.id, 05/01/2018)

Harmoni kehidupan berdampingan dengan non Muslim seperti contoh-contoh di atas, hanya bisa diwujudkan dengan penerapan hukum Islam. Dalam hukum Islam, siapa pun yang melanggar hak agama lain, apakah dia Muslim atau non Muslim akan mendapatkan sanksi tegas dari negara.

Dengan demikian Muslim akan menjaga hak non Muslim dan sebaliknya non Muslim juga menjaga hak Muslim, tanpa melihat apakah posisi Muslim mayoritas atau minoritas. Ini berarti tidak ada yang perlu ditakuti oleh non Muslim dari penerapan Islam oleh institusi Khilafah Islamiyyah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *