Tak Berkategori

Korupsi dalam Kubangan Lumpur Demokrasi

Penerapan sistem demokrasi memang tak bisa dinafikan sebagai akar penyebab kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan lainnya. Karena sistem ini tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Khususnya agama Islam yang memiliki keyakinan bahwa setiap sisi kehidupan, termasuk pola pikir dan sikap manusia tak bisa lepas dari aturan Sang Pencipta, bahkan kelak akan dipertanggungjawabkan.


MuslimahNews, EDITORIAL — Hari-hari ini, giliran PPP dan Kemenag yang terus-menerus di-bully karena terjerat kasus korupsi. Romahurmuzy sang Ketum parpol berlambang Ka’bah yang kerap bergaya millenial serta bersikap paling Pancasila dan paling NKRI itu, akhirnya terkena OTT terkait kasus jual beli jabatan di jajaran Kementerian Agama. Bahkan kasus ini terus menyeret nama pejabat lain, termasuk Menteri Agama Lukman Hakim dan Gubernur Jatim Khofifah Indarparawangsa yang setidaknya dianggap mengetahui kronologis kasus yang sangat memalukan ini.

Sebelumnya, beberapa pimpinan parpol dan pejabat di lembaga-lembaga yang merepresentasi institusi demokrasi sudah banyak pula yang terkena kasus korupsi. Di antaranya bahkan ada yang cukup menghebohkan, karena melibatkan banyak pejabat di kelembagaan yang sama.

Di tahun 2018 lalu misalnya, ramai pemberitaan, 41 dari 45 anggota DPRD Kota Malang dan Kadis PU dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh KPK dalam kasus pengesahan APBD-P tahun 2015. Akibatnya, kinerja pemerintahan dan DPRD Kota Malang saat itu nyaris lumpuh.

Sebelum itu, kasus korupsi berjamaah juga pernah terjadi di Kota Padang (2004), Lampung Tengah (Pebruari 2018) dan Sumatera Utara (Maret 2018). Di Kota Padang, ada 37 pejabat yang diadili dan 27 di antaranya sudah divonis rata-rata 4 tahun penjara.

Di Lampung Tengah KPK juga berhasil melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Bupati dan menjerat 19 orang pejabat pemkab dan DPRD. Sementara di Sumut, setidaknya ada 38 orang pejabat yang ditangkap KPK terkait kasus suap. Dari ke 38 orang tersebut, lebih dari setengahnya sudah mendekam di penjara.

Mirisnya, meski penangkapan demi penangkapan terus dilakukan KPK dan sebagiannya sudah diganjar dengan hukuman penjara, namun korupsi dengan berbagai modusnya justru makin merajalela.

Pada 16 Agustus 2018 yang lalu, KPK merilis data, bahwa sepanjang 2004 – Agustus 2018 saja, sudah terdapat 867 pejabat negara/pegawai swasta yang diketahui melakukan tindak pidana korupsi. Dari jumlah tersebut, 311 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR dan DPRD, gubernur, dan bupati atau walikota, yang notabene hampir keseluruhan berlatar belakang dari partai politik.

Baca juga:  Daulat Asing di Balik Pariwisata

Pertanyaannya, kok bisa korupsi di negeri Muslim terbesar ini begitu merajalela ?

Beberapa analis menyebut bahwa kondisi politik dan sistem kepartaian yang ada di Indonesia memang meniscayakan korupsi berjamaah mudah terjadi. Pertama, terkait biaya politik yang sangat tinggi, baik untuk syarat pendirian maupun kesertaan parpol dan individu dalam pemilu. Akibatnya, parpol dan individu yang berniat maju memenangi kontestasi harus bekerja keras mencari dan menutup modal dengan berbagai cara. Dan yang paling niscaya adalah berkolaborasi dengan para pengusaha dan pejabat negara dalam hubungan simbiosis mutualisma. Sehingga uang, proyek dan jabatan pun berjalin berkelindan dalam satu kepentingan dan kemanfaatan material yang serba profan.

Kedua, sistem kontrol dan sistem hukum yang lemah membuat praktik kecurangan lambat laun dianggap sebagai kewajaran. Sampai-sampai para pejabat yang kena jerat KPK pun, masih bisa melenggang seraya menebar senyum dan tawa kepada para awak media. Seakan-akan mereka percaya diri, bahwa semua hasil putusan hukumnya kelak, bisa diatur dengan uang dan jaringan kekuasaan.

Pada faktanya, memang banyak pelaku korupsi yang bebas dari jerat hukum. Atau jikapun dihukum, maka hukuman yang diberikan tak cukup untuk membunuh syahwat berkuasa dan syahwat mereka untuk menguasai harta. Sehingga jamak diketahui bahwa berbagai praktik kecurangan ini akhirnya menjadi sebuah budaya. Tak hanya terjadi di level atas, tapi juga sudah memapar ke level bawah. Tak hanya di satu dua lembaga, bahkan nyaris di semua lembaga, termasuk lembaga penegak hukum. Tak hanya melibatkan uang milyaran, bahkan yang hanya uang recehan.

Namun ironisnya, semua perilaku culas ini seolah sulit diberantas. Kasus demi kasus pun terus bermunculan hingga taraf yang memuakkan. Bahkan sempat ada temuan, lebih dari 2300 ASN yang sudah terbukti terlibat korupsi, mereka masih menerima gaji hingga saat ini! Dan sebagian lainnya, bebas tak tersentuh hukum tersebab begitu canggihnya modus kecurangan atau justru akibat begitu lemahnya pengawasan.

Baca juga:  Rezim Gagal Penuhi Kebutuhan Dasar, Indonesia Butuh Khilafah

Berpijak dari paparan di atas, nampak bahwa korupsi sudah seperti penyakit bawaan. Korupsi tak hanya merupakan dampak dari satu dua penyebab. Tapi merupakan salah satu dampak nyata dari bobroknya sistem hidup yang diterapkan.

Ya, penerapan sistem demokrasi memang tak bisa dinafikan sebagai akar penyebab kasus korupsi dan praktik-praktik kecurangan lainnya. Karena sistem ini tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam kehidupan. Khususnya agama Islam yang memiliki keyakinan bahwa setiap sisi kehidupan, termasuk pola pikir dan sikap manusia tak bisa lepas dari aturan Sang Pencipta, bahkan kelak akan dipertanggungjawabkan.

Keyakinan inilah yang tak ada dalam sistem demokrasi. Padahal jika keyakinan ini ada pada setiap individu dan menjadi landasan kehidupan, baik sebagai pribadi, maupun dalam konteks berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara, tentu akan mengarahkan pola sikap dan berpikir mereka agar selaras dengan hukum-hukum syara. Termasuk yang terkait dengan haramnya melakukan kecurangan dalam berbagai urusan mereka. Dan inilah yang disebut dengan TAQWA.

Di pihak lain, sekularisme yang menjadi landasan demokrasi juga tak bisa lepas dari paham liberalisme, pluralisme dan permisivisme. Paham-paham inilah yang menyebabkan sistem kontrol sosial menjadi mandul. Bahkan berpengaruh pada kebijakan negara yang di-setting untuk mengakomodir semua kepentingan, sehingga hukum-hukum yang berasal dari Islam tak mungkin bisa diterapkan. Bahkan hukum yang ada pun bisa ditafsirkan sesuai kepentingan, termasuk kepentingan melanggengkan kekuasaan dan menutup kecurangan.

Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam. Dalam sistem Islam, keimanan justru menjadi landasan utama dalam menjalani kehidupan, baik dalam konteks kehidupan individu, berkeluarga, bermasyarakat maupun bernegara. Akidah inilah yang menuntun setiap dari mereka untuk menselaraskan pola pikir dan pola sikapnya agar sesuai dengan kehendak Pemilik Kehidupan. Karena semuanya, kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Baca juga:  Impor Pangan, Akal-akalan Rezim Kapitalis Neoliberal

Di dalam Islam, ketaatan pada aturan Allah memang menjadi syarat sekaligus bukti keimanan. Bahkan penerapan aturan Allah dalam seluruh aspek kehidupan inilah yang dijamin akan mewujudkan kehidupan yang penuh berkah, serba bersih dan jauh dari segala bentuk kerusakan.

Sistem politik yang lahir dari aturan Islam, menjadikan negara berfungsi sebagai pengurus urusan umat dan penjaga mereka dari segala bentuk kerusakan dan kezaliman. Sistem ekonominya juga menjamin kesejahteraan dan membuka kesempatan setiap orang meraih level hidup yang lebih tinggi dengan cara-cara yang halal. Termasuk melahirkan sistem penggajian yang memadai dan akad-akad yang memanusiakan.

Sistem sosial dan budaya dalam Islam juga kental dengan suasana amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga segala bentuk penyimpangan bisa tercegah dari awal. Termasuk mampu menciptakan sistem birokrasi yang transparan sekaligus akuntabilitas pemerintahan yang selalu terjaga.

Dan semua ini, diperkuat dengan penerapan sistem sanksi yang berdimensi keakhiratan. Selain sanksi berat yang berdampak penjeraan, juga diyakini bisa menghapus dosa di hari Pengadilan.

Semua prinsip sistem Islam ini, tak mungkin mampu diwujudkan dalam sistem demokrasi yang serba material dan profan. Bahkan tak mungkin keduanya ditempelkan dengan dalih menyesuaikan. Sistem demokrasi dan Islam, bagaikan minyak dan air yang tidak bisa disatukan. Keduanya lahir dari asas yang saling bertentangan bahkan saling menegasikan. Yang satu kebenaran, yang lain kekufuran.

Itulah mengapa, selama demokrasi dikukuhi, maka yakin, kasus korupsi dan penyimpangan lain tak mungkin bisa dieliminasi apalagi dihapuskan. Mengharapkan itu terjadi, adalah seperti pungguk merindukan bulan. Semua kerusakan ini hanya mungkin hilang justru jika Islam ditegakkan. Yakni saat syariah kaffah yang penuh berkah diterapkan dalam naungan institusi Khilafah Islamiyyah sebagai wujud keimanan.

وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ وَلَـكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَاهُم بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)[] SNA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *