BeritaFeature

Nestapa Anak-anak Afghanistan di Tengah Bencana Perang

“Saya hanya satu orang. Kami tidak bisa menyelesaikan semua masalah ini.”


MuslimahNews, FEATURE — Setelah pertempuran, Mohammad Khan, warga desa dari provinsi Afghanistan utara Sar-e Pul, memindahkan keluarganya ke Provinsi Balkh yang lebih aman tahun lalu. Dia berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik.

Namun istri Khan jatuh sakit, dia pun tidak dapat menemukan pekerjaan. Khan terus berjuang untuk memberi makan tujuh anak mereka. Pada Januari Khan menjual bayi mereka, yang baru berusia 40 hari ke tetangga.

“Saya menjualnya seharga 70 ribu afghani sehingga anak-anak saya yang lain tidak akan mati kelaparan,” kata Khan.

Negara dengan separuh populasinya lebih muda dari 15 tahun, dengan perang selama 17 tahun di Afghanistan bisa dikatakan telah berdampak buruk bagi anak-anak.

Menurut laporan PBB yang dirilis pada Februari, sekitar 927 anak-anak terbunuh tahun lalu. Relawan PBB menyatakan mereka melihat semakin banyak anak yatim, atau dipaksa bekerja di jalanan.

“Saya pikir harapan yang dulu ada, tidak lagi,” ucap perwakilan untuk UNICEF, Adele Khodr, agen anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Afghanistan.

[Ilustrasi: DW]

Badan amal yang menyediakan sekolah setengah hari, Aschiana melihat jumlah anak-anak Afghanistan yang berisiko meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga:  Sejak 2015, Perang Saudara di Yaman Tewaskan 91.600

Aschiana menyediakan sekolah bagi anak-anak yang mengemis, dan berjualan di jalan-jalan Kabul.

Direktur Aschiana, Mohammad Yousef, mengungkapkan mereka terpaksa mengurangi jumlah anak yang dibantu karena pendanaanya mengalami penurunan.

“Anak-anak bukan milik kelompok politik, karena alasan ini mereka diabaikan di Afghanistan,” kata dia.

Zabiullah Mujahed (12), sedang belajar menggambar di Aschiana dan berharap menjadi pelukis.

Dia menghabiskan waktunya sehari-harinya memoles sepatu di jalan-jalan Kabul untuk mendapatkan hingga 100 Afghani per hari.

Baginya uang itu begitu penting untuk menghidupi dirinya sendiri. Selain itu juga untuk ibu dan enam saudara kandungnya, setelah ayahnya terbunuh dalam serangan bunuh diri Taliban empat tahun lalu.

“Saya khawatir tentang kapan perdamaian akan datang dan apa yang akan terjadi pada masa depan saya. Jika saya tidak bekerja, ibu, saudara lelaki, dan saudara perempuan saya akan tetap lapar,” ungkap Mujahed.

Menurut laporan UNICEF pada Juni 2018, sekitar 3,7 juta anak usia sekolah masih belum bersekolah. Khodr mengatakan, keamanan yang memburuk, kemiskinan, dan migrasi membuat pendidikan anak-anak semakin sulit dalam beberapa tahun terakhir.

[Ilustrasi: The New York Times]

Manajer proyek untuk organisasi non-pemerintah, Youth Health and Development Organization (YHDO), Yasin Mohammadi, mengatakan pelecehan seksual dan perdagangan anak laki-laki semakin memburuk. Sebuah praktik yang terjadi selama perang saudara Afghanistan pada 1990-an.

Mohammadi mengungkapkan, anak laki-laki dari daerah pedesaan berbondong-bondong ke kota-kota seperti, Kabul, dan Herat untuk mencari pekerjaan dalam menghidupi keluarga. Mereka rentan terkena penganiayaan dari orang yang lebih dewasa.

Direktur masalah anak-anak pemerintah Afghanistan, Najib Akhlaqi, mengakui situasi untuk anak-anak tidak mudah.

Baca juga:  Enam Bulan Pasca-Perjanjian Stockholm, Yaman Justru Memburuk

Kemajuannya lambat, tetapi penanganan masalah sedang berlangsung, termasuk menyusun rencana nasional jangka panjang dalam membantu anak-anak.

“Saya hanya satu orang. Kami tidak bisa menyelesaikan semua masalah ini. Ini butuh waktu lama,” ujar Akhlaqi.[] Sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *