AnalisisOpini

Kapitalisme Melanggengkan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja

Ternyata Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak punya aturan tentang perlindungan pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja.


Oleh: Arum Harjanti

MuslimahNews, ANALISIS — Hasil Survei yang dilakukan oleh Never Okay, sebuah inisiatif yang vokal menentang pelecehan seksual di tempat kerja sungguh mengerikan. Hasil survei kuantitatif menyebutkan 94 persen dari 1.240 responden mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sekitar 76% pernah mengalami pelecehan lisan; 42% mengalami pelecehan isyarat; 26% mengalami pelecehan tertulis/gambar; 13% lingkungan kerja yang tidak bersahabat; 7% ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu; 1% penyerangan seksual; dan 2% lainnya. Survei yang dilakukan antara 19 November hingga 9 Desember 2018 secara online; membuktikan pelecehan seksual di tempat kerja bukan barang langka. Alvin Nicola, pendiri Never Okay mengatakan bahwa hasil survei ini menjadi data penting karena Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak punya aturan tentang perlindungan pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja.

Sungguh kasihan para perempuan pekerja ini. Pelecehan itu jelas membuat para perempuan pekerja itu merasa tidak nyaman dan juga tidak aman. Hasil penelitian Never Okay menunjukkan pengaruh pelecehan seksual di tempat kerja membuat 50.89% responden mengaku harus menghindari situasi kerja tertentu, 35.48% merasa malu dan tidak percaya diri, 29.35% mengaku ingin mengundurkan diri. Pelecehan itu bahkan sesungguhnya merendahkan kedudukan mereka sebagai manusia, dan secara tidak langsung menunjukkan sikap merendahkan perempuan. Realita ini menjadi sasaran empuk bagi feminis untuk sekali lagi menyalahkan relasi perempuan versus laki-laki. Dan kian memberi bukti tentang superioritas laki-laki, yang menyebabkan relasi yang tak seimbang karena dominasinya atas perempuan.

Sayangnya, fakta adanya pelecehan seksual ini belum populer di kalangan pengawas ketenagakerjaan sebagaimana yang dikatakan oleh Tresye Widiastuti Paidi dari Direktorat Pengawasan Norma Kerja Perempuan dan Anak Kementerian Ketenagakerjaan. Lebih parah lagi, ternyata Pelapor alias korban pelecehan seksual kasus-kasus pelecehan seksual justru rentan dijerat pasal karet, seperti Pasal Pencemaran Nama Baik dan UU ITE atau pornografi. Hal itu akhirnya membuat kebanyakan korban terpaksa diam. Bahkan relawan masih lebih jemput bola ketimbang mendapatkan laporan langsung dari buruh yang inisiatif melapor. Jumisih, Ketua FBLP (Federasi Buruh Lintas Pabrik ) mengatakan bahwa masih banyak buruh yang belum teredukasi dengan baik tentang isu pelecehan seksual sehingga minim laporan. Sementara itu, menurut Sultinah, koordinator posko dan relawan dari FBLP, salah satu serikat buruh di KBN Cakung, para buruh malah semakin malas bicara karena ada kemungkinan perusahaan akan lebih ketat mengawasi buruh, dan ujung-ujungnya mengancam kontrak kerja mereka bila mengadu.

Baca juga:  Peringatan Family Day yang Justru Merusak Fungsi Keluarga Muslim

Tresye berpendapat bahwa persoalan itu akan dapat diselesaikan jika disahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. dan diharapkan jadi payung hukum yang bisa dipakai untuk membuat aturan turunannya. Sehingga tempat kerja jadi lebih aman.

Apalagi, ternyata Indonesia adalah satu-satunya negara di ASEAN yang tidak punya aturan tentang perlindungan pekerja dari pelecehan seksual di tempat kerja. Satu-satunya payung hukum yang menyebut pelecehan seksual di tempat kerja secara spesifik adalah surat edaran Menaker tentang Pedoman Pencegahan Pelecehan Seksual di Tempat Kerja yang biasa dijadikan panduan. Pedoman itu diadopsi dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Sayangnya kebanyakan perusahaan tidak mengadopsinya karena banyak alasan, terutama efisiensi cost produksi dan modal. Penerapan aturan baru, sosialisasi, dan penyuluhan adalah pekerjaan baru buat perusahaan yang tentu membutuhkan biaya pengeluaran.

Fakta tersebut sungguh menyesakkan dada. Para perempuan pekerja dibiarkan terkungkung dengan kejahatan demi penghematan anggaran! Perusahaan dapat dikatakan tidak memiliki kepedulian pada nasib mereka, sementara mereka terus dieksploitasi, tak hanya tenaganya demi keuntungan perusahaan, namun juga sisi feminitasnya yang berujung pada pelecehan seksual. Sungguh tidak berperi kemanusiaan.

Anggaran untuk penjagaan keamanan dan kehormatan perempuan pun dianggap membuat perusahaan menjadi tidak efisien. Inilah wajah asli kapitalisme. Fokus utamayang ingin diraih tiap manusia, apalagi korporasi hanyalah keuntungan materi. Sementara martabat perempuan dilecehkan, bahkan kejahatan seksual dibiarkan. Inilah buah dari sekularisme yang menjadi asas kapitalisme. Akal manusia dijadikan pedoman, sementara aturan agama dicampakkan. Bahkan menurut akal mereka, penghematan anggaran lebih utama daripada kehormatan perempuan.

Baca juga:  Nasib Buruh Migran Indonesia kian Mengenaskan

Sungguh pelecehan di tempat kerja akan terus terjadi selama kapitalisme masih menjadi prinsip kehidupan. Karena itu, pengesahan RUU P-KS tidak akan mampu mencegah ataupun menghentikan pelecehan seksual. Tanpa disertai perubahan cara pandang terhadap kehidupan, pengesahan RUU P-KS tidak akan membuatnya bergigi, meski berpihak pada korban sebagaimana kata para pengusungnya.

Apalagi jual beli hukum dianggap sah dalam kapitalisme, karena semua dapat dikendalikan dengan uang. Relasi kuasa yang ada saat ini, yang berlandaskan akal dan syahwat, akan makin menyuburkan tindak pelecehan ini. Karena itu, penghormatan antara laki-laki dan perempuan hanya menjadi wacana, padahal bahaya besar ada di depan mata. Bahaya yang tidak sekedar mengancam perempuan saja, namun juga kelangsungan peradaban manusia yang mulia.

Harapan pemberantasan pelecehan seksual secara tuntas hanya ada pada Islam. Islamlah yang dapat menyelesaikan persoalan ini karena mampu mendeteksi persoalan langsung dari akar masalahnya.

Satu solusi mendasar yang dimiliki Islam sebagai ideologi adalah sudut khasnya dalam memandang setiap persoalan manusia itu mampu diselesaikan ‘hanya’ dengan menerapkan hukum syariat yang diciptakan Allah Sang Maha Pengatur. Termasuk dalam menyelesaikan masalah kapitalisasi dan eksploitasi perempuan, yang disebabkan penerapan sistem kapitalis ala western. Penyelesaian yang ditawarkan Islam, sungguh simple, solutif dan menentramkan karena sesuai fitrah manusia.

Baca juga:  Disrupsi Hebat Mengguncang Bangunan Keluarga

Yang paling mendasar, Islam menetapkan kedudukan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama sebagai Hamba Allah. Ketakwaannyalah yang akan menjadi penentu siapa yang paling utama. Islam juga menjamin kemuliaan perempuan dengan menetapkan seperangkat aturan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan Hal ini akan menjamin keselamatan dan kemuliaan perempuan tidak hanya di tempat kerja, namun di manapun perempuan berada.

Di sisi lain. Islam memiliki mekanisme yang menjamin nafkah perempuan, sehingga perempuan tidak harus bekerja sebagai penanggung nafkah keluarga. Sementara itu, Islam juga melarang semua hal yang dapat memicu terjadinya tindak pelecehan, baik berupa tulisan maupun gambar maupun tayanganpada semua media yang ada. Islam juga menetapkan sanksi yang tegas untuk pelaku pelecehan. Islam menetapkan negara untuk melakukan pembinaan dan sosialisasi atas aturan terkait berapapun biaya yang dibutuhkan. Biaya besar tidak dianggap sebagai kerugian karena merupakan jalan untuk mendapatkan keberkahan dari Allah SWT melalui penerapan syariat Allah.

Mengingat persoalan pelecehan seksual ini terkait dengan pengaturan berbagai aspek kehidupan lainnya, maka dibutuhkan penerapan aturan Islam dalam semua aspek kehidupan. Keberadaan negara yang menerapkan Islam secara kaffah inilah kunci pemberantasan pelecehan seksual secara tuntas. Karena di dalamnya terwujud ketakwaan individu, masyarakat dan negara yang menjaga tegaknya aturan Allah SWT. Wallahu A’lam.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *