AnalisisOpini

Sinyal Kuat Liberalisasi Avtur Indonesia

Islam menjadikan negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan energi dari eksplorasi, produksi sampai distribusi. Hasil pengelolaan energi total digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (dalam negeri), sementara ekspor dibuka selama tidak menguatkan negara lain dan tidak membuka celah monopoli negara lain atas energi dunia.


Oleh: Endiyah Puji Tristanti, SSi (Penulis dan Pemerhati Politik Islam)

MuslimahNews, ANALISIS — Pengelolaan energi nasional yang kian liberal terus merambah berbagai aspek tak terkecuali produksi dan distribusi avtur. Naiknya tarif pesawat domestik yang didengungkan sebagian pihak sebab naiknya harga avtur telah memberikan sinyal liberalisasi energi semakin menguat di negeri ini.

Wapres JK menjelaskan mahalnya harga avtur tak lepas dari tidak adanya badan usaha selain PT Pertamina (Persero) yang memiliki fasilitas penyedia avtur di bandara. Hal ini berbeda dengan BBM untuk motor dan mobil yang memiliki opsi selain Pertamina.(cnnindonesia.com, 12/02/2019)

Pun Menko Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan menyatakan telah mengkaji kemungkinan badan usaha selain Pertamina untuk menyediakan fasilitas avtur di bandara. Agar Pertamina tidak menjadi pemain tunggal penyedia avtur untuk seluruh maskapai dalam negeri seperti hari ini.

Tentu saja Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Ari Askhara mengaminkan hal ini. Sebab menurutnya perusahaan penerbangan harus membeli 10-16 persen lebih mahal untuk membeli avtur milik Pertamina di Indonesia. Dan lebih murah bila mengisi avtur di luar negeri.

Baca juga:  "Disertasi Sampah" dan Bahaya Logika Mantik dalam Pengambilan Hukum

Sementara dalam laman CNNIndonesia online (14/02/2019), tertulis artikel berjudul “AKR Siap Saingi Pertamina Jualan Avtur”. PT AKR Corporindo Tbk menggandeng perusahaan energi BP Indonesia membentuk JV (Joint Venture). Ekspansi bisnis AKR-BP ini sejalan dengan keinginan pemerintahan Jokowi agar bisnis avtur tidak dimonopoli oleh PT Pertamina (Persero).

Lagi-lagi pemerintah mendapatkan angin segar untuk liberalisasi avtur setelah Shell (2007) mencoba melalui Shell Aviation akhirnya gagal bersaing dengan Pertamina dalam pemasaran avtur hanya dalam 2 tahun. Kegagalan Shell lantas dipastikan tidak boleh terulang dalam bisnis JV AKR-BP maupun perusahaan lain untuk kali ini. Rezim bermazhab neoliberal diberi tanggung jawab untuk memastikannya.

Penting untuk diingat bahwa liberalisasi bagaimanapun secara pasti akan berimbas terhadap kehidupan masyarakat secara luas, cepat atau lambat. Sementara negara terus meminimalisir perannya dalam mengurusi hajat hidup orang banyak sebagai konsekuensi negara ikhlas mengadopsi ekonomi neoliberal.

Celah Liberalisasi dan Monopoli

Sangat disayangkan politik energi di Indonesia tidak pernah mengacu pada Islam. Keengganan untuk mengambil politik Islam dikarenakan asas negara ini memang sekularisme dan sistem ekonomi kapitalisme mazhab neoliberal. Di sinilah pangkal bahaya liberalisasi distribusi energi (avtur).

Negara hanyalah kepanjangan tangan korporasi sehingga negara meninggalkan tanggung jawab pengurusan dan penjagaan kepentingan rakyat sendiri. Kompetisi dan daya saing dalam bingkai liberalisasi sejatinya merupakan dalih pemerintah dan payung pencitraan atas fakta kegagalan sistem sekaligus kegagalan rezim neolib.

Peneliti Institute for Development of Economics ang Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara menilai ongkos distribusi avtur di Indonesia mahal sebab pemerintah terlambat membangun infrastruktur penyaluran avtur ke bandara di luar Jawa. (Republika.co.id, 13/02/2019)

Baca juga:  BKsPPI: Ada Pesan Liberalisasi Disusupkan di Film The Santri

Apakah pemerintah -termasuk Pertamina- menganggap keterlambatan tersebut sebagai pengabaian hajat publik? Jawabnya, tidak! Sebab, kamus ekonomi neoliberal tidak mengenal istilah pengabaian tanggung jawab pemenuhan hajat publik. Ekonomi neoliberal hanya memiliki satu orientasi yakni keuntungan sebesar-besarnya bagi korporasi terutama asing.

Sangat gamblang cacat bawaan ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang hanya memiliki sistem produksi, minus sistem distribusi menjadi celah lebar bagi korporasi swasta bermain monopoli di sektor distribusi energi. Akan selalu ada monopoli, bila bukan Pertamina maka swasta bermodal besarlah penggenggam kuasa monopoli.

Maka hendaknya pemerintah meluaskan pandangan meninggalkan sistem ekonomi neoliberal dalam menyelesaikan polemik distribusi avtur. Dan sistem yang menjanjikan paket produksi dan distribusi energi langsung dikuasai negara hanya dimiliki oleh sistem ekonomi Islam saja.

Dari sisi kepemilikan, Islam menempatkan energi dalam kepemilikan umum yang haram dikuasai individu maupun korporasi. “Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang gembala dan api.” (HR.Abu Dawud). Avtur termasuk energi yakni barang yang esensinya merupakan kebutuhan publik sehingga liberalisasi terhadapnya bertentangan dengan syariah.

Islam menjadikan negara sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam melakukan pengelolaan energi dari eksplorasi, produksi sampai distribusi. Hasil pengelolaan energi total digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (dalam negeri), sementara ekspor dibuka selama tidak menguatkan negara lain dan tidak membuka celah monopoli negara lain atas energi dunia.

Baca juga:  Rezim Jokowi Berubah jadi Pembela Ekonomi Asing

Jelaslah dalam sistem Islam, peran sentral negara sebagai pengurus (raa’in) dan perisai (junnah) bagi kemaslahatan rakyat dan negara tidak boleh digantikan oleh siapa pun. Negara ada bukan untuk mencari laba/untung layaknya korporasi. Negara ada untuk menyediakan segala hal yang menjadi ihwal kebutuhan rakyat baik individu maupun pengusaha dengan mekanisme syariah yang menutup celah monopoli sebagian atas sebagain lainnya.

Mindset pelayanan publik sebagaimana konsep Islam kini telah tergadaikan oleh penguasa kepada asing. Saatnya masyarakat dan umat mengambil sikap yang jelas memberikan keberpihakan hanya kepada syariah. Sebab hanya syariah saja yang berani berpihak kepada masyarakat dan umat, tentunya dalam bingkai sistem kenegaraan dalam Islam, Khilafah ‘ala minhaajin nubuwwah. Wallahu a’lam bish shawab.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *