BeritaFeature

Imam adalah Perisai

Innamâ al-imâmu junnatun yuqâtalu min warâ`ihi wa yuttaqâ bihi fa in amara bitaqwallâhi wa ‘adala kâna lahu bidzâlika ajrun wa in ya`muru bi ghayrihi kâna ‘alayhi minhu (Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya)“ (HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).


Oleh: Yahya Abdurrahman

MuslimahNews, FEATURE — Yang dimaksud dengan al-imâm adalah Khalifah. Sebab sebagaimana penjelasan imam an-Nawawi, sebutan al-imâm dan al-khalifah itu adalah metaradif (sinonim). Makna hadis ini bisa dipahami sebagai pujian atas keberadaan Imam atau Khalifah.

Imam an-Nawawi menjelaskan bahwa imam adalah junnah (perisai) yakni seperti tirai/penutup karena menghalangi musuh menyerang kaum Muslim, menghalangi sabagian masyarakat menyerang sebagian yang lain, melindungi kemurnian Islam dan orang-orang berlindung kepadanya. Adapun menurut al-Qurthubiy maknanya adalah masyarakat berpegang kepada pendapat dan pandangannya dalam perkara-perkara agung dan kejadian-kejadian berbahaya dan tidak melangkahi pendapatnya serta tidak bertindak sendiri tanpa perintahnya.

Hadis ini juga memberikan makna bahwa keberadaan seorang al-imâm atau Khalifah itu akan menjadikan umat Islam memiliki junnah atau perisai yang melindungi umat Islam dari berbagai marabahaya, keburukan, kemudaratan, kezaliman, dan sejenisnya. Makna hadis ini menemukan faktanya saat ini.

Ketika imam yang mejadi perisai umat Islam itu tidak ada, umat Islam pun menjadi bulan-bulanan kaum kafir dan musyrik serta orang-orang zalim. Akibatnya kaum Muslim yang tertindas seperti di Uyghur, Rohingya dan lainnya tidak ada yang melindungi atau membela mereka.

Makna yuqâtalu min warâ’ihi yakni masyarakat bersamanya memerangi orang-orang kafir, bughat, khawarij dan seluruh pembuat kerusakan dan orang-orang zalim. Dalam hal ini masyarakat berperang berdasarkan pendapat dan perintahnya dan tidak menyalahinya, sehingga seakan mereka berada di belakang imam. Sehingga makna min warâ’ihi, bukan harus berperang di belakang imam, dan imam tidak harus menjadi orang terdepan di pertempuran. Boleh saja orang berperang di depan atau di belakang imam. Bahkan imam tidak harus memimpin sendiri pertempuran. Gambaran seperti inilah yang lebih pas, sesuai realita peperangan dan apa yang berlangsung pada masa Rasulullah Saw dan Khulafaur Rasyidin.

Baca juga:  Rezim Anti-Khilafah, Mengapa?

Dengan demikian makna yuttaqâ bihi (berlindung dengannya) bukan menjadikan imam sebagai tameng dalam pertempuran. Tetapi maknanya adalah masyarakat berlindung dengannya dari keburukan musuh, para pembuat kerusakan, kezaliman dan segala bentuk keburukan dan kemudaratan. Imam menjadi sandaran masyarakat untuk menghindari semua keburukan itu.

Selanjutnya Rasulullah mewanti-wanti ”maka jika imam memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil, baginya ada pahala”, yakni pahala yang amat besar. Dan sebaliknya jika ia memerintahkan yang selainnya ia akan bertanggung jawab atasnya di hadapan Allah.

Seakan Rasul ingin berpesan: ingatlah imam itu harus menjadi perisai melindungi rakyatnya dari serangan musuh, kerusakan, kezaliman dan segala bentuk keburukan dan kemudaratan. Oleh karena itu ia harus memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil. Dengan begitu ia akan menjadi perisai bagi rakyatnya. Sebaliknya jika ia tidak memerintahkan ketakwaan dan berlaku tidak adil atau zalim, dia tidak menjadi junnah dan ia harus bertanggung jawab di hadapan Allah.

Hadis ini saling menjelaskan dengan hadis yang menjelaskan bahwa tugas imam adalah memelihara urusan-urusan rakyatnya. Pemeliharaan urusan rakyat bentuknya bisa pertama, mencegah segala bentuk keburukan dan kemudaratan agar tidak menimpa rakyat. Kedua, menghilangkan segala bentuk kemudaratan, kezaliman, keburukan dan kerusakan dari tengah rakyat. Ketiga, memberikan hak kepada mereka yang berhak termasuk memberikan hak rakyat kepada rakyat. Dan keempat, memberikan yang lebih dari yang memang menjadi hak rakyat supaya kehidupan rakyat lebih baik sampai sebaik-baiknya.

Baca juga:  Umat Bangkit Hanya dengan Islam

Ungkapan imam adalah junnah menjelaskan dua bentuk: pertama, yaitu mencegah atau menghilangkan segala bentuk kemudaratan, kezaliman dan kerusakan dari rakyat atau umat. Jika terjadi kemudaratan, kezaliman dan kerusakan di tengah rakyat seperti saat ini, sedangkan imam (penguasa) diam saja, artinya ia telah menyalahi tugas dan fungsinya sebagai junnah. Yang demikian tidak boleh dan tidak pantas terjadi.

Supaya hal itu tidak terjadi, sekaligus imam (penguasa) itu bisa memerankan dirinya sebagai junnah, Rasul Saw memberikan resep jitu. Yaitu ia harus memerintahkan ketakwaan dan berlaku adil. Memerintahkan ketakwaan artinya senantiasa membina ketakwaan dirinya dan rakyatnya. Sedang berlaku adil adalah menempatkan dan menjalankan semua perkara sesuai ketentuan syariah. Dengan begitu empat bentuk ri’ayah yang menjadi tugas imam (penguasa) dapat direalisasikannya. Pantas jika imam (penguasa) yang demikian baginya disediakan pahala sangat besar yaitu surga. WaLlâh a’lam bi ash-shawâb.[]

Sumber: Tabloid Media Umat Edisi 234

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *