Visi Pemimpin Islami, Kunci Keberkahan Negeri
Hubungan antara pemimpin dan rakyat bagai penjual dan pembeli. Atau dealer dan pembeli. Dia kerja, kerja, kerja bukan untuk melayani rakyat. Tapi untuk sekadar menjadi menjadi jembatan yang akan menghubungkan rakyat dengan kapitalis (pengusaha) yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Di sinilah akar kemerosotan negeri-negeri kaum Muslimin.
Oleh : Wardah Abeedah*
MuslimahNews, FOKUS –Islam adalah agama yang sempurna. Berbeda dengan agama lainnya, Islam mengatur semua aspek kehidupan mulai dari bangun tidur, bangun rumah tangga, hingga bangun negara. Itulah alasan mengapa Alquran cukup tebal. Berisi 30 juz, 114 surat dan 6236 ayat. Jika ditafsirkan, maka ketebalannya bisa belasan kali lipat. Aturan Islam tak hanya mencakup persoalan iman dan ibadah. Dalam hal kepemimpinan dan pemerintahan, Islam memiliki seperangkat aturan yang komplit yang biasa dikenal dengan Fiqh Siyasah (Fiqh Politik) Pemerintahan Islam yang dibangun oleh Rasulullah ﷺ meliputi asas negara, struktur, perangkat, mekanisme pemerintahan, serta kelengkapan-kelengkapan administratif.
Visi Pemimpin dalam Islam
Visi pemimpin dalam Islam adalah semata-mata untuk menegakkan hukum Allah (syariat Islam) di dalam negeri dan menyebarkan Islam ke luar negeri dengan dakwah dan jihad. Imam Al Hafidz An Nawawi menegaskan dalam kitabnya Raudhah at-Thalibin wa Umdah al-Muftin, bahwa keberadaan Imam (penguasa) bagi umat untuk menegakkan agama, menolong as-sunnah, menolong orang-orang yang dizalimi serta menempatkan hak-hak pada tempatnya
Imam Thabariy ketika menafsirkan surat Al Baqarah 208 menyatakan, “Ayat di atas merupakan perintah kepada orang-orang beriman untuk menolak selain hukum Islam; perintah untuk menjalankan syari’at Islam secara menyeluruh; dan larangan mengingkari satupun hukum yang merupakan bagian dari hukum Islam.”
Sedangkan Imam Mawardi dalam kitabnya Ahkam Ash-Shulthaniyah, menyebutkan kepala negara diangkat untuk mewujudkan 10 hal ;
Pertama, melindungi keutuhan agama sesuai dengan prinsip-prinsip yang mapan, dan ijma’ generasi salaf. Jika muncul pembuat bid’ah, atau orang sesat yang membuat syubhat tentang agama, ia menjelaskan hujjah kepadanya, dan menindaknya sesuai dengan hak-hak dan hukum yang berlaku, agar agama tetap terlindung dari segala penyimpangan dan umat terlindung dari usaha penyesatan.
Kedua, menerapkan hukum (Islam, pen) kepada dua pihak yang perkara, dan menghentikan perseteruan di antara kedua pihak yang berselisih, agar keadilan menyebar secara merata, kemudian kaum tiranik tidak sewenang-wenang, dan orang teraniaya tidak merasa lemah.
Ketiga, melindungi wilayah negara dan tempat-tempat suci, agar manusia dapat leluasa bekerja, dan bepergian ketempat manapun dengan aman dari gangguan terhadap jiwa dan harta.
Keempat, menegakkan hudud (sangsi sesua nash syar’i) untuk melindungi larangan-larangan Allah Ta’ala dari upaya pelanggaran terhadapnya, dan melindungi hak-hak hamba-hamba-Nya dari upaya pelanggaran dan perusakan terhadapnya.
Kelima, melindungi daerah-daerah dengan banteng yang kokoh, dan kekuatan yang tangguh, hingga musuh tidak mendapatkan celah untuk menerobos masuk guna merusak kehormatan, atau menumpahkan darah orang Muslim, atau orang yang berdamai dengan orang Muslim (mu’ahid).
Keenam, memerangi orang yang menentang Islam setelah sebelumnya didakwahi hingga dia masuk Islam, atau masuk dalam perlindungan kaum muslimin (ahlu dzimmah), agar hak Allah Ta’ala terealisir yaitu kemenanga-Nya atas seluruh agama.
Ketujuh, mengambil Fa’i (harta yang didapat kaum Muslimin tanpa pertempuran) dan sedekah sesuai dengan yang diwajibkan syariat secara tekstual dan ijtihad tanpa rasa takut dan paksa.
Kedelapan, menentukan gaji, dan apa saja yang diperlukan dalam baitul mal (kas negara) tanpa berlebih-lebihan, kemudian mengeluarkan tepat pada waktunya, tidak mempercepat atau menunda pengeluaranya.
Kesembilan, mengangkat orang-orang terlatih untuk menjalankan tugas-tugas, dan orang-orang yang jujur mengurusi masalah keuangan, agar tugas-tugas ini dikerjakan oleh orang-orang yang ahli, dan keuangan dipegang oleh orang-orang yang jujur.
Kesepuluh, terjun langsung menangani segala persoalan, dan menginspeksi keadaaan, agar ia sendiri yang memimpin umat dan melindungi agama. Tugas-tugas tersebut, tidak boleh ia delegasikan kepada orang dengan alasan sibuk istirahat atau ibadah. Jika tugas-tugas tersebut ia limpahkan kepada orang lain, sungguh ia berkhianat kepada umat, dan menipu penasihat.
Pada dasarnya, mengangkat pemimpin (Imam atau Khalifah) dalam Islam menjadi kewajiban dalam rangka menerapkan seluruh hukum Islam. Syariat Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia tidak akan mungkin terwujud dengan sempurna tanpanya. Terutama hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan pengaturan urusan publik dan negara; misalnya, hudud, jinayat, menarik zakat, seruan jihad, ekonomi, hubungan sosial, politik luar negeri, dan lain sebagainya.
Tanpa pemimpin negara yang mewakili kaum Muslimin untuk menerapkan syariah, ada banyak hukum Allah yang tak bisa diterapkan. Misalnya perintah memotong tangan pencuri yang tertulis dalam surat Al-Maidah ayat 38. Perintah ini diwajibkan bagi seluruh kaum Muslimin. Mengabaikannya bermakna maksiat. Namun sebagaimana penjelasan As-Sunnah, subyek yang memotong tangan pencuri adalah Imam (Khalifah) mewakili kaum Muslimin, Maka setiap ada pencuri yang sudah mencukupi syarat untuk dipotong tangan,sedangkan kita tak memiliki pemimpin yang bertugas melaksanakannya, seluruh kaum Muslimin terbebani dosa karena meninggalkan kewajiban dari Allah ini. Begitu pula dengan perintah cambuk bagi pezina ghairu muhsan, peminum khamr dan pelaku qadzaf (tuduhan zina) dan sistem peradilan Islam lainnya.
Imam atau Khalifah sajalah yang akan mampu menerapkan sistem ekonomi Islam. Mengembalikan tambang dan sumber daya alam lainnya pada kepemilikan umum. Dengan cara mengelolanya dan dipergunakan untuk kemaslahatn rakyat. Ia pula yang akan mendirikan baitul maal dan mengelola pos pemasukan dan pengeluaran sesuai yang ditetapkan As-Sunnah dan ijma’ sahabat. Seperti menunjuk para amil untuk menarik zakat dan mengeluarkannya untuk delapan ashnaf, mengambil fai’, kharaj, mengelola sumber daya alam yang termasuk kepemilikan umum, dll untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, membuat infrastruktur, serta menyediakan pendidikan dan kesehatan gratis tapi berkualitas sebagaimana telah diteladankan para Khalifah terdahulu. Ia jugalah yang mengambil tanah mati dan menyerahkan pengelolannya pada rakyat yang sanggup mengelolanya.
Teladan Pemimpin Islam Terdahulu
Rasulullah ﷺ adalah teladan pemimpin terbaik. Beliau bukan sekedar nabi yang diutus untuk mengajarkan manusia beribadah dengan benar dan menyembah Allah semata. Sang Nabi mengurusi semua urusan umat, menjadi kepala dari Daulah Islam di Madinah pada masa itu. Dalam kepemimpinannya, beliau ﷺ telah meneladankan visi di atas. Beliau mengangkat seorang wali di tiap-tiap wilayah (provinsi) sebagaimana beliau mengangkat Muadz bin Jabal menjadi gubernrur di Yaman. Beliau membentuk baitul maal yang saat itu samua harta negara disimpan d rumahnya. Dalam hal peradilan, di masa kepemimpinannya pernah dirajam seorang wanita pezina.
Manusia terbaik ini bukan hanya menerapkan syariah Islam, bahkan beliau sangat tegas dalam penerapannya. Ketegasan beliau ﷺ tampak ketika ada yang meminta keringanan hukuman terhadap wanita bangsawan yang mencuri. Jawaban Rasul “Apakah kalian hendak meringankan hukuman syar’i di antara hukum-hukum Allah? Kemudian beliau bangkit dan berkhutbah ‘wahai manusia sungguh orang-orang sebelum kalian itu binasa karena bila yang melakukan pencurian itu orang terpandang mereka biarkan, tapi bila yang mencuri itu kalangan rakyat jelata, mereka menerapkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalau saja Fatimah binti Muhammad mencuri, sungguh aku akan memotong tangannya.” (HR Muslim)
Rasulullah ﷺ juga menyebarkan Islam ke luar Madinah. Beliau mengirim utusan kepada Hiraklius pemimpin Romawi, pada Najasyi Raja Habsyah, dll agar mereka mau tunduk pada Islam. Ketika beliau ﷺ wafat, seluruh jazirah Arab telah bergabung dengan Daulah Islam. Hal ini dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau. Berkat kewajiban menyebarkan Islam ke seluruh dunia inilah, kita di Nusantara bisa merasakan manisnya beriman dan berislam.
Visi Islami, Kunci Keberkahan Negeri
Mewujudkan visi kepemimpinan seusai Islam adalah perintah Allah, merupakan kewajiban. Ini wujud ketundukan kita sebagai hamba Allah yang menumpang hidup di bumi-Nya. Lebih dari itu, mewujudkan visi ini juga kebaikan. Allah telah menjanjikan dilimpahkannya keberkahan dari langit dan bumi bagi penduduk negeri yang beriman lagi bertaqwa. Allah SWT berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ ٱلْقُرَىٰ ءَامَنُواْ وَٱتَّقَوْاْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَـٰتٍ مِّنَ ٱلسَّمَآءِ وَٱلأَْرْضِ وَلَـٰكِن كَذَّبُواْ فَأَخَذْنَـٰهُمْ بِمَا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. ” (Al-A’raf 96)
Kaum Muslimin pernah mengalami puncak kegemilangan peradabannya di masa khufaur rasyidin dan khulafa’ sesudahnya ketika para pemimpinnya bervisi benar sesuai Islam. Kegemilangannya masyhur dan diamini oleh banyak tokoh Barat. Seperti Sheila S Blair dan Jonathan M Bloom dalam bukunya, Islam: A Thousand Years of Faith and Power.
“Di wilayah kekuasaan Islam, tidak hanya Muslim, tetapi juga kristen dan yahudi menikmati kehidupan yang baik. Mereka mengenakan pakaian yang bagus di kota-kota indah yang dilayani oleh jala-jalan beraspal, air gratis, dan saluran air, dan makan hidangan dengan bumbu lezat, yang disajikan dengan (piring) keramik dari Cina.”
Saat ini, kondisi umat Islam berbalik 180 derajat. Di Indonesia dan banyak negeri Muslim lainnya, kemiskinan, degradasi moral, kriminalitas dan berbagai problem lainnya merajalela. Keterpurukan ini tak bisa disolusi oleh pemimpin minim visi, ataupun yang bervisi selain visi Islam. Sebagaimana yang terjadi di negeri kaum Muslimin. Mereka menerapkan hukum selain hukum Allah. Pemimpin yang disumpah bukan untuk menjadi pelayan dan pelindung rakyat. Hubungan pemimpin dan rakyat bukan sebagai penggembala (pengurus/pelayan) dan yang digembalakan. Bukan sebagai pelindung dengan yang dilindungi sebagaimana yang dituntut Islam.
Hubungan antara pemimpin dan rakyat bagai penjual dan pembeli. Atau dealer dan pembeli. Dia kerja, kerja, kerja bukan untuk melayani rakyat. Tapi untuk sekadar menjadi menjadi jembatan yang akan menghubungkan rakyat dengan kapitalis (pengusaha) yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Di sinilah akar kemerosotan negeri-negeri kaum Muslimin. Allahu a’lam bis shawab.[]
*Muballighah, Islamic Freelance Writer