KeluargaPernikahan

Suamipun Bisa Menangis, Mintalah Hak Anda dengan Lembut

Jarang disadari wanita, ketika seorang pria menambatkan hatinya dalam ikatan pernikahan ia juga sebenarnya membutuhkan seorang kawan untuk menolong dirinya.


Oleh : Ustaz Iwan Januar

MuslimahNews.com — Prolog: “Mas aku mau ngomong nih,” kata Tiara saat Ari suaminya baru pulang dari kantor.
Tentang apa, Bu?” tanya Ari penasaran sambil membuka jam tangannya.
Pengeluaran kita bulan ini bengkak. Sekolah si Abang sudah nagih cicilan uang pangkal. Si Upik harus beli seragam baru, yang lama sudah kekecilan. Ibu di kampung juga minta bantuan bayar uang berobat Abah. Kepikir nggak sih semua, sama Mas?” berondong Tiara pada Ari, suaminya.

Ari mengerenyitkan keningnya. Ia baru saja menghadapi kesibukan di kantor, kemacetan di jalan raya, kini ia harus menjawab ‘berondongan’ istrinya tercinta. Ia belum sempat menarik nafas.

Ya aku mikirin dong, tapi kan semua ada prosesnya. Kita kan harus atur semua pengeluaran itu. Kamu kan tahu berapa sih gaji aku setiap bulannya,” jawab Ari.
Itulah maksudku, Mas,” sergah Tiara.
Maksud kamu?” Ari penasaran. Emosinya sedikit naik.

Apa Mas nggak bisa cari penghasilan lain selain di kantor? Nggak cukup Mas rumah tangga kita hanya ngandelin penghasilan Mas,” Tiara langsung mengeluarkan uneg-unegnya.

Ari yang belum sempat duduk langsung menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Kepalanya terasa panas. Jangan ditanya perasaannya. Bak lava yang bergolak. Seandainya ia tidak ingat akan pesan Nabi Saw. tentang kesabaran, mungkin emosinya akan lepas seperti kuda berlari yang terbebas dari tambatannya.

Baca juga:  Distribusi Tugas Suami-Istri dalam Kehidupan Rumah Tangga

Tapi Ari memilih diam. Ia menarik nafas panjang sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia berusaha mengendurkan semua syarafnya yang sudah seharian dihantam kesibukan di ruang kerja dan lalu lintas yang padat.

Tiara membuang muka menyaksikan suaminya menundukkan kepala. Pemandangan itu baginya adalah tanda kekalahan seorang laki-laki. Tanda menyerahnya seorang suami dari tuntutan hidup. Bukankah seharusnya seorang suami struggle, berjuang untuk hidup? Ia pun pergi ke dalam kamar dan merebahkan badannya ke atas pembaringan. Ia telungkupkan wajahnya ke atas bantal. Air matanya meleleh.

Tapi Tiara tidak tahu kalau di atas sofa, Ari, suaminya, seorang pria yang telah diandalkannya sebagai tulang punggung keluarga, pelindungnya dan anak-anaknya dari badai kehidupan, diam-diam meneteskan air mata. Kesedihan dan pengharapan akan jalan keluar dari beban berat di pundaknya bercampur jadi satu.

Para istri yang dirahmati Allah,
Mungkin banyak perempuan yang berpikir laki-laki tak mudah menangis. Hati mereka kebal dengan kata-kata tajam, apalagi dari seorang wanita. Bila Anda berpikir demikian, maka Anda salah. Pria dan wanita sama-sama manusia. Keduanya juga punya gharizatul baqa’, naluri mempertahankan diri. Ada saatnya benteng perasaan pria juga luruh. Tiap orang punya resistensi, daya tahan, yang beragam. Bisa dibuat skala 1-10. Setiap suami punya skor yang berbeda.

Jarang disadari wanita, ketika seorang pria menambatkan hatinya dalam ikatan pernikahan ia juga sebenarnya membutuhkan seorang kawan untuk menolong dirinya. Ya, suami, pria, tetap membutuhkan pertolongan. Dan dalam pernikahan ia berharap wanita yang dinikahinya sanggup memberikan pertolongan.

Tentu pertolongan yang dimaksud tidak sama dengan pertolongan dan perlindungan yang dibutuhkan seorang istri dari suaminya. Apa yang dibutuhkan seorang suami dari istrinya? Sederhana saja; pengertian dan support dalam setiap persoalan.

Baca juga:  Disrupsi Hebat Mengguncang Bangunan Keluarga

Tiara sebagai seorang istri memang tidak salah mutlak. Ucapannya pada Ari adalah bagian dari kecemasan – atau mungkin kepanikan – menghadapi belitan hidup di alam kapitalisme. Tiara tengah menuntut sesuatu yang memang haknya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Akan tetapi di sinilah Islam memberikan ketrampilan hidup bagi setiap insan. Sakinah, mawaddah wa rahmah membutuhkan kerja sama, bukan kerja seorang diri dari pihak suami.
.
Tidak saja seorang suami harus bersikap ma’ruf pada istrinya, seorang istri pun harus bersikap ma’ruf pada suaminya. Sabda Nabi Saw.:

أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنهمْ خُلُقًا
Mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya.”(HR. at-Tirmidzi)

Meminta nafkah pada suami adalah hak istri, akan tetapi bukankah Anda para istri dapat memintanya dengan cara yang ma’ruf?

Pertama, sampaikanlah dengan kalimat yang lembut bukan dengan cara menuntut. Sadarilah bahwa suami ada hak untuk dimuliakan dan ditaati perkataannya. Meski Islam menempatkan hubungan suami-istri layaknya sahabat, akan tetapi Allah juga memberikan kedudukan kepada suami sebagai pemimpin dalam keluarga. Muliakanlah dengan kata-kata yang lembut dan hormati posisinya.

Kedua, berikanlah apresiasi atau penghargaan atas kerja kerasnya. Bayangkan betapa beratnya tugas yang dilaksanakan suami; berangkat pagi mencari nafkah dan pulang malam hari. Para istri mungkin tidak tahu sepenuhnya beban kerja yang dipikulnya dan bagaimana relasi antar karyawan yang terkadang memunculkan persaingan.

Baca juga:  Mencegah Stres pada Istri

Perkataan Tiara amat menyudutkan Ari dan mengesankan suami sebagai pemalas, kenyataannya tidak demikian. Sebenarnya ia sudah berusaha bekerja keras akan tetapi Allah belum berkenan memberikan rizki. Memang Ari belum sempat mencari penghasilan tambahan karena memang kesibukan di tempat kerja belum memungkinkannya.

Ketiga, suami memang harus bekerja keras mencari nafkah, akan tetapi istri pun harus membantu keuangan rumah tangga dengan mengatur pengeluaran sebaik-baiknya. Misalnya dengan membuat prioritas pengeluaran; mana yang perlu, mana yang harus didahulukan, mana yang bisa ditinggalkan. Jangan membiasakan diri menumpuk pengeluaran pada suatu waktu yang akhirnya memberatkan keluarga, khususnya suami.

Keempat, carilah momen yang baik untuk membicarakan masalah-masalah berat dengan suami. Saat pulang kerja atau di pagi hari yang sibuk, bukanlah waktu yang tepat untuk melakukan hal itu. Ambillah di saat libur atau saat Anda berdua rehat dengan suami di malam hari. Sampaikan dengan kalimat yang lembut dengan bahasa yang mengajak untuk memecahkan masalah bersama, bukan menumpahkan persoalan kepada suami.

Jadi, para istri, suami pun bisa menangis di saat-saat tertentu. Anda tidak mau kan melukai hatinya?[] Gambar: Huffpost.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *