FokusOpini

Solusi Tuntas Problem Muslim Uyghur dengan Kepemimpinan Islam

Semoga kali ini, semua penderitaan kaum Muslim di seluruh dunia, khususnya Muslim Uyghur, menyadarkan kita semua bahwa Khilafah sudah saatnya hadir kembali. Tak bisa lagi kaum Muslim menunggu terlalu lama. Saatnya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah yang kedua ditegakkan di muka bumi ini.


Oleh: Ustazah Rezkiana Rahmayanti

MuslimahNews, FOKUS — Muslim Uyghur Menjerit Kembali! Kekerasan terhadap Muslim Uyghur di Xinjiang, Tiongkok (Cina), kembali terjadi. Panel Hak Asasi Manusia PBB pada Jumat (10/8/18) mengaku telah menerima banyak laporan terpercaya, bahwa satu juta warga etnis Uyghur di Tiongkok telah ditahan di satu tempat pengasingan rahasia yang sangat besar.

Muslim Uyghur mendapatkan perlakuan diskriminasi di dalam negerinya sendiri, oleh negaranya sendiri, dan berlangsung sekian tahun lamanya tiada henti. Pemerintah Tiongkok telah lama berlaku kejam terhadap kaum Muslim Uyghur di wilayah Xinjiang. Pihak berwenang di Tiongkok telah melakukan sebuah kampanye berskala besar dan sistematis terhadap komunitas Muslim yang minoritas di negara itu.

Pemerintah Tiongkok mengirim satu juta warga Uyghur ke kamp-kamp konsentrasi. Warga Muslim yang terlihat taat beribadah dan melakukan perintah agama di wilayah barat laut Xinjiang, seperti salat, puasa, tidak makan babi dan minum alkohol, memelihara jenggot, atau berpakaian secara Islami, ditahan oleh pihak aparat dan diperlakukan seolah mereka adalah para penderita kelainan jiwa.

Warga Muslim itu diambil dan ditangkapi dari rumah-rumah mereka dan dimasukkan ke kamp-kamp konsentrasi untuk di-“edukasi ulang”. Di dalam kamp konsentrasi mereka dipaksa mengikuti propaganda Partai Komunis, seperti menyanyi lagu mars partai, meneriakkan yel-yel dan slogan komunis, serta menghadiri penataran komunisme setiap hari untuk dicuci otak. Jika menolak atau tidak mengikuti acara, para tahanan akan disiksa sedemikian rupa, termasuk tidak diberi kesempatan tidur, diisolasi, dan disiksa secara fisik. Para tahanan Muslim Uyghur ini ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan, dan kerap kali tanpa akses terhadap pengacara hukum.

Mengapa Pemerintah Tiongkok melakukan penindasan terhadap Muslim Uyghur? Penyebabnya hanya satu, karena mereka Muslim. Karena mereka memeluk Islam. Artinya, yang dimusuhi oleh Pemerintah Tiongkok adalah segala hal yang berkaitan dengan Islam. Itu pula yang hendak mereka musnahkan dari bangsa Uyghur. Mereka melucuti segala yang berbau Islam. Kebencian mereka terhadap kaum Muslim dengan jelas diberitakan dalam firman-Nya:

لَتَجِدَنَّ أَشَدَّ النَّاسِ عَدَاوَةً لِلَّذِينَ آمَنُوا الْيَهُودَ وَالَّذِينَ أَشْرَكُوا

Sungguh kamu akan mendapati manusia yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah kaum Yahudi dan orang-orang musyrik.” (TQS al-Maidah [5]: 82).

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

Mereka (kaum kafir) tidak pernah berhenti memerangi kalian (kaum Muslim) sampai mereka bisa mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) andai saja mereka sanggup.” (TQS al-Baqarah [2]: 217).

Mengenal Muslim Uyghur

Muslim Uyghur adalah Muslim berdarah Turki yang sebagian besar tinggal di Xinjiang, di mana jumlah mereka adalah 45% dari keseluruhan penduduk di sana. Xinjiang sendiri merupakan provinsi terbesar di Tiongkok yang memiliki banyak sumber daya alam. Maka, tak heran apabila Pemerintah Tiongkok memutuskan untuk menjadikan Xinjiang (Negeri Baru) sebagai daerah kekuasaannya.

Xinjiang adalah sebuah kawasan besar, luasnya setara dengan tiga pulau Sumatra, atau sama dengan Pakistan dan Afghanistan digabung jadi satu. Sejak dulu, Xinjiang merupakan wilayah penting yang diperebutkan.

Dulu, Xinjiang merupakan urat nadi perdagangan dunia karena berada di Jalur Sutra. Kini, Xinjiang merupakan wilayah yang kaya sumber daya alam. Ungkapan ‘di mana ada azan di situ ada minyak’, juga terbukti di sini.

Cadangan minyak dan gas terbesar Republik Rakyat Tiongkok (RRT) ada di sini, khususnya di Xinjiang bagian selatan (Tarim Basin), tempat Muslim Uyghur sejak dulu tinggal menetap di bawah sistem pemerintahan tradisional yang disebut Khanate atau Khaganate.

Dengan luas 1,6 juta kilometer persegi, Xinjiang setara dengan 17 persen wilayah Tiongkok, dan merupakan wilayah otonomi terbesar di Tiongkok. Namun, hanya lima persen (80 ribu kilometer persegi) wilayahnya yang bisa ditinggali. Meski demikian, wilayah yang hanya lima persen ini setara dengan 100 kali luas daratan Jakarta.

Baca juga:  Uyghur Menjerit: Tolonglah Kami Wahai Dunia Islam

Sebagian besar wilayah Xinjiang adalah gurun pasir, padang rumput, danau, hutan, dan perbukitan. Xinjiang berada di kaki Gunung Tianshan yang membelah Asia Tengah. Xinjiang berbatasan dengan delapan negara yaitu Mongolia, Rusia, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, dan India.

Xinjiang tidak termasuk yang dikelilingi oleh Tembok Besar yang dibangun dinasti demi dinasti di Tiongkok selama dua ribu tahun. Karena itu, orang-orang Uyghur pun menjadikan fakta ini sebagai argumen bahwa tanah mereka bukanlah bagian dari Tiongkok, apalagi mereka pun bukan orang Cina. Mereka mendefinisikan diri mereka sebagai orang Turkistan Timur.

Turkistan Timur adalah bagian dari Negara Turkistan yang saat ini telah lenyap dari peta dunia. Pada abad ke-16 sampai abad ke-18, bangsa Cina dan Rusia mulai mengerlingkan nafsu angkaranya ke Turkistan dan mulai berpikir tentang kemungkinan untuk melakukan ekspansi pencaplokan wilayah teritorial. Penjajah Komunis Rusia dan Cina telah memecah belah Turkistan menjadi negara-negara boneka yang kini termasuk bagian dari Republik Sosialis Uni Soviet dan Republik Rakyat Tiongkok, dua negara komunis terbesar di dunia.

Turkistan Barat dikerat-kerat oleh Uni Soviet menjadi lima negara yaitu Uzbekistan, Kazakstan, Turkmenistan, Kirzigistan dan Tazikistan. Tahun 1928 Rusia membuat suatu tim untuk mengubah bahasa Turki dan huruf Arab di lima negara itu menjadi bahasa Latin, kemudian diubah menjadi bahasa Rusia. Sedangkan Turkistan Timur daerah jajahan Tiongkok kemudian diganti namanya menjadi Xinjiang, yang artinya Negeri Baru.

Secara geografis, Turkistan terletak di jantung Asia dan dikenal dalam literatur Islam sebagai negara di balik sungai (ma waroan nahri) dinisbatkan pada sungai Sihun dan Jihun. Setelah Islam masuk wilayah ini, beberapa tempat dibangun oleh beberapa negara Islam, di antaranya Al-Qarakhoniyah, As-Sa’idiyah, Al-Ghaznawiyah dan Al-Khawarizmiyah. Muncul juga salah seorang tokoh besar yang benama Ahmad Yuknakiy, ilmuwan matematika dan fisika Al-Biruni, penemu ilmu geografi dan peta yaitu penulis buku “Diwan Al-lughah At-Turk” Mahmud Al-Kashghariy, Al Farabi dan Yusuf Al Hajib. Dalam bidang Fiqih, Al-Murginani serta dalam ilmu balaghah, Yusuf As-Sakaki dan lainnya.

Turkistan Timur adalah sebuah negara Islam yang besar wilayah dan populasinya. Dibebaskan Bani Umayyah oleh komandan Qutaibah bin Muslim Al-Bahiliy dan sejak saat itu menjadi negeri Islam yang dipenuhi dengan ilmu pengetahuan dan keimanan hingga dijajah oleh komunis Tiongkok sejak tahun 1949.

Pemerintahan komunis Tiongkok telah membunuh lebih dari enam puluh juta muslim Uyghur sejak menduduki wilayah Turkistan. Jumlah ini sepuluh kali lipat dari para syuhada Bosnia Herzegovina, Iraq, Afghanistan, Chechnya, dan Palestina. Pada 1952, rezim mengeksekusi seratus dua puluh ribu Muslim di Turkistan Timur, sebagian besar mereka adalah para ulama di bidang syariah, sebagaimana yang dikatakan oleh gubernur Turkistan saat itu, Burhan Shahidi.

Antara 1949 dan 1979, komunis Tiongkok kembali beraksi dengan merubuhkan sekitar tiga belas ribu masjid. Dari tahun 1997 hingga detik ini, Tiongkok menutup sepertiga dari seluruh masjid yang ada. Mereka mengklaim bahwa masjid yang dirobohkan berdekatan dengan sekolah negeri dan kantor pemerintahan atau berada di ranah-ranah publik. Siapa yang berkunjung ke Turkistan akan melihat banyaknya masjid yang dihancurkan menaranya dan dirobohkan.

Baca juga:  Lebih dari 6.000 Warga Palestina Ditangkap Israel Selama Tahun 2018

Pemerintah komunis mengubahnya menjadi taman hiburan, klub malam, dan kantor pusat pengubahan budaya di Turkistan Timur. Semua hal yang dilakukan rezim intoleransi ini untuk mengubah identitas komunitas muslim menjadi komunis. Bahkan, beberapa masjid yang dihancurkan diubah menjadi kantor partai komunis atau penjara untuk tahanan. Bukan hanya masjid, rezim juga membakar lebih dari 370.000 madrasah Alquran dan madrasah Ulum Syar’iyah hingga mengubah Turkistan menjadi sebuah kota yang benar-benar berbeda dari sebelumnya.

Diamnya Dunia terhadap Kekejaman pada Muslim Uyghur

Sudah bisa diperkirakan, sikap warga negara termasuk media-media lokal dan internasional terkait perlakuan Tiongkok terhadap Uyghur tidak selalu terwakili oleh kebijakan para pemimpin dan mayoritas pemerintahan negara-negara di dunia. Mereka memilih jalan berhati-hati, bahkan cenderung menghindar dari membahas isu tersebut. Sikap bungkam semacam ini sangat mengherankan. Pemerintah Indonesia juga tidak merespon, Presiden Jokowi tidak bersuara. Wakil Presiden JK menganggap Indonesia tak dapat ikut campur dalam permasalahan ini karena itu merupakan masalah dalam negeri Tiongkok. (Cnnindonesia.com).

Inilah gambaran hipokrit wajah hak asasi manusia “HAM” yang diagung-agungkan dunia. Bila itu terkait dengan dunia Islam dan pembantaian kaum muslimin oleh “negara-negara teroris hakiki’, maka dunia seakan bisu termasuk media-media mainstream. Inilah kondisi kaum muslimin ketika tidak ada Kepemimpinan Islam yang melindungi dan menjamin keamanan dari berbagai gangguan dan ancaman dunia luar.

Wajib Menolong Muslim Uyghur

Perintah Alquran kepada kaum Muslim sangat jelas. Saat saudara mereka ditindas dan meminta pertolongan, kaum Muslim wajib memberikan pertolongan kepada mereka. Allah SWT berfirman:

وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ

Jika mereka meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan.” (TQS al-Anfal [8]: 72).

Uyghur telah lama menjerit meminta tolong kepada kaum Muslim. Mereka ingin diselamatkan. Karena itu wajib atas kaum Muslim sedunia, termasuk Pemerintah dan rakyat Indonesia, melindungi mereka, memelihara keimanan dan keislaman mereka, sekaligus mencegah mereka dari kekufuran yang dipaksakan kepada mereka.

Sayang, saat ini tak ada seorang pemimpin Muslim pun yang mau dan berani mengirimkan pasukan untuk menyelamatkan mereka. Sungguh tak ada yang memedulikan mereka. Termasuk penguasa negeri ini, yang penduduk muslimnya terbesar di dunia. Jangankan memberikan pertolongan secara riil, bahkan sekadar kecaman pun tak terdengar dari penguasa negeri ini.

Dunia Butuh Kepemimpinan Islam dalam Naungan Khilafah

Semua realitas di atas menambah daftar panjang betapa besar penderitaan umat Islam sekarang. Sebab Uyghur tak sendirian. Nasib serupa juga dialami oleh Muslim Rohingya, Pattani Thailand, Moro Filipina, Palestina, Suriah, dan lain-lain. Semua penderitaan kaum Muslim ini semakin meneguhkan kesimpulan tentang betapa butuhnya umat terhadap Khilafah.

Mengapa Khilafah? Tentu karena umat Islam di berbagai wilayah mengetahui bahwa keselamatan mereka hanya ada pada Islam, juga pada kekuasaan Islam (Khilafah). Sebab Khilafah adalah perisai/pelindung sejati umat Islam.

Ini berdasarkan sabda Nabi saw.:

وَإِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sungguh Imam (Khalifah) itu laksana perisai. Kaum Muslim akan berperang dan berlindung di belakang dia.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Makna frasa “Al-Imâm junnat[un] (Imam/Khalifah itu laksana perisai)” dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, “Maksudnya, ibarat tameng, karena Imam/Khalifah mencegah musuh untuk menyerang (menyakiti) kaum Muslim; mencegah anggota masyarakat satu sama lain dari serangan, melindungi keutuhan Islam…

Baca juga:  Kenapa Arab Saudi Mendeportasi Pengungsi Rohingya?

Mengapa hanya Imam/Khalifah yang disebut sebagai junnah (perisai)? Karena dialah satu-satunya yang bertanggung jawab. Ini sebagaimana dijelaskan dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الإِمَامُ رَاعٍ وَ هُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam/Khalifah itu pengurus rakyat dan hanya dia yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dan Muslim)

Menjadi junnah (perisai) bagi umat Islam khususnya dan rakyat umumnya meniscayakan Imam/Khalifah harus kuat, berani, dan terdepan. Bukan orang yang pengecut dan lemah. Kekuatan ini bukan hanya pada pribadinya, tetapi pada institusi negaranya, yakni Khilafah. Kekuatan ini dibangun karena pondasi pribadi (Khalifah) dan negara (Khilafah)-nya sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang ada pada diri kepala negara Islam pada masa lalu, baik Nabi Saw. maupun para Khalifah setelah beliau.

Ini antara lain tampak pada surat Khalid bin al-Walid:

Dengan menyebut asma Allah, Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Khalid bin al-Walid, kepada Raja Persia. Segala pujian hanya milik Allah, yang telah menggantikan rezim kalian, menghancurkan tipu daya kalian dan memecah belah kesatuan kalian… Karena itu, masuk Islamlah kalian. Jika tidak, bayarlah jizyah. Jika tidak, aku akan mendatangkan kepada kalian kaum yang mencintai kematian, sebagaimana kalian mencintai kehidupan.”

Ketika ada wanita Muslimah yang dinodai kehormatannya oleh orang Yahudi Bani Qainuqa’ di Madinah, sebagai kepala negara, Nabi Saw. menyatakan perang terhadap mereka. Mereka pun diusir dari Madinah. Demikianlah yang dilakukan Nabi Saw., sebagai kepala Negara Islam saat itu, demi melindungi kaum Muslim.

Hal yang sama dilakukan oleh para khalifah setelah beliau. Khalifah Harun ar-Rasyid, di era Khilafah ‘Abbasiyyah, misalnya, pernah menyumbat mulut jalang Nakfur, Raja Romawi, dan memaksa dia berlutut kepada Khilafah. Khalifah Al-Mu’tashim, juga di era Khilafah ‘Abbasiyyah, pernah memenuhi permintaan tolong wanita Muslimah yang kehormatannya dinodai oleh tentara Romawi. Ia segera mengirim ratusan ribu pasukan kaum Muslim untuk melumat Amuriah, mengakibatkan ribuan tentara Romawi terbunuh dan ribuan lainnya ditawan. Demikian pula yang dilakukan oleh Sultan ‘Abdul Hamid di era Khilafah ‘Utsmaniyah dalam melindungi kaum Muslim. Semuanya melakukan hal yang sama karena mereka adalah junnah (perisai).

Semua itu tentu dasarnya adalah akidah Islam. Karena akidah Islam inilah, kaum Muslim siap menang dan mati syahid. Rasa takut di dalam hati mereka pun tak ada lagi. Karena itu musuh-musuh mereka takut luar biasa ketika berhadapan dengan pasukan kaum Muslim. Kata Raja Romawi, “Lebih baik ditelan bumi ketimbang berhadapan dengan mereka (kaum Muslim).” Bahkan sampai terpatri di benak kaum kafir, bahwa kaum Muslim tak bisa dikalahkan. Inilah generasi umat Islam yang luar biasa. Generasi ini hanya ada dalam sistem Khilafah.

Khilafahlah satu-satunya harapan. Sebab Khilafahlah pelindung sejati umat sekaligus penjaga agama, kehormatan, darah, dan harta mereka. Khilafah pula yang bakal menjadi penjaga kesatuan, persatuan, dan keutuhan setiap jengkal wilayah mereka.

Semoga kali ini, semua penderitaan kaum Muslim di seluruh dunia, khususnya Muslim Uyghur, menyadarkan kita semua bahwa Khilafah sudah saatnya hadir kembali. Tak bisa lagi kaum Muslim menunggu terlalu lama. Saatnya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhajin Nubuwwah yang kedua ditegakkan di muka bumi ini.[]

*Diambil dan diolah dari beberapa sumber

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *