AnalisisOpini

Ilusi ‘Perkawinan’ antara Perempuan dan Ekonomi Digital

Oleh: Pratma Julia Sunjandari

MuslimahNews, ANALISIS — Menuju kehancurannya, dunia kapitalis memang belum berhasil menarik seluruh perempuan terlibat dalam ekonomi. Komitmen internasional yang menuntut keterlibatan semua negara, terus menerus diperbaharui. Menuju tahun 2030, women’s equality and empowerment menjadi tujuan ke-5 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals [SDGs].

Kalangan akademisi di universitas, bank raksasa, lembaga keuangan besar dan perusahaan multinasional begitu percaya pada gagasan bahwa tahun 2030 adalah titik balik “total”, seperti revolusi industri dan revolusi elektronik pada tahun 1980-an. Mereka sadar, tantangan pembangunan masa depan harus dihadapi. Termasuk serius dalam menggarap potensi besar ekonomi perempuan melalui perantaraan pemimpin yang pro kebijakan kapitalistik.

In Asia, the future is female,” ungkap Sri Mulyani Indrawati, yang menjadi salah satu Co-Chair gelaran World Economic Forum on ASEAN di Hanoi, Vietnam pada 11-13 September 2018. Jargon itu tidak lagi baru, karena dahulu mantan Menlu AS, Hillary Clinton dalam Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) High-Level Policy Dialogue on Women and the Economy di San Francisco, 16 September 2011 pernah menyatakan, “Women are vital in the participation age.” Era partisipasi penuh (full partipation age) untuk memobilisasi perempuan mewujudkan talenta ekonomi mereka memang konsisten didengungkan dunia. Tujuannya, agar menghilangkan rasa bersalah pada diri perempuan jika harus mati-matian mengejar target ekonomi, sekalipun harus merampas kehidupan alami mereka sebagai ibu generasi.

“Perkawinan” Perempuan dan Ekonomi Digital

Dalam 2018 National Defense Strategy of USA, Amerika Serikat berniat menjadikan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang menyediakan kesejahteraan dan keamanan bagi kepentingannya (prosperity and security for all). Tidak mengherankan jika ASEAN –sebagai bagian kawasan Indo-Pasifik- menjadi proyek ekonomi penting bagi AS.

Strategi menguasai ASEAN memang telah dirancang sebagai bagian arsitektur dan institusi global pasca Perang Dunia II demi mendorong arus investasi dan perdagangan.

Di era kekinian, negara-negara ASEAN harus berhadapan dengan Revolusi Industri 4.0 (Industry Revolution 4.0). Perkembangan teknologi terjadi secara eksponensial, sehingga terwujud performa mutakhir industri seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/ AI), robotisasi, otomatisasi dan digitalisasi. Ambisinya, dengan teknologi RI 4.0 harus mampu menjadikan ASEAN sebagai pasar digital tunggal sehingga mampu membangun pan-regional service dalam bidang keuangan, kesehatan, dan e-commerce.

Pasar ASEAN memang luar biasa. Memiliki 630 juta warga dengan kekuatan belanja yang terus meningkat, ceruk ini harus dioptimalisasi. Yang mengerjakan proyek-proyek ekonomi itu jelas penduduknya sendiri. Perempuan juga harus menjadi bagian penting proyek-proyek tersebut, mengingat rasio gender di ASEAN secara umum berimbang. Bahkan Singapura, Brunei, Laos dan Vietnam memiliki jumlah perempuan sedikit lebih banyak daripada laki-laki.

Baca juga:  Ruang Aman Perempuan dalam Bangunan Islam

Begitu besar harapan Kapitalis atas perempuan, sehingga McKinsey memperkirakan ekonomi global akan kehilangan US $ 4,5 triliun Pendapatan Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2025 jika melepaskan begitu saja potensi ekonomi perempuan. Maka ‘mengawinkan’ pemberdayaan ekonomi perempuan dan perkembangan teknologi digital akan menjadi hitung-hitungan yang menguntungkan bagi bisnis masa depan.

Di Indonesia, saat ini 63 persen dari 5 juta pelaku ekonomi didominasi perempuan. Pada Sidang Umum ke-35 International Council of Women (ICW) serta Temu Nasional Seribu Organisasi Perempuan Indonesia di Yogyakarta 13 – 14 September 2018 menjadi momentum untuk ‘mengawinkan’ pemberdayaan perempuan dan ekonomi digital. PT Telkom bersama BUMN lain telah membentuk Rumah Kreatif BUMN (RKB) yang tersebar di 514 kabupaten dengan program pembinaan startup Indigo Creative Nation di 18 kota.

Dan yang paling menjanjikan, tentu saja generasi muda. Kalangan yang berusia di bawah 30 tahun di ASEAN ini, 90 persennya memiliki akses internet. Apalagi jika rata-rata anak muda ASEAN menghabiskan waktu sepanjang 6 jam 4 menit untuk online, maka jenis pekerjaan masa depan untuk pasar tunggal ASEAN adalah bisnis digital. Jenis pekerjaan yang memiliki permintaan dan pertumbuhan tinggi di masa depan adalah jasa, penjualan retail dan sektor pariwisata yang bisa dilakukan secara digital.

Investasi bagi perempuan muda (girls) bukan hanya disampaikan Sri Mulyani pada forum WEF on ASEAN tersebut. UNWomen telah lama mengaruskannya. Bahkan pada Hari Keterampilan Pemuda Sedunia (World Youth Skills Day), 15 Juli 2016 di markas besar PBB, UNWomen meluncurkan Global Coalition of Young Women Entrepreneurs untuk mempromosikan inovasi dan kewirausahaan perempuan muda.

Obsesi dunia kapitalis dalam memberdayakan perempuan muda tidak hanya untuk menjadi pencari nafkah, tetapi juga pencipta pekerjaan demi agenda SDGs 2030 pada tujuan memberantas kemiskinan (1st Goal is end poverty).

Investasi pada perempuan muda, sesuai dengan perkembangan RI 4.0 dilakukan melalui peningkatan pendidikan vokasi dan training untuk menghasilkan SDM ahli IT. Sri Mulyani berpesan –sebagaimana pesan para pegiat gender internasional- agar para pejabat publik, pemimpin bisnis, masyarakat sipil dan lembaga pendidikan memperkuat ketrampilan perempuan dalam sains, teknologi, perekayasaan dan matematika (STEM/ Science, Technology, Engineering and Mathematics). Bekal itu dianggap akan mampu membangun start-up teknologi baru ke dalam bisnis besar, dan menjadikan mereka pemimpin perekonomian Asia di masa depan.

Baca juga:  Jebakan “Kamala Harris Effect” dan Kepemimpinan Perempuan

Ilusi Menumbuhkan Ekonomi Melalui Tangan Perempuan

Menumbuhkan ekonomi melalui pemberdayaan ekonomi perempuan adalah ilusi. Bahkan, jika kesetaraan ekonomi perempuan terwujud –dimana perempuan lebih banyak menduduki jabatan penting di level manajerial dan direksi, atau menjadikan gajinya lebih besar daripada gaji laki-laki- akan mampu mengentaskan kemiskinan adalah gagasan absurd.

Yang sebenarnya, kaum kapitalis global –yang disetir tentakel gurita bisnis korporasi raksasa- tak henti-hentinya melakukan kebohongan. Mereka memanfaatkan lembaga internasional hingga lokal, pemerintah, rekanan bisnis, media, institusi kemasyarakatan hingga masyarakat sipil untuk memprovokasi perempuan agar rela bekerja untuk maksimalisasi potensi ekonominya. Mereka meyakinkan masyarakat untuk percaya jargon-jargon bombastis seperti tema 35th ICW Yogyakarta, yakni Transforming Society Through Women Empowerment. Bagaimana bisa, pemberdayaan ekonomi perempuan akan mampu mengubah masyarakat menuju sejahtera?

Padahal, stagnasi ekonomi yang melanda hampir seluruh wilayah dunia diakibatkan oleh faktor inheren kapitalisme itu sendiri. Dari industri berbasis teknologi tingkat tinggi hingga produk gaya hidup yang memiliki pasar terbatas menjadikan produk negara-negara maju sulit mencapai pasar berpangsa luas. Belum lagi realitas ketergantungan kapitalisme pada sektor ekonomi non riil menjadi sebab utama roda pertumbuhan ekonomi cenderung mandeg. Kredit macet, pengendapan aset finansial di rekening gendut, proyek investasi mangkrak, dan sebagainya menjadi sebab sistem ekonomi kapitalis rentan terhadap krisis. Krisis ekonomi bakal menghentikan pergerakan ekonomi. Jadi solusi meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah meniadakan faktor-faktor penyebabnya, bukan lantas menimpakan pergerakan ekonomi pada mobilisasi tenaga, pikiran ataupun potensi internal perempuan.

Apalagi bila menyandingkan kesetaraan gender –sebagai tujuan ke-5 SDGs– dengan menghilangkan kemiskinan –tujuan pertama SDGs. Berulang kali digembar-gemborkan jika perempuan terlibat sepenuhnya dalam pemberdayaan ekonomi, keluarga-keluarga akan terbebas dari kemiskinan. Itu jelas logika absurd.

Kemiskinan dalam sistem kapitalisme adalah keniscayaan. Golongan masyarakat yang tidak mampu mengakses peluang ekonomi, akan tetap miskin secara struktural. Jurang strata sosial yang menganga lebar disebabkan oleh masalah distribusi pendapatan.

Penelitian Eric Stark Maskin–peraih Nobel Ekonomi 2007, guru besar Adams University di Harvard – dan Kaushik Basu -guru besar ekonomi Cornell University, New York– mendukung hal itu. Mereka menyimpulkan, globalisasi adalah salah satu penyebab ketimpangan kesejahteraan terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Sekalipun pendapatan rata-rata naik, tetapi distribusi pendapatan tidak merata.

Itulah sebab utama permasalahan ekonomi. Bukan karena perempuan secara keseluruhan –sebagaimana rancangan dalam Planet 50 : 50- belum terlibat penuh dalam pemberdayaan ekonomi.

Meluruskan Argumentasi Absurd Pegiat Gender

Memberi perempuan tugas untuk meningkatkan pendapatan domestik keluarga, ataupun berkontribusi dalam industri besar –sebagaimana konsensus 34th ICW di Izmir, Turki- adalah tindakan yang tidak populer dalam syari’at Islam. Sekalipun saat ini masyarakat berada dalam era kapitalistik yang mengakibatkan semua kebutuhan hidup tak pernah tercukupi bagi mayoritas manusia, sehingga menyebabkan perempuan-perempuan turut memikul beban nafkah keluarga, tetap saja beban nafkah tidak pernah berpindah ke pundak mereka. Kewajiban menafkahi perempuan, anak-anak, orang tua, dan anggota keluarga berkebutuhan khusus tetap dibebankan atas laki-laki, sebagaimana Allah SWT telah menugaskannya.

Baca juga:  Perempuan Berdaya dalam Mengembangkan Saintek pada Masa Kekhilafahan Islam

Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang baik.” [TQS Al Baqarah : 233].

Sekalipun itu kewajiban laki-laki, Allah tidak pernah membebani mereka di luar kemampuannya.

Tidaklah Allah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya”. [TQS Al Baqarah : 286].

Karena itulah, Allah telah menetapkan sistem ekonomi yang komprehensif dalam mengurangi beban kepala keluarga melalui tugas dan tanggung jawab Khalifah.

Dalam syari’at Islam ada mekanisme sempurna untuk menyelesaikan problem nafkah keluarga. Sistem ekonomi Islam mewajibkan negara Khilafah untuk menanggung kebutuhan komunal wajib seperti pendidikan dan kesehatan. Khilafah juga memudahkan pemilikan rumah dan lahan bagi warga negara, tanpa beban kredit yang mencekik leher.

Pemenuhan sarana umum –seperti transportasi, energi dan air bersih- harus dipastikan negara terdistribusikan dengan benar dan murah, bahkan gratis bagi rakyat. Jika semua telah dilayani negara, maka kepala keluarga ibaratnya, hanya menanggung nafkah untuk memenuhi kebutuhan sandang-pangan, dan kebutuhan komplementar saja.

Karena itu, bila sistem ekonomi Islam diterapkan dalam Khilafah Islamiyah, setiap keluarga tidak perlu ‘memaksa’ perempuan berjibaku turut mencari penghasilan demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sebaliknya, perempuan akan nyaman berada di habitat alaminya, sebagai ibu generasi dan ratu rumah tangga (ummun wa rabbatul bait).

Tak ada lagi rasa bersalah harus melalaikan ‘tupoksi’ utamanya demi mengejar rupiah. Segenap potensinya akan dicurahkan demi menjaga harmonisasi keluarga dan pengasuhan serta pendidikan anak-anaknya. Sekalipun mubah baginya bekerja, namun pekerjaan bukan segala-galanya, tempat dia mendarmabaktikan sepanjang usianya demi kepentingan perusahaan, bukan keluarga atau kewajiban agamanya.

Maka, tak ada juga ekonomi eksploitatif. Dengan dalih pemberdayaan ekonomi, namun mengeksploitasi seluruh kemampuan perempuan, baik pemikiran ataupun tenaganya. Karena sesungguhnya, menyikapi perkembangan teknologi adalah tugas negara, bukan perempuan. Alhasil, teknologi dalam tatanan syariat akan digunakan untuk mempermudah peran kemanusiaan mereka sekaligus sarana untuk meningkatkan ketakwaan pada Allah SWT. Bukan menjerumuskan manusia –apalagi perempuan- untuk kian melupakan fitrah utamanya sebagai ibu generasi.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *