AnalisisOpini

Muharram dan Peristiwa Sebelas September

Oleh : Trisnawaty Amatullah

MuslimahNews, ANALISIS — Ada yang berbeda di tahun ini entah kebetulan atau tidak, penanggalan Masehi 11 September bertepatan dengan penanggalan Hijriyah 1 Muharram. Penetapan tahun baru Hijriyah pertama kali dilakukan di masa kekhilafahan Umar bin Alkhattab ra dengan berpatokan pada hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah sebagai Darul Kufur ke Madinah sebagai Darul Islam, usulan ini disampaikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Terkait penentuan awal bulan kalender Hijriyah sebagian sahabat mengusulkan bulan Ramadhan, sahabat Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan mengusulkan bulan Muharram. Umar bin Alkhattab menyampaikan, “Sebaiknya dimulai bulan Muharram, karena pada bulan itu orang-orang usai melakukan ibadah haji,” akhirnya sahabat yang lain pun menyepakati.

Alasan lain, bulan Muharram dipilih sebagai awal bulan diutarakan oleh Ibnu Hajar rahimahullah, “Karena tekad untuk melakukan hijrah terjadi pada bulan Muharram. Di mana baiat terjadi di pertengahan bulan Dzulhijjah (bulan sebelum muharram). Dari peristiwa baiat itulah awal mula hijrah, bisa dikatakan hilal pertama setelah peristiwa baiat adalah hilal bulan Muharram, serta tekad untuk berhijrah juga terjadi pada hilal bulan Muharram (baca :awal bulan Muharram). Karena inilah Muharram layak dijadikan awal bulan, ini alasan paling kuat mengapa dipilih bulan Muharram.” (Fath al-baari)

Makna Hijrah

Ibnu hajar al-Asqalani di dalam kitab Fath al-Baari bi Syarh Shahih Albukhari, juga-‘Alqami yang dikutip dalam ‘Awn al –Ma’bud, menjelaskan bahwa hijrah itu ada dua macam : zhahirah (lahir) dan bathinah (batin). Hijrah batin meninggalkan kemaksiatan menuju ketaatan yang merupakan kewajiban bagi setiap Muslim, hijrah secara batin ini semakin meningkat, fenomena artis yang berhijrah mengenakan hijab, mengkaji Islam, komunitas masyarakat tanpa riba.

Sejatinya hijrah batin ini adalah siapa saja yang mengharapkan rida Allah SWT sudah seharusnya meninggalkan kemaksiatan baik aktivitas muamalah dalam sistem ekonomi terkait riba, suap menyuap, menipu maupun terkait dalam sistem pergaulan membuka aurat, perzinaan dan sederetan kemaksitan yang lain.

Adapun hijrah secara zhahirah (lahir) yang diterangkan oleh Ibnu Hajar adalah lari menyelamatkan agama dari fitnah (al-firar bi ad-din min al-fitan), sedangkan hijrah secara syar’i keluar dari darul kufr menuju darul Islam (Taqiyuddin annabhani, al-syakhshiyyah al-islamiyyah terjm :440).

Darul Islam adalah suatu wilayah (Negara) yang menerapkan syariah secara total dalam segala aspek kehidupan dan keamanannya secara penuh berada di tangan kaum Muslim dan sebaliknya Darul Kufur adalah wilayah atau Negara yang tidak menerapkan syariah Islam dan keamanannya tidak di tangan kaum Muslim sekalipun mayoritas penduduknya beragama Islam. Hijrah lahir inilah yang belum terwujud dengan adanya sebuah institusi (Negara) yang menerapkan islam secara kaffah.

Upaya Kafir Qurays dan Upaya Barat Membendung Tegaknya Khilafah

Ada pelajaran yang sangat penting bagi kaum Muslim sebelum hijrahnya Rasulullah Saw dari Makkah ke Madinah Almunawwarah. Berbagai ancaman, tantangan, gangguan dan hambatan yang didapatkan Rasululllah Saw dan para sahabat dalam aktivitas mengemban dakwah baik dengan penyiksaan, propaganda maupun pemboikotan tatkala mereka menyadari keberadaan dakwah yang diemban oleh Rasulullah Saw, sejarah mencatat bagimana penganiyaan terhadap Rasulullah Saw.

Prof Dr Muh Rawwas Qol’ahji dalam bukunya Sirah Nabawiyah menuturkan Abu lahab paman Rasulullah SAW dan istrinya Ummu Jamil di antara orang-orang yang paling keras penganiayaannya terhadap Rasulullah Saw. Ummu Jamil senantiasa membawa duri yang disebar di jalan yang bisa dilewati Rasulullah Saw, bahkan dia rela menjual kalungnya yang sangat berharga untuk biaya penganiyaan Rasulullah Saw. Penganiyaan juga dilakukan oleh Umayah bin Khalaf, Abu Jahal, Al-Akhnas bin Syuraiq, Al Alwalid bin al-Mughirah, Ubay bin Khalaf, dan penganiayaan yang dilakukan oleh para tetangga Rasulullah Saw.

Mereka tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan untuk melakukan penganiyaan terhadap Rasulullah Saw, ketika mereka melihat Beliau salat mereka melemparkan kotoran. Bahkan keluarga Yasir disiksa karena mempertahankan keimanannya, hal ini mengantarkan Sumayyah kepada syahid. Bilal bin Rabah disiksa oleh tuannya yang sombong Umayyah bin Khalaf, begitu juga sahabat yang lain banyak yang disiksa karena mempertahankan keimanan dan mengemban dakwah. Menyadari peniksaan secara fisik tidak berhasil mereka beralih ke propaganda dengan tuduhan keji terhadap Rasulullah Saw sampai pada pemboikotan.

Saat ini, apa yang pernah dilakukan oleh kafir Quraisy pun dilakukan oleh barat demi menjaga eksistensi ideologi kapitalismenya. Bersama dengan anteknya, barat berupaya membendung sistem pemerintahan Islam yaitu Khilafah Islamiyyah.

Bagi mereka, Khilafah adalah lonceng kematian bagi peradaban barat. Upaya barat untuk membendung Khilafah mulai dari terorisme sampai ke radikalisme.

Perang melawan terorisme (war on terrorism) yang digulirkan Amerika Serikat dengan mengambil momentum runtuhnya gedung WTC pada 11 september 2001 sejatinya adalah perang melawan Islam, dan Indonesia adalah Negara yang sangat aktif menjalankan berbagai program turunan dalam perang melawan terorisme yang dikomando Amerika. Pada momentum bom Bali tahun 2002, misalnya, Indonesia langsung mengeluarkan Perppu No I tahun 2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme yang kemudian disahkan DPR menjadi UU no.15 tahun 2003.

Berikutnya tahun 2003 dibentuk Detasemen Khusus (densus) 88 yang dibentuk dengan SK kapolri No.30/vi/2003. Pada tahun 2010 pemerintah menerbitkan peraturan Presiden (Perpres) nomor 46 tahun 2010 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Pada tahun 2018 Revisi Undang-undang Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme akhirnya disahkan menjadi Undang-undang.

Sejumlah aksi teror yang belakangan melanda tanah air pun menjadi pemicu agar UU ini segera disahkan, sebelumnya Presiden Joko Widodo sempat ‘menggertak’ akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang apabila sampai bulan Juni UU belum rampung. (Tribunnews.com)

Tak berhenti sampai di situ, barat lalu membuat brand baru bernama “radikalisme”, namun pergeseran isu tersebut hanyalah rebranding belaka yakni hanya membuat nama baru tanpa mengubah esensinya yakni perang melawan Islam.

Dalam KBBI, kata radikal memiliki arti mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (Undang-undang pemerintahan), maju dalam bertindak dan berpikir. Radikal jika ditambah akhiran isme yakni radikalisme berarti paham yang sifatnya mendasar atau paham politik yang menuntut perubahan yang fundamental.

Dalam konteks isu perang melawan terorisme, pemaknaan radikal dan radikalisme menjadi stereotip dan sangat subyektif, label radikal sering disematkan kepada individu atau kepada kelompok yang memperjuangkan syariat Islam secara totalitas, menyerukan jihad fisabilillah, menganggap Amerika Serikat sebagai musuh, ingin mengganti sistem demokrasi Kapitalisme menjadi sistem Khilafah Islamiyyah.

Dari Terorisme ke Radikalisme

Peralihan isu dari terorisme ke radikalisme bukan tanpa alasan, dari aspek sasaran jika yang dimaksud barat adalah Islam ideologi maka pelaku tindak terorisme terlalu sempit hanya berlaku bagi mereka yang melakukan tindakan kekerasan seperti penembakan, pengeboman dan tindak kekerasan lainnya.

Adapun bagi pengusung ideologi Islam menegakkan Khilafah Islam yang berjuang tanpa kekerasan, tidak bisa mereka sentuh. Namun isu radikal inilah yang dipilih barat untuk melakukan monsterisasi ajaran Islam, terutama Khilafah dan menjauhkan umat dari syariah dan pemikiran Islam serta penyesatan politik. Radikalisme jelas bukanlah isu yang bergulir alami, ini direkayasa sedemikian rupa sehingga mengarah pada satu sasaran yakni Islam. Karena itulah diperlukan pula upaya sistematis agar rekayasa barat menyerang Islam mengalami kegagalan.

Hijrah untuk Berubah dan Bangkit

Saat ini terjadi pertarungan yang tidak seimbang, di satu sisi ideologi kapitalisme diemban oleh berbagai negara, di sisi lain Islam hanya diemban oleh individu dan kelompok dakwah. Agar pertarungan melawan propaganda barat menjadi seimbang, umat Islam harus memiliki kekuatan politik, kekuatan politik Islam yang akan dapat mengimbangi bahkan mengalahkan hegemoni barat adalah Khilafah Islam.

Momentum tahun baru Hijriyah sejatinya tidak hanya rutinitas seremonial belaka yang diperingati setiap tahun tetapi harus melakukan perubahan dan bangkit dengan melakukan perjuangan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan, karena kewajiban hijrah meniscayakan tegaknya Daulah Islam terlebih dahulu. Bagaimana mungkin bisa hijrah, sementara Dar Al-Islam yang menjadi tempat tujuan hijrahnya belum ada?

Oleh karena itu umat Islam harus berkonsentrasi untuk mewujudkannya. Dengan demikian menegakkan Daulah dan berhijrah ke negara tersebut adalah konsekuensi dari akidah yang mewajibkan pelakunya menerapkan syariah secara kaffah. Tidak berhenti sampai di situ, mereka diwajibkan untuk mengemban dakwah dan menyebarkan Islam ke seluruh dunia melalui jihad.

Allah SWT berfirman:
الذين آمنوا و هاجروا و جهدوا في سبيل الله بأموالهم و أنفسهم أعظم درجة عند الله و أولئك هم الفائزون
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda dan diri mereka, adalh lebih tinggi derajatnya di sisi Allah, dan itulah orang-orang yang mendapatkan kemenangan” (QS al-Taubah[9]:20). Pastikan kita termasuk dalam bagian mereka. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *