Abuse of Power dalam Bangunan Demokrasi
Oleh: Pratma Julia Sunjandari
MuslimahNews, FOKUS — Liberalisasi adalah ruh utama demokrasi. Karenanya, tidak boleh ada kekuasaan yang bersifat otoritarian. Militer –baik polisi, tentara, satuan keamanan, penjaga perbatasan dan sebagainya- dianggap memiliki peluang untuk bertindak otoriter. Dalam kamus demokrasi, masyarakat sipil dianggap sebagai penjaga liberasi untuk menghalangi pihak-pihak yang berpeluang memanfaatkan supremasinya demi tujuan politik.
Dikotomi Militer – Sipil
Tidak ingin menggulang sejarah Orde Baru, pihak militer menegaskan keterpisahan mereka sebagai alat politik. Awal Juli 2018 lalu Mentri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan, “TNI itu tidak usah berpolitik karena jiwa dan raganya sudah diserahkan untuk bangsa dan negaranya. Demokrasi kita belum sampai untuk mengizinkan TNI berpolitik.”
Penegasan Menhan nyatanya tidak senada dengan keinginan Presiden. Di hadapan para perwira Sekolah Staf dan Komando TNI dan Sekolah Staf dan Pimpinan Tinggi (Sespimti) Polri di Istana Negara, Joko Widodo meminta perwira TNI-Polri terlibat menyosialisasikan program dan kerja pemerintah (23/8/18). Jokowi meminta pemasyarakatan program dan kerja pemerintah yang sudah dicapai itu diselipkan dalam agenda-agenda tertentu.
Keinginan Jokowi memanfaatkan perangkat keamanan negara untuk kepentingan politiknya bukan baru kali ini saja terjadi. Pada 17 Juli 2018 lalu Jokowi sempat meminta Bintara Pembina Desa (Babinsa) saat menghadiri apel Babinsa seluruh Indonesia, di Bandung agar mereka turut mengantisipasi isu-isu di masyarakat yang menuding dirinya bagian dari PKI.
Tindakan Jokowi tersebut mengingatkan publik akan sepak terjang Soeharto yang menunggangi TNI untuk kepentingan politiknya melalui doktrin Dwi Fungsi ABRI. Konsep Dwi Fungsi sebenarnya dilahirkan Jendral AH NAsution -KASAD di masa Soekarno- sebagai “jalan tengah” untuk memperbolehkan Angkatan Darat menjalankan perannya di luar militer. Militer bisa berpartisipasi dalam setiap usaha dan kegiatan masyarakat di bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Di masa Orde Baru, konsep ini digunakan Soeharto untuk membenarkan militer dalam meningkatkan pengaruhnya di pemerintahan Indonesia, termasuk di parlemen dan posisi kunci jabatan publik.
Namun di masa euforia demokrasi ini, tentu tindakan Jokowi tidak populer hingga menimbulkan sinisme para pegiat demokrasi. Rata-rata mereka menganggap Jokowi berpotensi melakukan abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan. Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri menilai Jokowi telah menerabas UU No.34/tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia khususnya Pasal 7 ayat (2) dan (3).
Dalam pasal 7 yang membahas tentang pelaksanaan tugas pokok TNI, harus didasari keputusan politik, bukan kepentingan sepihak. Apalagi saat ini, tak ada kondisi yang membuat pemerintah pusat, daerah, maupun Polri tidak mampu menangani masalah tertentu hingga Jokowi harus meminta keterlibatan militer.
Rupanya suasana panas menjelang Pilpres tanggal 17 April 2019 itulah yang telah menyeret Jokowi melangkahi wewenangnya. Oleh sebab itu Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarifudin Hasan dengan keras mengingatkan Jokowi untuk tidak menyeret institusi militer menjadi alat politik praktis pemerintah.
Direktur Populi Centre, Usep S Ahyar berpandangan, permintaan Jokowi itu bisa menjadi blunder yang merugikannya. Sebab, bila publik menilai Jokowi sedang menyalahgunakan kekuasaan bakal menggerus elektabilitasnya. Potensi kerugian itu bisa jadi menjadi kalkusasi kubu petahana untuk makin masif melakukan manuver politik.
Tidak hanya untuk sosialisasi capaian, beberapa kalangan mensinyalir militer dan polisi juga digunakan untuk menghadang gerakan massa yang berpeluang mengurangi elektabilitasnya. Seperti pemulangan Neno Warisman dari Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru setelah sempat tertahan dari Sabtu (25/8) sore hingga malam. Sebelumnya, Neno berencana untuk melakukan deklarasi #2019GantiPresiden di Pekanbaru, Riau keesokan harinya.
Tindakan Polda Riau diikuti Polda Jawa Timur dan Kalimantan Barat. Sekalipun polisi menilai kegiatan tersebut akan menimbulkan resistensi dan keresahan masyarakat, peneliti Habibie Center, Bawono Kumoro, berharap polisi bertindak bukan karena desakan kelompok tertentu. Demikian pula Ketua Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, yang berpendapat bahwa kepolisian harus berhati-hati bersikap untuk mencegah persepsi politik tertentu karena aparat dapat dituding mendukung capres tertentu.
Betapa repotnya berwacana dalam demokrasi. Kebebasan sipil (civil liberty) adalah salah satu poin yang diukur untuk menentukan seberapa demokratisnya sebuah negara. Sedangkan militerisme dianggap memberi cacat pada demokrasi. Karena itulah dalam demokrasi akan selalu terjadi dikotomi militer versus kebebasan masyarakat sipil. Perlakuan militer yang kerap menjadi perpanjangan tangan rezim, termasuk dalam tindakan penggusuran di perkotaan dan pembebasan lahan, kian mempertajam friksi antara militer dan sipil.
Karenanya dalam survei yang dilakukan Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, April-Juli 2018, sebanyak 52 persen responden menganggap militer tak perlu memiliki peran politik. Mayoritas responden menilai bahwa kontrol sipil atas militer masih lemah. Di pihak lain sistem komando dalam militer menjadikan transparansi dan akuntabilitas lembaga ini amat minim, apalagi keterlibatan militer dalam politik memang acap kali terjadi.
Demokrasi yang Selalu Hipokrit
Namun anehnya, kendati demokrasi tidak ’menyukai’ kekerasan, dan selalu menyuarakan sikap masyarakat sipil yang tidak menyukai keterlibatan militer dalam politik, kenyataannya TNI dan polisi memang masih menjadi magnet yang dibutuhkan untuk mendongkrak elektabilitas. Seperti yang terjadi pada dua kubu kandidat Pilpres 2019 yang sama-sama berharap mantan panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bergabung ke kubu mereka.
Direktur Pencapresan PKS Suhud Aliyuddin mengakui pihaknya sangat berharap Gatot Nurmantyo menjadi bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandiaga Uno. PKS menilai, sosok berpengalaman seperti Gatot Nurmantyo merupakan sosok yang strategis dan penting.
Di pihak lain, relawan Gatot Nurmantyo untuk Rakyat (GNR) telah bergabung mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Menurut Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, bergabungnya GNR dapat sejalan dengan kemungkinan bergabungnya Gatot dalam tim pemenangan.
Demikianlah demokrasi.
Inkonsistensi, menabrak aturan dan hipokrit adalah karakter yang melekat padanya. Mengingkari konsepsi yang melekat pada identitasnya, tidak akan menjadi masalah. Mengingat demokrasi hanya konsisten pada tujuan pemenuhan syahwat kekuasaan dan sekaligus melanggengakannya, bagaimanapun caranya. Karena itu penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya terjadi pada dikotomi militer – sipil. Namun pelaku demokrasi, yang notabene masyarakat sipil pun –seperti para petinggi partai politik atau pejabat publik- amat mungkin melakukan abuse of power.
Simak saja komentar para pendukung Jokowi dalam mengomentari pidato Jokowi tentang sosialisasi itu. Juru bicara Jokowi-Ma’ruf Amin, Irma Suryani Chaniago, menilai permintaan Jokowi bukanlah penyalahgunaan kekuasaan. Jokowi sebagai panglima tertinggi TNI dan Polri berhak meminta bawahannya di dua institusi tersebut menyosialisasikan keberhasilan pemerintah. Senada dengan Irma, Sekjen PKB, Abdul Kadir Karding berpendapat tugas TNI mempertahankan negara itu meliputi aspek politik sosial budaya. Tugas itulah yang menjadi alasan tindakan Jokowi dalam forum Sespimti itu.
Abuse of power juga terjadi saat Wiranto menjalankan tugasnya dalam rapat Koordinasi Nasional Camat, yang diikuti 500 orang camat dari Sulawesi, Maluku dan Papua (30/8/2018). Wiranto yang masih menjadi salah satu menteri dalam kabinet Jokowi itu mengajak kepada para Camat yang ada di seluruh wilayah Indonesia untuk memiliki loyalitas tunggal. Harus patuh kepada pimpinan tertinggi yakni Presiden.
Bukankah pernyataan itu menyiratkan himbauan untuk tetap mendukung Jokowi [dalam Pilpres mendatang]? Yang lebih jelas adalah manuver Ali Mochtar Ngabalin, yang menjadi Tenaga Ahli Utama Deputi IV Kepala Staf Presiden (KSP). Tindakan dan ucapan Ngabalin yang terang-terangan mendukung Jokowi selama 2 periode dalam beberapa kesempatan membuat Laode Ida, anggota Ombudsman RI menasihatinya untuk cuti dari jabatannya. Laode menilai, Ngabalin adalah penyelenggara negara dan ditakutkan akan membuat mal-administrasi pelayanan publik.
Sekali lagi, demikianlah demokrasi. Semua realitas yang terjadi pada gerak politik demokrasi terjadi karena absurditasnya. Kecacatan yang telah melekat pada sistem ini sejak kelahirannya, membuatnya seringkali memperdebatkan persoalan yang sesungguhnya bukan pangkal masalah. Dikotomi militer dan masyarakat sipil sebenarnya tidak perlu terjadi. Kedua institusi ini menjadi bagian yang esensial dalam sistem ketatanegaraan sehingga tidak perlu terus menerus diadu dan dipertentangkan.
Di sisi lain, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan aparatur negara juga tak akan terjadi jika aparatur negara dan pelaku politik jujur dan konsisten menjalankan aturan. Namun sayangnya, semua ilustrasi tersebut mustahil terlaksana dalam sistem yang koruptif dan manipulatif ini. Belum lagi ada faktor kepastian hukum telah menjadi barang langka dalam demokrasi.
Jaminan Islam untuk Meniadakan Abuse of Power
Abuse of power adalah kesalahan dalam politik ketatanegaraan. Jika berharap pada demokrasi, mustahil mampu melenyapkan penyalahgunaan ini. Hanya sistem pemerintahan yang menempatkan peran manusia sebatas pelaksana aturan yang digariskan Penciptanya sajalah yang mampu memberikan solusi atas penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Jaminan itu hanya diberikan oleh pemerintahan yang bersumberkan pada syariat Islam.
Jaminan keselarasan peran masing-masing komponen pemerintahan –kepala negara, aparat, militer dan masyarakat- telah diatur dalam sistem kenegaraan Islam, Khilafah Islamiyah. Salah satu pilar yang menjadi jaminan adalah konsep kedaulatan. Dalam Islam, kedaulatan adalah milik Syara’, bukan milik rakyat. Jadi, kedaulatan bukan milik penguasa, Khalifah. Artinya, Khalifah tidak berada diatas hukum.
Pilar selanjutnya adalah kekuasaan berada di tangan umat. Artinya, otoritas dan kekuasaan yang dimiliki oleh Khalifah berasal dari umat, bukan dari dirinya sendiri atau dari garis nasabnya. Khalifah terikat dengan hukum-hukum Syari’ah dalam seluruh tindakan, kebijakan, keputusan hukum, serta pengaturannya atas urusan-urusan dan kemaslahatan umat. Ini menjadi perbedaan yang mendasar antara Khilafah dan demokrasi.
Dalam prakteknya, pilar-pilar pemerintahan Khilafah itu saling bersenyawa dan bersinergi. Tak ada dikotomi peran militer – sipil. Rasulullah SAW adalah penguasa Daulah Islam, sekaligus Panglima perang yang memimpin langsung Perang Badar, Uhud, Khandaq dan sebagainya. Demikian pula Khulafaur rasyidin dan para Khalifah selanjutnya. Peran pemerintahan dan militer menyatu pada diri sosok-sosok agung tersebut, tanpa menimbulkan friksi dan kesewenang-wenangan.
Demikian pula dalam pemerintahan. Para Khalifah mengerti betul, area mana yang tak bisa diintervensi. Bahkan penggunaan anggaran pun amat akuntabel. Tentu kisah Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lentera milik negara ketika berbincang urusan rumah tangga dengan istrinya telah masyhur di telingga publik. Jaminan itu semua bisa terjadi karena ketundukan pada syariat telah melahirkan pribadi bertaqwa yang menyatu dengan pengawasan masyarakat yang bertaqwa pula. Wallahu ‘alam bish shawab.[]