Nafsiyah

Sebab Terhalang Menjadi Orang Shalih

MuslimahNews.com — Setiap Muslim tentu mendambakan dirinya menjadi orang shalih. Namun, bagi sebagian orang, menjadi orang shalih kadang hanya sebatas keinginan, tidak benar-benar diwujudkan. Kadang, keinginan menjadi orang shalih itu malah kontraproduktif dengan praktik-praktik yang dilakukan, Betapa banyak Muslim yang malah mendatangkan halangan-halangan bagi dirinya untuk menjadi orang yang shalih.

Berkaitan dengan ini, Imam Ali pernah berkata, “Seandainya tidak ada lima perkara, seluruh manusia tentu menjadi orang-orang shalih. Pertama: Merasa puas dengan kebodohan. Kedua: Terlalu fokus terhadap dunia. Ketiga: Bakhil terhadap harta. Keempat: Riya dalam beramal. Kelima: Membanggakan diri sendiri.” (Muhammad Nawawi bin Umaral-Jawi, Nasha’ih al-‘lbad, him. 32).

Inilah lima perkara yang oleh Imam Ali dianggap sebagai ‘penghalang’ seseorang untuk menjadi orang shalih. Terkait dengan yang pertama (merasa puas dengan kebodohan), jelas sikap ini tercela dalam Islam yang nyata-nyata telah mewajibkan setiap Muslim untuk menuntut ilmu. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim.” (HR Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga bersabda, “Allah Subhanhu Wa Ta’ala murka terhadap orang yang memiliki ilmu tentang dunia tetapi tidak memiliki ilmu, tentang akhirat (agama).” (HR. Al-Hakim)

Juga sabdanya, “Dosa orang yang berilmu itu satu, sementara dosa orang bodoh itu dua.” (HR ad-Dailami). Maksudnya, orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkan ilmunya mendapatkan satu dosa. Dengan kata lain, dia gugur dari dosa menuntut ilmu, tetapi tetap berdosa karena tidak mengamalkan ilmunya. Adapun orang yang bodoh mendapatkan dua dosa: dosa karena tidak menuntut ilmu sehingga menjadikan dirinya bodoh dan dosa karena dia tidak beramal. Sebab, bagaimana dia bisa beramal, atau apa yang mau diamalkan, sementara dia tidak berilmu?

Terkait dengan yang kedua (terlalu fokus terhadap dunia), sikap ini pun buruk dalam pandangan Islam. Sebab, Allah Subhanhu Wa Ta’ala telah berfirman (yang artinya): Carilah pada apa yang telah Allah anugerahkan kepada kalian (kebahagiaan) negeri akhirat dan jangan kalian melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi (QS al-Qashash[28]: 77).

Dalam ayat ini bahkan kebahagiaan akhirat lebih didahulukan dari pada kebahagian dunia meski manusia didorong untuk bisa meraih kedua-duanya. Rasul juga bersabda, “Sebaik-baik kampung dunia adalah bagi orang yang menjadikannya sebagai bekal untuk akhiratnya hingga ia ridha kepada Tuhannya. Seburuk-buruk kampung dunia adalah bagi orang yang terpalingkan olehnya sehingga berkurang keridhaan kepada Tuhannya.” (HR al-Hakim).

Terkait dengan yang ketiga (bakhil terhadap harta), maka kita tampaknya perlu menyadari kata-kata Imam Ja’far ash-Shadiq. Beliau pernah menyatakan, seorang hamba mesti menyadari bahwa apa yang ada padanya bukan miliknya, tetapi milik ‘tuan’-nya, yakni Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Segala hal yang ada padanya adalah titipan dari-Nya. Jadi, tak selayaknya dia bakhil terhadap harta, yang juga sesungguhnya merupakan titipan Allah yang kebetulan Dia titipkan kepadanya.

Terkait dengan yang keempat (riya dalam beramal), Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Orang yang paling keras azabnya pada Hari Kiamat adalah orang yang berlaku riya di hadapan manusia bahwa ia telah berbuat baik, padahal tak ada kebaikan sedikitpun didalamnya.”(HR ad-Dailami).

Rasul pun bersabda, “Sesungguhnya Allah Subhanhu Wa Ta’ala mengharamkan surga atas orang-orang yang berbuat riya.” (HR Abu Nu’aim).

Terakhir, terkait dengan yang kelima (membanggakan diri sendiri), kita pun sejatinya menyadari, bahwa tak layak manusia membanggakan diri. Sebab, sejak awal manusia diciptakan dari ‘air yang hina’. Lebih dari itu, apa yang harus dibanggakan manusia jika semua yang ada padanya, termasuk dirinya sekalipun, adalah milik Allah Subhanhu Wa Ta’ala, Pencipta manusia dan seluruh jagad raya ini? Tentu sangat janggal dan aneh jika manusia berbangga atas apa yang orang lain titipkan kepadanya. Bukankah aneh jika kita berbangga diri hanya karena dititipi rumah (walau rumah mewah) oleh tetangga samping rumah kita yang kebetulan sedang bepergian jauh? Bukankah aneh jika kita harus takjub diri jika teman kita menitipkan mobilnya (meski mobil itu super mahal) kepada kita saat kebetulan dia harus ke luar negeri? Karena itu, tentu aneh pula jika kita berbangga diri, apalagi bersikap sombong, atas apa saja yang telah Allah titipkan kepada kita (anak-istri, rumah, mobil, apartemen, tanah/sawah yang luas, serta harta kekayaan lainnya yang melimpah ruah). Sebab, bukankah semua itu hakikatnya milik Allah Subhanhu Wa Ta’ala, yang kebetulan Dia titipkan kepada kita? Wa maa tawfiiqii illa billaah wa’alayhi tawakkaltu wa ilayhi uniib.[] Arief B. Iskandar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *