Nafsiyah

Menikmati Pengorbanan

MuslimahNews.com — Di antara yang dituntut dari seorang Mukmin, apalagi pengemban dakwah, adalah pengorbanan di jalan Allah, yakni berkorban demi tegaknya agama Allah (li i‘lâ’i kalimat Allâh).

Setelah Rasulullah saw., para sahabat tentu saja adalah contoh terbaik dalam hal pengorbanan. Mereka adalah generasi yang sangat memahami bahwa pengorbanan di jalan Allah adalah perwujudan dari cintanya yang sejati kepada-Nya.

Kita mungkin pernah mendengar bagaimana ‘Singa Allah’ Khalid bin Walid, panglima perang yang gagah-berani, dengan penuh kebanggaan berkata, “Aku lebih menyukai malam yang sangat dingin dan bersalju, di tengah-tengah pasukan yang akan menyerang musuh pada pagi hari, daripada menikmati indahnya malam pengantin bersama wanita yang aku cintai atau aku dikabari dengan kelahiran anak laki-laki.” (HR al-Mubarak dan Abu Nu‘aim)

Kita pun mungkin ingat, bagaimana Utsman bin Madz‘un lebih rela dicukil matanya setelah menolak berada dalam perlindungan orang musyrik dan lebih memilih berada dalam perlindungan Allah. Ketika itu, pamannya, Walid bin Mughirah, berkata kepadanya, “Wahai keponakanku, dulu matamu sehat dan tidak seperti ini, karena engkau berada dalam perlindungan yang kuat.” Dengan lantang Ibn Madz‘un menjawab, “Demi Allah, mataku yang sehat perlu merasakan apa yang juga pernah dirasakan mata-mata yang lain di jalan Allah. Aku berada dalam perlindungan yang lebih kuat darimu.” (HR Abu Nu‘aim)

Sahabat lain, Haram bin Milham, pernah tertusuk tombak dalam peperangan. Tombak itu lalu dicabut. Darah pun mengucur dari tubuhnya. Akan tetapi, ia malah berkata, “Demi Allah, aku beruntung!” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ahmad).

Baca juga:  Kesabaran dan Pengorbanan: Kunci Kemenangan

Umair bin Abi Waqash, adik Sa‘ad bin Abi Waqash, saat Perang Badar, ia—yang baru berusia 16 tahun—berusaha menyelinap diam-diam ke barisan pasukan kaum Muslim untuk ikut berperang. Ia takut dipulangkan oleh Rasul karena usianya yang masih terlalu muda. Namun, ketika Rasul tahu keinginan dan semangatnya, beliau pun mengizinkannya. Umair pun dengan gembira segera berlari menuju medan perang hingga terbunuh sebagai syahid. (HR al-Hakim dan Ibn Sa‘ad)

Sultan Salahuddin al-Ayyubi, generasi yang lebih belakangan, begitu cintanya berkorban di jalan Allah, ia lebih menikmati kehidupan di kemah di tengah-tengah padang pasir ketimbang hidup enak di istana. Para sejarahwan menulis, “Setiap pembicaraan Sultan selalu berkisar di seputar jihad dan mujahidin. Ia selalu mengamati senjatanya dan lebih senang hidup di kemah di tengah-tengah padang pasir.”

Demikianlah sekilas dan sedikit contoh dari generasi terbaik umat ini pada masa lalu. Mereka bukan saja orang-orang yang siap dan rela berkorban, tetapi generasi yang selalu merindukan dan bahkan menikmati pengorbanan di jalan Allah lebih daripada mencintai diri mereka sendiri. Ingat, semua contoh di atas adalah orang-orang yang rela mengorbankan sesuatu yang paling berharga dari diri mereka, yakni jiwa mereka.

Baca juga:  Ketaatan Total pada Syariat Allah

Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita mempertaruhkan kehidupan kita di jalan Allah? Jika sudah, berapa bagian harta kita yang telah kita infakkan di jalan Allah dibandingkan dengan yang kita keluarkan untuk anggaran BBM mobil kita setiap harinya? Berapa banyak pula waktu, tenaga, dan pikiran yang telah kita habiskan di jalan Allah dibandingkan dengan yang telah kita habiskan untuk memenuhi kebutuhan duniawi kita?

Ingatlah, Islam senantiasa menunggu pegorbanan setiap Muslim. Ingatlah pula, tegaknya Islam pada masa lalu dalam wujud Daulah Islam di Madinah telah menguras begitu banyak keringat, airmata, bahkan darah kaum Muslim; menyita begitu banyak harta mereka; dan mengorbankan begitu banyak jiwa mereka. Karena itu, tegaknya kembali Islam dalam wujud Khilafah Islamiyah yang kita cita-citakan juga membutuhkan pengorbanan yang serupa dengan pengorbanan generasi Muslim pada masa lalu. Dengan itulah mereka berhasil menegakkan Daulah Islam di Madinah dan memperluas kekuasaannya di jazirah Arab. Pengorbanan yang sama dilakukan oleh generasi Muslim pada masa Khulafaur Rasyidin dan para Khalifah setelahnya hingga kekuasaan Islam semakin meluas, menguasai hampir dua pertiga wilayah dunia.

Jelaslah, Islam membutuhkan pengorbanan kita. Semakin banyak kita berkorban, semakin dekat kita pada kemenangan. Sebaliknya, semakin sedikit kita berkorban, semakin jauh pula kita meraih kemenangan.

Karena itu, jauhkanlah sikap bahwa kita telah cukup banyak berkorban hanya karena kita telah menjadi bagian dari pengemban dakwah, di tengah-tengah banyaknya kaum Muslim yang tidak berdakwah. Janganlah pula kita berpikir bahwa aktivitas dakwah adalah aktivitas ‘sampingan’ dan temporer yang bisa kita lakukan setelah kita memenuhi seluruh kebutuhan kita dan hanya pada saat-saat tertentu saja. Bukankah Rasul saw. sendiri menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk berdakwah? Bukankah Rasulullah melibatkan diri dalam lebih dari 70 kali peperangan selama hidupnya? Bukankah Ammar bin Yasir masih ikut berperang di jalan Allah dalam usia 90 tahun—meskipun rambutnya telah beruban, tubuhnya telah melemah, dan tulang-tulangnya telah merapuh? Bukankah pula Abu Sufyan masih terus bersemangat memotivasi pasukan kaum Muslim dalam peperangan dalam usia 70 tahun?

Baca juga:  Teguh dalam Kebenaran

Karena itu, kita berharap, tidak ada lagi pengemban dakwah yang malah tidak lagi aktif berdakwah setelah lulus kuliah, setelah menikah, setelah punya anak, ataupun setelah disibukkan oleh kerja mencari nafkah atau berbisnis. Kita pun berharap, kita yang mengklaim sebagai pengemban dakwah, dan berada di barisan dakwah paling depan, sejatinya tidak merasa telah cukup berkorban dengan hanya menghadiri halaqah, membayar infak rutin, atau berlangganan bulletin saja; sementara di luar itu kita tidak berdakwah, atau berdakwah secara minimalis. Sebab, mungkinkah dengan ‘pengorbanan’ seperti ini Khilafah Islam akan bisa ditegakkan kembali oleh para pengembannya?!

Ya Allah, tumbuhkanlah dalam diri kami, kesiapan dan kerelaan untuk selalu berkorban di jalan-Mu, serta anugerahilah kami kenikmatan di dalamnya. Amin.[] Arief B Iskandar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *