AnalisisOpini

Beneficial Owner: The Untouchable Men Pengendali Negeri

Oleh: Sari Zunairah Ashleena S.IP

MuslimahNews.com — Istilah Beneficial Ownership (BO) memang masih asing di telinga kita, walaupun sebenarnya istilah ini telah digaungkan jauh-jauh hari. Khususnya pasca kasus Panama Papers. Dalam pengungkapan kasus Panama Papers, terbukalah lebih dari 11,5 juta dokumen rahasia perusahaan dan data pemiliknya yang berada di Panama. Sebuah wilayah surga pajak, alias bebas pajak, bagi perusahaan perusahaan cangkang yang tidak tersentuh pajak.

BO merupakan kepemilikan sesungguhnya atau pengendali utama perusahaan (Beneficial Ownership) dari sebuah perusahaan. Menurut kesepakatan dari OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development), terdapat tiga jenis pemilik dan penerima manfaat (BO) sebenarnya: (1) dalam sebuah perusahaan, BO adalah pemegang saham (shareholder) atau anggota; (2) dalam sebuah kerja sama (partnerhip), BO adalah pihak partner baik yang sifatnya terbatas maupun umum; (3) dalam sebuah trust atau foundation, BO adalah pendiri.

Sebuah kegelisahan bagi pemerintah saat BO ini mencuat. Karena banyaknya potensi pendapatan dari pajak yang melayang. Pemerintah sulit melacak dana gelap keluar dari yurisdiksi Indonesia. Karena para BO bermain cantik untuk memindahkan keuntungan mereka ke wilayah tax haven. Menurut Global Financial Integrity tahun 2015, selama 2004-2013, rata rata tiap tahun, terjadi aliran dana gelap keluar Indonesia sebesar US$ 18.071 juta atau sekitar Rp 200 triliun.

Bahkan menurut laporan yang dirilis ONE tahun 2014 diperkirakan, negara berkembang kehilangan sekitar US$1 triliun per tahun atau sekitar Rp10 ribu triliun sebagai hasil tindak pidana ilegal dari deal lintas negara. Beberapa di antaranya melibatkan perusahaan dengan kepemilikan yang tidak jelas/unclear ownership (One, The Trillion Dollar Scandal, 2014).

Berangkat dari sinilah, pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 13 Tahun 2018 tentang Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Terorisme. Perpres ini dikenal dengan perpres Beneficial Ownership (BO). Di dalam Perpres dijelaskan bahwa pemilik manfaat korporasi atau BO adalah orang perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan direksi, dewan komisaris, pengurus, pembina, atau pengawas pada korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari korporasi baik langsung maupun tidak langsung. Pemilik manfaat dari korporasi yang harus dilaporkan adalah yang memiliki saham, hak suara, dan pembagian laba lebih dari 25 % di korporasi tersebut.

Prinsip mengenali penerima manfaat dari korporasi ini dilatarbelakangi oleh banyaknya korporasi yang dijadikan sarana oleh pelaku tindak pidana yang merupakan penerima manfaat (BO). Menurut Pengamat Perpajakan dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji, Perpres BO ini dibuat untuk pencegahan dan pemberantasan money laundring dan pendanaan terorisme, juga untuk mencegah upaya ‘melarikan diri’ dari beban pajak melalui aktivitas pengelakan (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance).

Selain itu, Sebagai negara anggota G-20, Indonesia telah menyepakati pentingnya transparansi BO yang akurat dan dapat diakses oleh lembaga yang berwenang. Indonesia juga harus memiliki peraturan domestik yang sesuai dengan Standar FATF (Financial Act Task Force) untuk mencegah praktik pencucian uang.

Baca juga:  Tirani Korupsi dalam Demokrasi: Anomali atau Watak Asli?

Dalam kaitannya dengan perpajakan, keterbukaan BO merupakan bagian dari kerangka prinsip anti Penggerusan Pendapatan dan Pengalihan Keuntungan atau yang dikenal dengan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS). Dorongan keterbukaan informasi ini terjadi hampir di seluruh dunia, untuk mengejar para wajib pajak yang mengalihkan kewajiban pajaknya di negara-negara suaka pajak. Seluruh negara kemudian sepakat melawan praktik penghindaran dan pengelakan pajak, yang banyak dilakukan di negara suaka pajak. Indonesia telah berkomitmen dalam pertukaran informasi otomatis (Automatic Exchange of Information) yang akan dimulai September 2018.

Dengan adanya perpress no. 13/2018 ini, sebenarnya menunjukan lemahnya perlindungan negara terhadap aset yang seharusnya dimiliki Pemerintah. Apalagi jika mengingat bahwa selama ini, korporasi telah banyak melakukan pelarian dana ke luar negeri agar tidak tercium oleh dinas perpajakan Indonesia. Lebih miris lagi, pelarian dana korporasi ini banyak terjadi di perusahaan ekstrasi migas dan minerba.

Menurut Peneliti dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Agung Budiono, pemerintah menyusun perpres no.13/2018 ini, untuk mengungkap identitas pemilikan atau pengendali korporasi, sejalan dengan upaya penegakan prinsip transparansi di sektor migas dan minerba. Hal itu tertuang dalam Standar Extractive Industries Transparency Initiative (EITI/ Inisiatif Transparansi dalam Industri Ekstraktif) tahun 2016. Banyak kasus terjadinya pengalihan keuntungan (profit shifting) yang sulit dilacak. Pengalaman PWYP Indonesia sendiri, melacak pemilik manfaat yang sebenarnya lewat dokumen yang terekam di sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM seringkali tak membuahkan hasil.

Dengan memahami BO, kita seolah dibuat mengerti alasan kasus-kasus kejahatan kerah putih, seperti korupsi, gratifikasi, money laundring, bahkan kasus-kasus penggelapan pajak sulit diungkap. Kalaupun terungkap, kasusnya tidak pernah tuntas hingga menyentuh “the Big Boss”. Hal ini disebabkan oleh tidak dikenalinya pemilik manfaat yang sebenarnya dari sebuah korporasi. Dengan kata lain, kasus-kasus tindak kejahatan korupsi, penggelapan pajak, dan yang semisalnya, hanya bisa menyentuh level bawah di perusahaan yang terkena kasus. Namun tidak pernah menyentuh BO nya. Hal ini terungkap dari pernyataan Peneliti dari Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Agung Budiono, yang menyatakan, bahwa untuk mengetahui BO, data dari AHU (Administrasi Hukum Umum) tidak cukup. “Kita cek ke AHU beli data AHU perseroan. Satu data itu (harganya) 500rb (mulai dari RUPS dan pendirian terakhir), ada nama direktur, komisaris, besaran pemilik saham. Tapi legal entity yang didapat dari AHU itu belum memadai. Kita dapatkan sampai layer 3 dan ke-4, tapi kita tidak bisa mencari kalau suatu PT berkedudukan hukum di luar Indonesia seperti negara tax haven.”

Selain aspek hukum dan perlindungan aset, untuk industri ekstraksi Migas dan Minerba, kesulitan mengenali siapa BO untuk perusahaan tersebut, telah membuat pemerintah kesulitan melindungi harta milik rakyat berupa Migas dan Minerba. Berdasarkan peta jalan pelaksanaan Perpres no. 13/2018 untuk industri Ekstraktif, tahun 2019 pelaksanaan transparansi BO sektor ekstraktif baru dijalankan. Di tahun 2020 diharapkan Indonesia dapat membuka data tentang nama, kewarganegaraan, dan domisili pemilik manfaat atau BO dari korporasi industri ekstraktif di Laporan EITI (Extractive Industries Transparency Initiative).

Sebagai contoh kasus kejahatan BO di industri ekstraktif seperti minyak dan gas bumi serta pertambangan adalah sebagai berikut. Dari sekitar Rp1.387 triliun uang yang beredar di sektor ini, terdapat ribuan pengusaha yang menikmati penghasilan dari industri ini. Kendati demikian, keuntungan yang didapat oleh perusahaan dan pengusaha tersebut belum seimbang dengan pajak yang dibayarkan ke negara.

Berdasarkan data DJP tahun 2014, hanya sekitar Rp96,9 triliun yang dapat ditarik pajaknya. Artinya, rasio antara pajak dan PDB di sektor ini hanya sebesar 9,4 persen. Hal ini terjadi diantaranya karena otoritas pajak pemerintah tidak memiliki informasi yang akurat mengenai BO dari perusahaan yang beroperasi di sektor ini. Bahkan dari hasil Koordinasi dan Supervisi KPK di sektor pertambangan mineral dan batubara, ada sekitar 1.800-an NPWP pemilik Izin Usaha Pertambangan tidak dapat teridentifikasi.

Baca juga:  Editorial: Ke Mana Arah Perubahan?

Hal ini jadi bisa menjawab pertanyaan, kenapa Migas dan Minerba di Indonesia kebanyakan adalah untuk ekspor, bukan untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Juga termasuk pertanyaan kenapa harga jual ekspor Gas LNG BP Tangguh, ke Cina pernah jauh lebih murah, yaitu sekitar US $ 2/mmbtu, dibanding harga jual ke masyarakat, yaitu sekitar US$ 13,9/mmbtu. Juga pertanyaan-pertanyaan aneh lainnya, tentang kebijakan Migas dan Minerba yang tidak berpihak pada masyarakat. Seperti mahal dan langkanya gas LPG misalnya, padahal jumlah kekayaan gas untuk LPG di Indonesia sangat besar.

Bisa jadi inilah yang disebut sebagai “untouchable men”. Orang-orang yang tak tersentuh hukum, tapi memiliki kuasa penuh untuk mengendalikan harga migas dan minerba. Bahkan the untouchable men inilah, pengendali kebijakan-kebijakan industri Ekstraksi.

Pertanyaanya adalah, di mana pemerintah selama ini? Praktek pelarian dana, penggelapan pajak, bahkan kebijakan tidak populis terkait kebutuhan rakyat akan migas dan minerba sudah lama terjadi. Kartel-kartel dalam migas dan minerba sudah lama terjadi. Kenapa tidak ada perlindungan untuk aset negara tersebut?

Inilah Kapitalis. Terdapat “Untouchable Men” yang mengendalikan kebijakan negara. Orang-orang yang menjadi BO yang selama ini tidak terdeteksi datanya, namun sangat kuat pengaruhnya terhadap kebijakan negara.

Fenomena the Untouchable Men ini, telah merugikan negara dalam banyak aspek. Praktek kartel, gratifikasi, bahkan pelarian pajak dan money laundering sudah sering terjadi di negeri ini. Lagi-lagi hukum tumpul pada pemilik modal. Para BO adalah orang-orang yang memiliki modal besar di perusahaan. Mereka dengan mudah melarikan uang mereka ke luar negeri, sehingga bisa menghindari pajak. Walhasil, realisasi pendapatan negara dari pajak tidak pernah optimal.

Negeri Indonesi yang kaya akan sumberdaya alam, telah mengalami kerugian berlipat-lipat akibat para BO yang untouchable. Pertama, aset kekayaan milik rakyat bisa dikuasai oleh swasta melalui mekanisme kepemilikan saham. Para pemilik modal (kapitalis) bisa menjadi pemegang saham mayoritas untuk industri ekstraktif yang seharusnya menjadi milik rakyat dan dipergunakan sebanyak banyaknya untuk rakyat. Walhasil, negara ini kehilangan pendapatan dari industri ekstraktif.

Baca juga:  Memberantas Korupsi dengan Duta Antikorupsi, Akankah Teratasi?

Kedua, negara ini juga kehilangan pendapatan dari pajak yang seharusnya dibayarkan oleh para pemilik industri ekstraktif, saat industri ini sahamnya dimiliki oleh swasta. Namun, swasta pemilik saham, ataupun para BO di Industri ekstraktif khususnya dengan mudah menghindari pajak. Data mereka tidak terdeteksi. Kekayaan mereka pun tidak terdeteksi. Dan harta milik rakyat bisa dengan mudah dilarikan ke luar negeri akibat ketidakjelasan data ini.

Ketiga, para BO yang untouchable ini bisa dengan mudah memengaruhi kebijakan negara. Kemudahan menguasai industri ekstraktif yang dilegalisasi Undang-undang. Kemudahan bisnis dan bahkan hingga penentuan harga hasil industri ekstraktif dipegang oleh para BO. Karena mereka bisa jadi pemilik saham terbesar, memiliki wewenang untuk mengendalikan perusahaan. Dan jika para BO ini menjadi donatur kampanye partai dan calon penguasa, maka lengkaplah sudah kuasa para BO. Politik transaksional seperti yang sekarang terjadi terus berlanjut. Dan para BO ini, pada akhirnya menjadi penguasa sesungguhnya negeri ini.

Negara unindependent. Negara tergadai pada para pemilik modal. Dan jika para pemilik modal ini adalah para BO di perusahaan BUMN dan industri ekstraktif, maka mereka pun jadi penentu kebijakan negeri ini. The untouchable men penguasa negeri sesungguhnya.

Sungguh mengerikan, keberadaan negara dengan sistem kapitalis. Pemerintah tidak bisa mengendalikan negara. Bahkan dikendalikan oleh the untouchable men. Hanya dengan aturan Islam, untouchable men ini tidak akan pernah ada. Karena dalam Islam, industri ekstraktif yaitu untuk migas dan minerba, dikelola negara secara murni dan untuk rakyat. Karena barang tambang adalah kepemilikan umum. Para pemilik modal tidak bisa menguasai industri milik umum. Sehingga tidak akan mampu mempengaruhi kebijakan negara.

Dalam Islam, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Para pemilik modal dan perusahaan, wajib mengikuti aturan negara. Untuk industri milik umum, seperti barang tambang, migas dan minerba, para pengusaha tidak bisa menguasainya. Sehingga tidak akan bisa menentukan harga barang-barang hasil industri milik umum. Termasuk tidak bisa menentukan kebijakan ekspor barang-barang tersebut. Jika terjadi penyimpangan, maka para penguasaha, pemilik modal pun akan dikenai sanksi hukum.

Para pemilik modal pun tidak bisa melarikan diri dan menghindari pajak. Karena, negara yang berdasarkan Islam tidak mematok pajak yang bersifat permanen. Pajak dalam Islam hanya bersifat temporer, sewaktu waktu, saat kas negara kosong. Dan harta pajak hanya diperuntukan untuk kewajiban negara saat kas kosong. Artinya, jika sudah tercukupi, atau kas negara sudah ada kembali, maka pajak pun dihapuskan. Hal ini akan memicu iklim bisnis yang progresif. Pemilik modal tidak perlu takut bisnisnya dimakan pajak, sehingga bisa memberikan kontribusi real bagi pertumbuhan ekonomi yang sehat.

Sistem bisnis dalam Islam dilakukan dengan akad bisnis yang syar’iy, sehingga bisa mencegah terjadinya rahasia data. Tidak akan ada istilah BO. Semua bisnis dan korporasi akan terbuka datanya, karena sesuai dengan akad yang jelas. Hal ini akan mencegah terjadinya penggelapan data, dan bahkan larinya asset ekonomi ke luar negeri tanpa sepengetahuan negara.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *