Analisis

Kembali, Rupiah Terseok-seok di Hadapan Dolar!

Oleh: Hj. Nida Sa’adah SE.,Ak., M.E.I. (Dosen dan Peneliti Ekonomi Syariah)

Muslimahnews.com – Bank Indonesia mengaku sudah melakukan intervensi dalam jumlah besar hingga Senin (23/4), guna menstabilkan nilai tukar rupiah. Kendati demikian, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin masih melemah hingga terperosok ke level Rp13.975 per dolar AS. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo menjelaskan bahwa pihaknya sudah melakukan intervensi di pasar valuta asing (valas) maupun Surat Berharga Negara (SBN) dalam jumlah besar guna menstabilkan nilai tukar rupiah kemarin.

Ia menjelaskan bahwa pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi sejak Jumat (20/4) terjadi akibat menguatnya dolar AS secara tajam. Tak hanya rupiah, pelemahan nilai tukar mata uang dialami hampir semua negara.

Kondisi tersebut pun berlanjut hingga Senin (23/4), yang dipicu oleh meningkatnya imbal hasil (yield) surat utang AS (AS treasury bill) dan kembali munculnya ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) lebih dari tiga kali tahun ini. (CNN Indonesia)

Merespons situasi ini, Direktur Utama PLN Sofyan Basir menyampaikan nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS sangat berpengaruh bagi Keuangan PLN.

Nilai tukar ini begitu berpengaruh lantaran material yang digunakan untuk memproduksi listrik dibeli menggunakan dolar AS.
Jika sistem moneter yang dipakai di Indonesia tergantung kepada dollar AS, dan selalu menimbulkan gejolak ekonomi yang menyengsarakan masyarakat, Lalu, adakah sistem moneter (sistem mata uang) yang stabil dan berkeadilan?

Tulisan ini memaparkan apa yang dimaksud mata uang berbasis emas dan perak, apa keunggulan dinar dan dirham, dan bagaimana dinar dan dirham bisa menjadi solusi krisis moneter dan ekonomi di era kini.       

A. Mata Uang Berbasis Emas dan Perak

Islam memandang bahwa mata uang dalam Islam adalah Dinar (Emas) dan Dirham (Perak). Menurut an-Nabhani (1990) ada keharusan untuk menjadikan emas dan perak sebagai standar mata uang dalam sistem ekonomi Islam. Beberapa argumentasi yang mendasari keharusan tersebut adalah:

  1. Ketika Islam melarang praktik penimbunan harta (kanzul mal), Islam hanya mengkhususkan larangan penimbunan harta untuk emas dan perak. Larangan ini merujuk pada fungsi emas dan perak sebagai uang atau alat tukar (medium of exchange).

“Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak menafkahkannya di jalan Allah (untuk jihad), maka beritahukan kepada mereka (bahwa mereka akan mendapatkan) azab yang pedih” (TQS at-Taubah [9]: 34).

  1. Islam mengaitkan emas dan perak dengan hukum-hukum Islam lainnya, seperti diyat dan pencurian. Islam menentukan diyat dengan ukuran tertentu dalam bentuk emas. Islam juga mengenakan sanksi potong tangan terhadap praktik pencurian dengan ukuran melebihi emas sebesar ¼ dinar.

“Bahwa di dalam (pembunuhan) jiwa itu terdapat diyat berupa 100 unta dan terhadap pemilik emas (ada kewajiban) sebanyak 1.000 dinar” (HR an-Nasa’i dan Amru bin Hazam).“Tangan itu wajib dipotong, (apabila mencuri) 1/4 dinar atau lebih.” (HR Imam Bukhari, dari Aisyah r.a.).

  1. Zakat uang yang ditentukan Allah Swt berkaitan dengan emas dan perak. Begitu pula Islam telah menentukan nisab zakat tersebut dengan emas dan perak. Nishab zakat emas adalah 20 mitsqal atau 20 dinar. Hal ini setara dengan 80 gram emas.
  2. Rasulullah saw telah menetapkan emas dan perak sebagai uang sekaligus sebagai standar uang. Setiap standar barang dan tenaga yang ditransaksikan akan senantiasa dikembalikan kepada standar tersebut.
  3. Hukum-hukum tentang pertukaran mata uang (money changer) dalam Islam yang terjadi dalam transaksi uang selalu hanya merujuk pada emas dan perak, bukan dengan yang lain. Hal ini adalah bukti yang tegas bahwa uang tersebut harus berupa emas dan perak, bukan yang lain. Nabi saw. bersabda,”Emas dengan mata uang (bisa terjadi) riba, kecuali secara tunai” (HR Imam Bukhari).
Baca juga:  Suramnya 2019 Ibarat Musim Gugurnya Bisnis Ritel

 

 

B. Keunggulan Dinar dan Dirham

Mata uang Dinar dan dirham memiliki legitimasi yang sangat kuat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak bernilai tinggi dan diterima luas oleh masyarakat dunia. Mata uang yang didasarkan pada emas dan perak memiliki keunggulan moneter sebagai berikut:

Pertama, inflasi rendah dan terkendali. Dengan menerapkan mata uang emas, pemerintah suatu negara tidak dapat menambah pasokan uang dengan bebas. Akibatnya supply mata uang akan terkendali. Uang hanya bertambah seiring dengan bertambahnya cadangan emas negara. Dengan demikian inflasi yang diakibatkan oleh pertumbuhan uang sebagaimana pada sistem mata uang kertas (fiat money) tidak terjadi. Memang tak dapat dipungkiri bahwa inflasi bisa saja terjadi ketika ditemukan cadangan emas dalam jumlah besar. Namun keadaan tersebut merupakan sesuatu yang jarang terjadi dan orang yang memiliki emas tidak langsung melempar emasnya ke pasar.

Keampuhan mata uang mengendalikan inflasi telah dibuktikan oleh Jastram (1980) seorang profesor dari University of California. Ia menyimpulkan bahwa tingkat inflasi pada standar emas (gold standard) paling rendah dari seluruh rezim moneter yang pernah diterapkan termasuk pada rezim mata uang kertas (fiat standard). Sebagai contoh dari tahun 1560 hingga 1914 indeks harga (price index) Inggris tetap konstan dimana inflasi dan deflasi nyaris tidak ada. Demikian pula tingkat harga di AS pada tahun 1930 sama dengan tingkat harga pada tahun 1800.

Kedua, di dalam standar emas, nilai tukar antar negara relatif stabil sebab mata uang masing-masing negara tersebut disandarkan pada emas yang nilainya stabil. Pertukaran antara mata uang yang dijamin oleh emas dengan mata uang kertas negara lain yang tidak dijamin emas juga tidak menjadi masalah. Hal ini karena nilai mata uang yang dijamin emas tersebut ditentukan oleh seberapa besar mata uang kertas tadi menghargai emas. Nilai emas memang bisa naik atau turun berdasarkan permintaan dan penawaran, namun ketika emas dijadikan uang maka masing-masing negara akan menjaga cadangan emas mereka. Dengan demikian supply mata uang akan relatif stabil sehingga nilainya pun stabil.

Ketika dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang, tidak pernah terjadi sama sekali masalah-masalah moneter seperti inflasi, fluktuasi nilai tukar, dan anjloknya daya beli.

Masalah-masalah moneter tersebut terjadi setelah dunia melepaskan diri dari standar emas dan perak serta berpindah ke sistem uang kertas (fiat money).

Abdul Qadim Zallum menerangkan setidaknya terdapat 6 (enam) keunggulan mata uang emas dan perak:

Pertama, emas dan perak adalah komoditi, sebagaimana komoditi lainnya, semisal unta, kambing, besi, atau tembaga. Komoditi ini dapat diperjualbelikan apabila ia tidak digunakan sebagai uang.

Kedua, sistem emas dan perak akan menimbulkan kestabilan moneter. Tidak seperti sistem uang kertas yang cenderung membawa instabilitas dunia dikarenakan penambahan uang kertas yang beredar secara tiba-tiba.

Ketiga, sistem emas dan perak akan menciptakan keseimbangan neraca pembayaran antar-negara secara otomatis, untuk mengoreksi selisih dalam pembayaran tanpa intervensi bank sentral.

Sementara dalam sistem uang kertas, jika terjadi selisih semacam ini, maka negara akan mencetak lebih banyak uang sebab tak ada batasan untuk mencetaknya. Tindakan ini justru akan meningkatkan inflasi dan menurunkan daya beli uang di negara tersebut.

Baca juga:  Membangun Infrastruktur Tanpa Utang, Pilih KPBU ataukah Baitul Mal?

Keempat, sistem emas dan perak mempunyai keunggulan yang sangat prima, yaitu berapapun kuantitasnya dalam satu negara, entah banyak atau sedikit, akan dapat mencukupi kebutuhan pasar dalam pertukaran mata uang. Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk sistem uang kertas. Jika negara mencetak semakin banyak uang kertas, daya beli uang itu akan turun dan terjadilah inflasi.

Kelima, sistem emas dan perak akan mempunyai kurs yang stabil antar negara. Ini karena mata uang masing-masing negara akan mengambil posisi tertentu terhadap emas atau perak. Dengan demikian, di seluruh dunia hakikatnya hanya terdapat satu mata uang yaitu emas atau perak, meski mata uang yang beredar akan bermacam-macam di berbagai negara.

Keenam, sistem emas dan perak akan memelihara kekayaan emas dan perak yang dimiliki oleh setiap negara. Jadi emas dan perak tidak akan lari dari satu negeri ke negeri lain.

Keandalan emas di kancah sejarah memang tak terbantahkan. Walau peradaban hari ini telah menghentikan fungsinya sebagai uang, tetap saja emas diterima sebagai alat pembayaran perdagangan internasional, karena nilainya. Logam mulia memiliki nilai jual, yang tidak dimiliki uang kertas. Berbeda dengan fiat money, emas sulit mengalami inflasi. Pemerintah tak mungkin secara tidak terbatas (unlimited) mencetak uang emas atau uang kertas yang diback-up emas. Karena pencetakan itu sangat tergantung pada tersedianya logam emas itu sendiri yang sifatnya langka (scarce) dan terbatas (limited). Begitu juga, emas tidak bisa didevaluasi (diturunkan nilainya) melalui sebuah dekrit oleh pemerintahan tertentu, karena emas akan mengikuti harga pasar yang berlaku. Dengan kata lain, emas adalah aset yang benar-benar mandiri yang nilainya tidak tergantung pada keputusan politis pemerintahan mana pun. Stabilitas emas, diyakini sebagai faktor kuat yang bisa menjaga perekonomian berada dalam jalurnya.

Emas semestinya dikembalikan ke posisi terhormat sebagai mata uang dunia. Emas semestinya menjadi alat pembayaran universal (universal money) karena ia bisa digunakan dimanapun, dan diterima sebagai alat pembayaran. Bagi pihak yang meragukan keandalan emas sebagai media alat tukar (exchange currency) dengan alasan emas juga bisa menjadi obyek manipulasi, hal ini bisa ditampik dengan argumen bahwa tidak mudah memanipulasi emas seperti halnya komoditi yang lain. Tidak ada seorang pun yang mau menjual emas dibawah harga pasar emas. Terlebih lagi, tidak ada celah sedikitpun untuk menimbun emas dalam wilayah Daulah Khilafah. Islam memberi sanksi yang keras bagi pihak yang berani melakukannya.

 

C. Dinar dan Dirham: Lanskap Moneter Masa Depan

Pemakaian emas sebagai mata uang adalah hal yang realistis, karena emas tersedia secara cukup untuk seluruh umat manusia. Laju pertumbuhan emas berkisar 1.5% – 4.0% pertahun, sementara pertambahan jumlah penduduk dunia hanya sekitar 1.2% pertahun (www.jurnal ekonomi.org). Emas menjadi tidak cukup digunakan sebagai uang apabila ada yang menimbunnya – inilah mengapa Allah SWT sangat mengancam orang-orang yang menimbun emas (QS 9: 34-35).

Dalam analisis Abdul Qadim Zallum, emas yang ada di negeri-negeri Islam, yang tersimpan di berbagai bank dan berbagai tempat penyimpanan, sangat mencukupi jika Negara Khilafah memberlakukan kembali mata uang emas. Apalagi jumlah perak yang ada di negeri-negeri Islam juga sangat besar, sehingga memudahkan Negara Khilafah kembali kepada mata uang emas dan perak.

Baca juga:  Melawan Pemiskinan Sistematis

Selain itu, negeri-negeri Islam memiliki banyak sumber alam (termasuk barang-barang tambang) yang diperlukan oleh umat dan Negara Khilafah. Hal ini menjadikan umat atau Negara Khilafah mampu memenuhi sendiri dari barang-barang yang ada di dalam negeri tanpa mengimpornya dari luar negeri. Ini dapat menjaga keluarnya emas ke luar negeri dan tetap berada di dalam negeri.

Negara Khilafah memiliki kekayaan barang-barang lain dari dalam negerinya yang dibutuhkan oleh seluruh umat manusia, sehingga dapat menjualnya dengan pembayaran berupa emas. Ini akan memelihara emas supaya tidak ke luar negeri tanpa ada pertukaran yang mengharuskannya mengalir ke luar negeri. Dan makin menambah cadangan emas di dalam negeri. Dengan demikian Negara Khilafah menjadi negara yang sangat berpengaruh. Dan mampu menguasai keadaan tanpa tekanan satu negara pun terhadap mata uangnya.

Adapun aktivitas penggantian mata uang lama yang dicetak atau dibuat di negeri-negeri kaum Muslim, ke mata uang emas dan perak, dapat dilakukan dengan langkah-langkah berikut:

  1. Pada masa awal, Daulah Khilafah melakukan pembatasan jumlah uang lokal yang ada dan dicatat di dalam pembukuan khusus. Hal ini agar tidak terjadi lagi pemalsuan-pemalsuan mata uang yang baru.
  2. Petugas-petugas Khilafah melakukan penghitungan nilai berbagai mata uang dengan emas dan perak sesuai harga emas dan perak di pasar internasional. Juga sesuai dengan nilai-nilai mata uang lokal yang dicetak sebelum berdirinya Daulah Khilafah.
  3. Daulah Khilafah mengumpulkan emas dan perak yang ada di dalam Daulah dan mencatatnya di dalam catatan resmi. Daulah juga mendata dan menghitung berbagai komoditas di dalam negeri yang mungkin dipertukarkan dengan mata uang lokal, mata uang internasional, batangan, atau lempengan emas dan perak.
  4. Daulah Khilafah wajib memperhatikan berbagai kebutuhan pokok masyarakat terhadap barang dan jasa sebelum memperhatikan aktifitas pertukaran mata uang lama dengan emas dan perak atau sesuatu yang berharga.
  5. Daulah Khilafah mengganti sebagian dari simpanan masyarakat dengan kadar yang menjamin pelaksanaan berbagai urusan keseharian mereka dan memenuhi berbagai kebutuhan pokok mereka. Sedangkan nilai sisa surat berharga itu tetap dijaga di dalam catatan Daulah sampai Daulah benar-benar stabil.
  6. Daulah Khilafah mengangkat para ahli ekonomi yang bertugas melakukan pengkajian secara mendalam untuk menentukan jumlah mata uang lama yang bisa diganti oleh Daulah. Misalnya pada bulan pertama, Daulah mampu mengganti 10% dari harga mata uang tersebut, dan pada bulan kedua sebesar 10% dst.
  7. Berkaitan dengan uang kertas asing seperti Dolar Amerika, Yen Jepang, dll, semuanya diperlakukan seperti mata uang kertas (fiat money) dalam negeri dari masa sebelumnya. Dalam aktifitas pertukaran barang dan jasa ditetapkan batasan sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakat terhadap berbagai kebutuhan pokok dan kebutuhan Daulah untuk tetap berjalan.
  8. Daulah Khilafah melakukan pengumpulan emas dan perak secara detil yaitu untuk mengumpulkan emas dan perak yang ada serta yang mungkin diperoleh dalam waktu singkat. Hal itu sebagai pendahuluan bagi aktifitas pencetakan dan pembentukan mata uang syar’i.
  9. Daulah Khilafah dengan segala upaya berusaha memperoleh emas dan perak. Hal itu sebagai pendahuluan bagi aktifitas pewajiban sistem mata uang syar’i semaksimal mungkin.

Dan untuk melakukan semua proses tersebut dalam pemberlakuan kembali sistem moneter dinar-dirham berbasis emas-perak, tentu menjadi syarat mutlak dibutuhkan keberadaan Negara Khilafah di era kini. []

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *