Nafsiyah

Islam Bukan Sebatas Rukun Islam dan Rukun Iman

Oleh: Rokhmat S. Labib

Ada yang menarik dalam sidang gugatan HTI terhadap Kemenkumhan di PTUN pada hari Kamis 22/2 lalu. Dalam sidang yang menghadirkan Prof. Dr. KH Didin Hafidzuddin sebagai Ahli itu, pihak pemerintah mengajukan banyak pertanyaan.

Di antaranya adalah pertanyaan tentang khilafah. “Apakah khilafah termasuk dalam rukun Iman atau rukun Islam?” Dijawab oleh Prof Didin, “Tidak.” Kemudian bertanya lagi, “Jika demikian, mengapa khilafah disebut sebagai ajaran Islam?” Prof kembali menjawab, “Kan banyak kewajiban dalam Islam yang tidak termasuk dalam rukun Islam. Misalnya, kewajiban menutup aurat.” Alhamdulilah, Prof Didin mampu menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang ringkas, singkat, dan tepat.

Yang justru mengherankan adalah mengapa pertanyaan seperti itu bisa muncul.

Menjadi lebih aneh ketika pertanyaan itu merupakan respon terhadap penjelasan Prof Didin sebelumnya tentang kriteria sebuah kelompok dapat dikatagorikan menyimpang. Di antara cirinya adalah orang atau kelompok yang menambahkan rukun Iman dan rukun Islam. Sementara HTI tidak ciri-ciri tersebut.

Lantas pihak pemerintah menanyakan pun perihal tersebut. Ketika HTI mengatakan bahwa khilafah adalah ajaran Islam, padahal tidak termasuk dalam rukun Islam dan rukun Iman, bukankah itu berarti menambah rukun Iman atau rukun Islam?

Baca juga: Khilafah Ajaran Islam: Istilah Khilafah, Makna Khilafah dan Khalifah-1

Dengan pertanyaan itu seolah mereka ingin mengatakan bahwa HTI pun bisa dikatagorikan sebagai kelompok menyimpang karena menambahkan rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima dengan ajaran khilafah.

Sebegitu awamkah mereka terhadap Islam, sehingga memahami bahwa ajaran Islam hanya sebatas rukun Islam dan rukun Iman?

Baca juga:  Mengembalikan Khilafah ke Pangkuan Umat Islam

Patut dicatat bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Semua perkara dijelaskan kedudukan hukumnya. Sehingga untuk mengatur kehidupan ini tak memerlukan sistem lainnya. Allah Swt berfirman:

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلًا

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (al-Quran) kepadamu dengan terperinci?  (QS al-An’am [6]: 114).

Menjelaskan ayat ini, Syihabuddin al-Alusi berkata, “Di dalamnya terdapat penjelasan tentang yang haq dan yang batil, yang halal dan yang haram, serta berbagai hukum lainnya sehingga tidak ada satu pun perkara agama yang rancu dan samar. Maka kebutuhan apa pun sesudah itu merujuk kepada hukum tersebut.”

Dalam akhlak, Islam memerintahkan amanah, memenuhi janji, bersikap adil, berbakti kepada orang tua, menolong orang yang membutuhkan, dan lain-lain , sebaliknya melarang berkata dusta, berbuat khianat, ingkar janji, berbuat dzalim, dan lain-lain.

Sementara dalam soal makanan dan minuman, Islam memerintahkan umatnya untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang dihalakan sekaligus menjauhi yang diharamkan, seperti bangkai, darah, babi, khamr, binatang buas yang bertaring, dan lain-lain.

Sedangkan dalam pakaian, Islam juga telah menetapkan batas aurat bagi pria dan wanita untuk ditutup. Juga memberikan beberapa ketentuan khusus tentang pakaian, seperti diharamkannya laki-laki mengenakan emas dan sutra, serta wajibnya wanita mengenakan jilbab dan kerudung.

Dalam soal pergaulan pria wanita, Islam mensyariatkan pernikahan dan memberikan pengaturan kehidupan keluarga, sekaligus mengharamkan zina, bergaul bebas, hubungan sejenis, dan semacamnya.

Baca juga:  Penolakan terhadap Demokrasi Menggema di Liqo' Muharram Mubalighoh 1442 H

Dalam pengaturan harta, Islam membolehkan jual-beli, sewa-menyewa, syirkah, bertani,berburu, dan lain-lain. Sebaliknya Islam mengharamkan riba, judi, korupsi, menipu, dan lain-lain dalam mendapatkan harta.

Islam juga memerintahkan dakwah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, menerapkan syariah dalam kehidupan, dan berjihad, sekaligus memberikan ancaman keras bagi siapa pun yang meninggalkannya.

Dalam memberantas kriminalitas, Islam juga menetapkan hukuman yang wajib diterapkan bagi pelaku kriminal. Sebagai contoh, Islam menetapkan hukuman cambuk 100 kali atau rajam bai pelaku zina, potong tangan bagi pencuri, qishash bagi pelaku pembunuhan  dilakukan dengan sengaja, dan lain-lain.

Semua perkara itu adalah ajaran Islam. Sebagian dijelaskan dalam al-Quran, sebagian lainnya di dalam al-Sunnah. Ada pula diambil dari Ijma’ Sahabat dan Qiyas Syar’i. Penjelasan tentang berbagai perkara itu dapat dijumpai dalam kitab-kitab fiqh dan berbagai kitab lainnya.

Begitulah Islam. Tidak hanya sebatas rukun Iman dan rukun Islam.

Maka sungguh aneh jika ada orang Muslim yang menolak khilafah sebagai ajaran Islam hanya karena tidak termasuk dalam rukun Islam dan rukun Iman.

Jika demikian, betapa banyak ajaran Islam yang harus ditolak dan dibuang, bahkan dianggap menyimpang hanya karena tidak ada dalam rukun Islam dan rukun Iman.

Tentang khilafah, amat banyak dalil yang mewajibkannya sehingga tidak ada perbedaan di antara para ulama tentangnya. Para ulama sepakat bahwa khilafah adalah wajib. Kewajiban tersebut berdasarkan syara’, dan bukan berdasarkan akal.

Baca juga:  Ghouta Berduka, Dunia Pura-pura Buta

Baca juga: Khilafah Ajaran Islam: Hukum Adanya Khilafah dan Menegakkannya-2

Saya tidak perlu mengulang-ulang penjelasan tersebut. Cukup saya kutipkan penjelasan Imam al-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim tentang hal ini. Beliau berkata:

وَأَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجِب عَلَى الْمُسْلِمِينَ نَصْب خَلِيفَة وَوُجُوبه بِالشَّرْعِ لَا بِالْعَقْلِ ، وَأَمَّا مَا حُكِيَ عَنْ الْأَصَمّ أَنَّهُ قَالَ : لَا يَجِب ، وَعَنْ غَيْره أَنَّهُ يَجِب بِالْعَقْلِ لَا بِالشَّرْعِ فَبَاطِلَانِ

Dan mereka (kaum Muslimin) sepakat bahwa wajib atas kaum Muslimin untuk mengangkat seorang khalifah. Kewajiban tersebut berdasarkan syara’, dan bukan berdasarkan akal. Adapun apa yang diriwayatkan dari al-Ashamm yang berkata, “Tidak wajib,”  dan dari lainnya yang mengatakan bahwa itu adalah kewajiban berdasarkan akal, maka kedua pendapat tersebut adalah batil (al-Imam al-Nawawi, Syar-h Muslim ‘alâ al-Nawâwi. Vol. 6/291).

Inilah penjelasan ulama mu’tabar tentang khilafah. Penjelasan serupa juga dinyatakan oleh para ulama mu’tabar lainnya, seperti Imam al-Qurthubi, Imam ‘Ala’uddin al-Kasani, Imam Ibnu Hajar al-Haitami, Imam al-Jazairi, Imam al-Mawardi, Imam Ibnu Hazm, dan lain-lain.

Walhasil, tidak ada seorang pun ulama mu’tabar yang menolak wajibnya khilafah, apalagi menentangnya.

Jika demikian, siapakah sesungguhnya yang bermasalah:

Apakah kelompok yang menerima dan mendakwahkan ajaran Islam secara utuh atau pihak yang membatasi Islam hanya sekadar rukun Islam dan rukun Iman serta menghalangi ajaran Islam lainnnya didakwahkan?

Semoga kita diberikan petunjuk Allah Swt untuk bisa menjawabnya dengan benar.

WaL-lah a’lam bi al-shawab.[] (mediaumat.news, 23/2/2018)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *