Tsaqafah

12 Rabiul Awal: Kegembiraan, Kesedihan, dan Untaian Harapan

“Karena itu hendaknya kalian berpegang teguh dengan Sunahku dan Sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah dengan sunah itu dan gigitlah sunah-sunah itu dengan gigi-gigi geraham kalian (peganglah dan amalkan dengan kuat).” (HR Ahmad, Abu Dawud Ibnu Majah dan at-Tirmidzi).


MuslimahNews.com, TSAQAFAH — Tanggal 12 Rabiul Awal telah Allah Swt. tetapkan untuk umat manusia, khususnya untuk umat Islam, sebagai hari yang menghimpun kegembiraan, kedukaan, kemuliaan, dan untaian harapan sekaligus.

Tanggal 12 Rabiul Awal menghimpun kegembiraan dengan kelahiran Nabi Muhammad saw. Beliau dilahirkan hari Senin pagi 12 Rabiul Awal pada tahun Gajah di Makkah (Ibnu Hisyam, as-Sîrah, 1/142; Ibnu Katsir, al-Bidâyah wa an-Nihâyah, 2/264; Ibnul Qayyim, Zâd al-Ma’âd, 1/28).

Kelahiran Nabi saw. memiliki makna yang sangat agung. Menurut Al-‘Allamah Sayyid Muhammad ‘Alwi al-Maliki,

“Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada hijrah. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada Perang Badar. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan ada Penaklukan Kota Makkah. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada umat Islam. Andai tak ada kelahiran Nabi, tentu tak akan pernah ada dunia ini.”

Nabi saw. membawa petunjuk dari Allah SWT kepada manusia. Beliau sekaligus memberikan contoh dan teladan bagaimana menjalani dan menerapkan petunjuk tersebut. Beliau diutus dengan membawa risalah Islam yang menjadi rahmat untuk semua manusia.

Beliau mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya, membebaskan manusia dari berbagai bentuk kezaliman menuju keadilan, juga memerdekakan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla.

Tanggal 12 Rabiul Awal menghimpun kemuliaan karena tanggal itu menjadi titik tolak risalah yang Nabi saw. bawa terealisasi dalam kehidupan nyata. Tanggal itu menjadi titik tolak penerapan hukum dan syariah yang beliau bawa.

Nabi saw memasuki Madinah pada hari Jumat tanggal 12 Rabiul Awal tahun 1 H (Lihat: Shafiyurrahman Mubarakfuri, Sirah Nabawiyah (terj.), hlm. 232-233). Kedatangan Nabi saw. di Madinah menandai pendirian Daulah Islamiyah secara sempurna dan awal penerapan syariah Islam mengatur kehidupan.

Sebelum Nabi saw. hijrah, terjadi Baiat Aqabah II di Makkah. Nabi saw. dibaiat oleh 73 orang laki-laki dan 2 orang perempuan perwakilan Suku Auz dan Khazraj dari Yatsrib (Madinah).

Baca juga:  Dimensi Sains Isra Mi'raj

Baiat ‘Aqabah II ini merupakan akad penyerahan kekuasaan kepada Nabi saw. sekaligus penobatan beliau sebagai kepala negara. Baiat ‘Aqabah II itu sekaligus merupakan pendirian Daulah Islamiyah (Lihat: Al-Marakbi, Al-Khilâfah al-Islâmiyah bayna Nuzhûm al-Hukm al-Mu’âshirah, hlm. 16).

Dengan Baiat ‘Aqabah II itu secara hukum (de jure) Nabi saw. menjadi kepala negara di Madinah. Secara fakta (de facto) kepemimpinan Nabi saw. itu baru efektif setelah beliau tiba di Madinah pada 12 Rabiul Awal 1 H.

Tanggal itu merupakan penyempurnaan pendirian Daulah Islamiyah yang beliau pimpin. Saat itu Rasul saw. langsung bertindak sebagai kepala negara dan menerapkan syariah Islam.

Sejak itu, selain berposisi sebagai nabi dan rasul dengan tugas tablîgh/menyampaikan wahyu (lihat QS al-Maidah [5]: 67), beliau juga menjadi penguasa (al-hâkim) yang diangkat oleh masyarakat Madinah melalui Baiat ‘Aqabah II. Dalam hal ini, Allah SWT memerintahkan Nabi saw. untuk menghukumi  dan menerapkan syariah-Nya di tengah-tengah masyarakat (lihat: QS al-Maidah [5]: 48).

Di sisi lain, masyarakat (kaum Muslim) diperintahkan untuk menjadikan Nabi saw. sebagai hakim dalam semua perkara yang terjadi (QS an-Nisa’ [4]: 65). Nabi saw. pun menjelaskan dan mencontohkan bagaimana penerapan syariah dalam Daulah Islamiyah yang beliau pimpin. Beliau memutuskan perkara di tengah masyarakat, menerapkan hukum-hukum Islam atas mereka serta memimpin segala urusan negara dan masyarakat.

Hal itu terus berlangsung selama 10 tahun hingga Allah SWT mewafatkan Nabi saw. pada hari Senin pagi 12 Rabiul Awal tahun 11 H (Ibnu Katsir, As-Sîrah an-Nabawiyyah, IV/507). Ibnu Katsir berkata, “Inilah tanggal yang dipastikan oleh Al-Waqidi dan Muhammad bin Saad.”

Dengan demikian tanggal itu pun menghimpun kesedihan atas kepergian sosok Nabi saw.

Pasca Nabi saw. Wafat

Sepeninggal Nabi saw., lantas bagaimana kaum Muslim menjalani hidup dan mengatur kehidupan? Seolah memberikan jawaban atas hal itu, sekitar tiga bulan sebelum wafat, tepatnya pada saat Haji Wada’, Rasul saw. berpesan dalam khutbah beliau kala itu,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ تَرَكْتُ فِيكُمْ مَا إِنِ اعْتَصَمْتُمْ بِهِ فَلَنْ تَضِلُّوا أَبَدًا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Baca juga:  Mencintai Nabi Saw.

“Wahai manusia, sungguh telah aku tinggalkan di tengah kalian perkara yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan tersesat selamanya: Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya saw.. (HR Malik, al-Hakim, al-Baihaqi, al-Marwaziy dan al-Ajuri).

Seiring kepergian Nabi saw., siapa yang akan memimpin kaum Muslim untuk berpegang dan menerapkan Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya? Siapa yang akan mengurusi dan memelihara urusan masyarakat? Siapa yang akan menerapkan syariah Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi saw.?

Seolah mempersiapkan jawaban atas hal itu, Rasul saw. pernah bersabda,

«كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ، كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِي، وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ»

“Dulu Bani Israel diatur segala urusannya oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi wafat, dia digantikan oleh nabi lainnya. Sungguh tidak ada lagi nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Secara tersirat Nabi saw. berpesan sepeninggal beliau kaum Muslim harus membaiat  khalifah agar dia mengurusi urusan umat, tentu termasuk memimpin umat berpegang pada Kitabullah dan Sunah Nabi-Nya, dengan menerapkan serta menjalankan syariah Islam secara kaffah di tengah-tengah mereka. Para Sahabat ridhwanulLah ‘alayhim sangat paham atas hal itu.

Pada hari Senin saat Rasul saw. diwafatkan, perwakilan dari para Sahabat berkumpul di Saqifah Bani Saidah. Mereka membicarakan dan memilih pengganti Nabi saw. untuk mereka baiat menjadi khalifah guna memimpin mereka. Pada sore hari itu mereka membaiat Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dengan baiat in’iqâd (baiat khâshah) sebagai khalifah.

Selasa pagi Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dibaiat oleh kaum Muslim di masjid dengan baiat taat (bay’at ‘âmmah) dan baru selesai waktu Isya malam Rabu. Setelah itu barulah Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memimpin proses pemakaman jenazah Nabi saw. yang mulia dan selesai pertengahan malam pada malam Rabu itu.

Semua Sahabat Nabi saw., termasuk keluarga, kerabat, dan orang-orang dekat beliau sepakat atas penundaan pemakaman jenazah Nabi saw. yang mulia. Mereka lebih mendahulukan pemilihan dan pengangkatan khalifah yang menggantikan beliau.

Dalam hal ini, Imam Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan, “Ketahuilah juga, para Sahabat ra. seluruhnya telah bersepakat bahwa mengangkat seorang imam (khalifah) setelah zaman kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban ini sebagai kewajiban yang paling penting. Alasannya, mereka lebih menyibukkan diri dengan kewajiban tersebut daripada kewajiban mengurus jenazah Rasulullah saw..”  (Ibnu Hajar al-Haitami, ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, I/25).

Baca juga:  Misi Hijrah belum Selesai

Dengan begitu, wasiat Nabi saw. untuk berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunah beliau pun bisa diwujudkan. Sunah-sunah yang beliau tinggalkan bisa terus diteladani secara riil.


Risalah yang Nabi saw. bawa bisa terus dilanjutkan dan didakwahkan. Semua itu tiangnya adalah khalifah. Dengan demikian adanya khalifah itu menjadi hal yang amat penting dalam Islam. Tidak boleh ada jangka waktu umat kosong dari seorang khalifah.

Begitulah yang dicontohkan oleh para Sahabat radhiyalLah ‘anhum. Ketika Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra. wafat, Umar bin al-Khaththab ra. dibaiat menjadi khalifah. Ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. wafat, Utsman bin Affan ra. dibaiat menjadi khalifah. Ketika Khalifah Utsman bin Affan ra. wafat, Ali bin Abi Thalib ra. dibaiat menjadi khalifah.

Para ulama dan umat pun menyifati keempat khalifah itu sebagai Khulafaur Rasyidin. Era mereka adalah era Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. Sekaligus hal itu menjadi sunnah mereka sebagai teladan bagi umat, melengkapi teladan dari Nabi saw.

Umat Islam sepeninggal mereka terus melanjutkan dan menjaga Sunah Nabi saw. dan Sunah Khulafaur Rasyidin. Mereka terus memilih dan mengangkat khalifah setiap kali khalifah sebelumnya wafat. Mereka terus mempertahankan eksistensi Kekhilafahan di tengah-tengah umat Islam.

Khulafaur Rasyidin dilanjutkan oleh Khilafah Bani Umayyah, lalu oleh Khilafah Bani Abassiyah, kemudian oleh Khilafah Utsmaniyah hingga berakhir pada 1924 M. Sejak itu sudah hampir seabad keberadaan khalifah dan Khilafah terputus dan hilang.

Padahal, adanya khalifah dan Khilafah itu akan membebaskan kita dari kematian jahiliah sebab sabda Rasul saw. (artinya), “Siapa yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada baiat, maka matinya seperti mati jahiliah.” (HR Muslim, al-Baihaqi, dan ath-Thabarani).

Khatimah

Alhasil, pada momen peringatan Maulid Nabi saw. sekarang ini, untuk mewujudkan kecintaan kepada Nabi saw. secara nyata, menjadi tugas dan kewajiban kita semua untuk melanjutkan risalah Nabi saw., sekaligus melestarikan contoh dan teladan Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, serta mewujudkan kembali Sunah Nabi saw. dan Khulafaur Rasyidin, yaitu Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Dengan upaya mewujudkan hal itu, semoga kita bisa bersama kekasih kita, Kanjeng Nabi Muhammad saw., kelak di akhirat. WalLâh al-Musta’ân. [MNews]

Sumber: Buletin Kaffah 114


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *